Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Orang tua perlu memperhatikan kemampuan anak jika ingin mengajarkan lebih dari satu bahasa. Demikian pendapat Guru Besar Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Prof. DR. Dr. Rini Sekartini Sp.A(K).
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
"Salah satu yang dipentingkan dalam mempelajari bilingual adalah kemampuan reseptif otak pada awal kehidupan. Artinya, dia mengerti apa yang disampaikan dan juga lingkungan yang kaya akan stimulasi, menyenangkan, dan konsisten. Itu diperlukan supaya hasilnya menjadi lebih baik," jelas Rini dalam diskusi daring "Plus Minus Mengajarkan Bilingual pada Anak", Selasa, 20 Agustus 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia mengatakan umumnya anak berusia 0-3 tahun belum bisa membedakan bahasa dengan baik. Namun setelah berusia 3 tahun anak biasanya dapat memahami dan membedakan bahasa yang digunakan lawan bicara. Menurutnya, respons anak terhadap paparan lebih dari satu bahasa pada usia dini dipengaruhi proporsi paparannya.
"Kalau awal kehidupan sudah menggunakan dua bahasa tapi ada satu yang lebih dominan dan mereka lebih respons pada bahasa tersebut, mungkin yang satu lebih ditingkatkan atau lebih mudah mengerti dalam bahasa Indonesia. Jadi, harus diperhatikan satu per satu," katanya.
Kelebihan monolingual
Rini juga menjelaskan tidak ada penelitian yang membuktikan anak-anak yang diajari lebih banyak bahasa pada usia dini akan mengalami keterlambatan bicara. Meski demikian, anak-anak yang monolingual atau hanya menguasai satu bahasa umumnya memiliki lebih banyak kosa kata dibanding yang bilingual.
Ia mengatakan mengajarkan lebih dari satu bahasa berdasar kemampuan umumnya tidak menimbulkan masalah pada anak dengan tingkat kecerdasan normal. Jika kemampuan berbahasa anak malah susah berkembang karena diberi stimulasi menggunakan dua bahasa maka orang tua sebaiknya menghentikan pengajaran salah satu bahasa.
"Kita harus drop salah satunya karena kalau anak tersebut harus masuk ke dalam skema intervensi, terapis hanya bisa satu bahasa, misal bahasa Indonesia. Jadi, perlu benar kita perhatikan kemampuan perkembangan bicara bahasanya, terutama pada usia 2 tahun," paparnya.
Ia mengatakan orang tua sebaiknya memberikan stimulasi secara proporsional melalui interaksi langsung, bukan menggunakan gawai, dalam mengajarkan bahasa kepada anak.