Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Sebagian besar bahasa asli (daerah) di Asia berada dalam kondisi yang rawan dan terancam. Kurangnya pengakuan, dukungan, dan perhatian dari pemerintah, membuat bahasa asli sulit berkembang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Demikian kesimpulan diskusi “Safeguarding and revitalizing indigenous languages in Asia for sustainable development” yang digelar oleh UNESCO, Senin, 10 Mei 2021.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Diskusi tersebut merupakan konsultasi regional wilayah Asia sebagai persiapan aksi global International Decade of Indigenous Languages (IDIL) 2022–2032 yang dideklarasikan oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Hadir empat pembicara dari berbagai negara, yaitu Indu Chaudhary dari Masyarakat Adat Nepal, Yudho Giri Sucahyo dari Pengelola Nama Domain Internet Indonesia (PANDI), Suwilai Premsrirat dari Lembaga Penelitian Bahasa dan Budaya Thailand, serta Masahiro Yamada dari Institut Nasional Bahasa dan Linguistik Jepang. Diskusi yang berlangsung selama satu jam ini dipandu oleh Beatrice Kaldun, Perwakilan UNESCO di Bangladesh.
Pada awal diskusi, Beatrice menegaskan kembali bahwa bahasa bukan hanya alat komunikasi dan pendidikan, tetapi juga penyimpanan identitas, budaya, sejarah, tradisi, dan ingatan masyarakat.
“Saat ini terdapat 370 juta penduduk dunia yang menggunakan bahasa daerah dan tersebar di 90 negara. Bahasa dan budaya tersebut menghimpun kekayaan dan keragaman peradaban manusia. UNESCO telah mempromosikan keanekaragaman bahasa dan budaya sebagai faktor kunci untuk perdamaian dan pembangunan besar yang berkelanjutan,” ungkapnya.
Menurut Suwilai Premsrirat, ada lima prioritas yang menjadi faktor keberhasilan bahasa daerah, yaitu dukungan masyarakat, dukungan akademis, dukungan finansial, dukungan psikologis, dan dukungan kebijakan.
“Berdasarkan pengalaman kami melakukan revitalisasi bahasa, kami menyimpulkan bahwa setidaknya ada sebelas langkah penting untuk menghidupkan kembali suatu bahasa. Kesebelas langkah tersebut berbasis komunitas” kata Suwilai.
Namun, menurutnya, tantangannya adalah pihak berwenang dan pembuat kebijakan masih meremehkan keberadaan bahasa daerah. "Sehingga kami sulit mencari dana terutama untuk pendidikan dan revitalisasi. Kami masih beruntung mendapat pendanaan selama 10 tahun ini, tapi untuk ke depan tidak tahu,” kata Suwilai.
Hal senada juga diungkapkan oleh Indu Chaudhary. Menurutnya, pemerintah seharusnya memahami bahwa bahasa daerah dan budayanya bukan hanya identitas kelompok atau adat tertentu, tetapi juga identitas bangsa.
“Seperti yang Anda tahu, kami memiliki banyak bahasa daerah. Sebelumnya, pemerintah tidak mengakui secara hukum bahasa-bahasa daerah tersebut. Sebagai aktivis gerakan sosial, kami menuntut pemerintah dengan mengadakan banyak aksi unjuk rasa bahkan blokade jalan. Tapi sekarang kita berada di era baru, menggunakan teknologi baru,” tutur Indu.
Pembicara lainnya, Masahiro Yamada yang bekerja dengan bahasa minoritas di Jepang, berpendapat bahwa kepemilikan menjadi bagian penting untuk melindungi bahasa daerah. Kebijakan politis dan usaha-usaha lain memang perlu dilakukan, tetapi mereka yang menguasai bahasa tersebut juga mesti punya tanggung jawab dan rasa memiliki.
“Manusia hanya melakukan sesuatu yang mereka inginkan. Karena itu, dalam hal konservasi bahasa, kita harus memulainya dengan apa yang mereka sukai. Dan itu sangat tergantung pada latar belakang budayanya,” kata Yamada.
Sementara itu Yudho Giri Sucahyo lebih menyoroti peranan teknologi digital dalam revitalisasi dan pengembangan bahasa daerah. Cara melestarikan bahasa daerah yang dilakukan atau sedang dilakukan oleh PANDI saat ini adalah dengan mengikuti dan menggunakan teknologi digital.
Yudho melihat adanya kekosongan kerja sama dari pegiat IT dan pegiat bahasa daerah. PANDI membuka ruang untuk kerja sama tersebut. “Tentang digitasi dan digitalisasi aksara dan bahasa daerah, kami tidak ada niat untuk mengklaimnya sebagai program kami sendiri. Dalam program ini, kita perlu melakukannya bersama-sama,” kata Yudho.
Sependapat dengan Suwilai dan Indu, Yudho menilai kebijakan pemerintah memiliki peranan dalam merangkul penggunaan bahasa daerah. “Jadi kita perlu mendekati pemerintah daerah agar bahasa daerah memiliki status hukum bahasa tersebut. Sejauh ini hanya ada dua provinsi di Indonesia yang benar-benar memberikan status hukum bahasa daerah mereka.”
Lebih jauh Yudho menyoroti kesenjangan digital dan literasi dalam hal pengembangan aksara dan bahasa daerah melalui teknologi. “Mereka yang harus menguasai bahasa daerah belum memiliki keterampilan yang mumpuni untuk menguasai teknologi. Sementara belum banyak aktivis IT yang memperhatikan perkembangan bahasa daerah di platform digital. Jadi di sinilah PANDI hadir bersama pegiat bahasa daerah di seluruh Indonesia, akademisi, pemerintah, pegiat IT, dan juga UNESCO," ujarnya.
"Kami punya program Merajut Indonesia Melalui Digitalisasi Aksara Nusantara atau MIMDAN, yaitu digitalisasi aksara-aksara daerah yang ada di Indonesia. Perjalanan kami untuk menghadirkan bahasa daerah secara digital sangat panjang. Padahal untuk saat ini, jika kita tidak hadir secara digital, maka sebenarnya kita tidak ada,” tutup Yudho.
Safrina Noorman, pengurus Yayasan Kebudayaan Rancagé yang juga lembaga mitra PANDI, berharap kegiatan digitalisasi aksara dan bahasa daerah dapat didukung dan disebarluaskan. Setelah menyimak diskusi yang diselenggarakan oleh UNESCO, ia mendapat gambaran betapa rawannya posisi bahasa daerah saat ini.
“Hal itu ternyata menjadi semangat atau alasan untuk memastikan bahwa bahasa daerah tidak punah. Upaya-upaya penyadaran dilakukan melalui berbagai cara di berbagai negara, akan tetapi semua menyiratkan hal yang sama, komitmen dan niat baik pemerintah untuk memastikan kebijakan bahasa dan pendidikan yang berpihak pada pemertahanan bahasa lokal,” Pungkas Safrina menutup sesi diskusi.
Baca:
PANDI Hadiri Pertemuan Regional IDIL PBB, Promosikan Aksara Nusantara