Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Kampung Baturono, Solo, 20 Maret 1940, Sapardi Djoko Damono lahir dan tumbuh menjadi pujangga Indonesia terkemuka yang tersohor lewat bait-bait puisinya yang sederhana namun indah dan penuh makna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sapardi merupakan anak sulung dari pasangan Sadyoko dan Sapariah. Sadyoko adalah abdi dalem di Keraton Kusunanan, mengikuti jejak kakeknya. Berdasarkan kalender Jawa, ia lahir di bulan Sapar, menurut kepercayaan orang Jawa, orang yang lahir di bulan Sapar kelak akan menjadi sosok yang pemberani dan teguh dalam keyakinan itu alasan nama Sapardi kemudian melekat padanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Awal karir menulis Sapardi dimulai dari bangku sekolah. Saat masih duduk di bangku sekolah menengah, karya-karyanya sudah sering dimuat di majalah. Kegemarannya menulis kemudian semakin berkembang ketika dia berkuliah di Fakultas Sastra dan Kebudayaan Universitas Gadjah Mada atau UGM.
Selain memiliki kemampuan dalam bidang sastra, Sapardi juga memiliki darah seni yang kental, ia bisa menari, bermain gitar, bemain drama, dan cukup menguasai permainan wayang. Ia juga menerjemahkan berbagai karya penulis asing, esai, dan sejumlah artikel di surat kabar, termasuk kolom sepak bola.
Kiprahnya tak pernah surut, penyair yang tersohor namanya di dalam maupun luar negeri ini juga sempat menjadi dekan dan mengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, juga menjadi guru besar serta menjadi redaktur majalah Horison, Basis, dan Kalam.
Hal lain yang membuat jasanya besar untuk sastra adalah berkat jasanya merintis dan memprakarsai Himpunan Sarjana Kesusastraan Indonesia (Hiski). Saat ini, setiap tahunnya ada penyelenggaraan semiar dan pertemuan para sarjana sastra yang terhimpun dalam organisasi tersebut.
Lebih lanjut, dalam perjalanan karirnya Sapardi Djoko Damono telah menuai banyak penghargaan atas karya-karyanya beberapa diantaranya adalah Cultural Award dari Australia 1978, Anugerah Puisi Putra dari Malaysia tahun 1983, SEA Write Award dari Thailand tahun 1986, Anugerah Seni dari Pemerintah Indonesia tahun 1990, Malam Mataram tahun 1985, Kalyana Kretya dari Menristek RI tahun 1996 hingga Penghargaan Ahmad Bakrie tahun 2003.
Sapardi Djoko Damono meninggal dunia pada Ahad, 19 Juli 2020. Istri Sapardi, Sonya Sondakh mengatakan guru besar Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu meninggal pada pukul 9.17.
Sapardi meninggal di Rumah Sakit Eka Hospital BSD. Ia dirawat sejak 9 Juni 2020. "Langsung dirawat di ICU Eka Hospital," kata perwakilan keluarga, Tatyana Soebianto saat di rumah duka, Ahad 19 Juni 2020.
Selanjutnya: Tentang Hujan Bulan Juni
Penyair Joko Pinurbo pun juga mengungkapkan kekagumannya terhadap Sapardi. Sebagaimana dilansir dari Majalah Tempo, Sapardi merupakan penyair aliran lirisisme, yang dimulai oleh Amir Hamzah dan Chairil Anwar. Puisi-puisinya terdiri dari sajak sederhana, tetapi berhasil membuat banyak orang kagum.
“Dia (Sapardi) adalah salah satu rasul utama dunia puisi Indonesia,” ujar Penyair Joko Pinurbo sebagaimana dikutip dari Majalah Tempo, 19 Juli 2021. Sapardi meninggal dunia pada 19 Juli 2020. Berikut salah satu puisinya yang paling dikenal publik Indonesia.
Hujan Bulan Juni
Tak ada yang lebih tabah
Dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu.
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan bulan Juni
Dihapuskannya jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu.
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan
Diserap akar pohon bunga itu.
Pilihan Editor: 9 Puisi Sapardi Djoko Damono Ini Tak Lekang oleh Zaman