Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Magelang - Makam yang usianya hampir satu abad itu terlihat masih terawat, catnya bersih, halamannya pun tertata rapi. Letaknya berada di pusat Kota Magelang, namun tak banyak yang mengetahui ada makam yang berjajar di Jalan Iklas itu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pada makam itu, terbaring seorang tokoh kemanusiaan asal Belanda, Johannes van der Steur yang merawat 7.000 anak yatim dari berbagai suku dan kalangan saat masa kolonial. Kisah Van der Steur dituturkan seorang pakar sejarah Chandra Gusta Wisuwardana saat ditemui Tempo, Ahad, 9 Juli 2023 di Museum BPK Magelang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sejarawan yang akrab disapa Gusta itu menuturkan, Johannes van der Steur adalah pejuang kemanusiaan yang lahir di Rozenprieel, Haarlem, Belanda pada 10 Juli 1865 di Barendse-Straat, Rozenprieel, Haarlem. "Johannes van der Steur Directions menghabiskan masa kecil dengan cukup berat. Ia harus harus membantu ekonomi keluarga dengan bekerja di kedai roti. Ibunya adalah pemintal kain di toko kaus kaki dan ayahnya pelukis sekaligus penjaga makam," kata Gusta.
Bersama sepuluh saudaranya, Johanes van der Steur hidup dengan pas - pasan namun dibesarkan bersama keluarga Kristen Protestan yang sangat taat. Menurut Gusta, ketaatan keluarga tersebut pada agama membuat Johannes van der Steur sejak kecil bercita - cita menjadi seorang penginjil.
Nilai - nilai protestanisme dan kemanusiaan ini tumbuh di lingkungan tempat tinggalnya yang banyak dihuni oleh kelas pekerja. "Berangkat dari keinginannya menjadi penginjil dan menyebarkan nilai-nilai kemanusiaan, Johanes mulai berderma dan melakukan khotbah di beberapa kota," ujarnya.
Perlu diketahui, upaya penguasaan wilayah Nusantara oleh Belanda mengalami peningkatan setelah Parlemen Belanda dikuasai orang - orang liberal dan humanis. Sembari membuka lembar foto lawas, Gusta mengatakan, Johannes bertemu seorang serdadu yang baru saja kembali dari Hindia Timur di Kota Harderwijk.
Johannes Van Der Steur, tokoh kemanusiaan di Magelang. Tempo/Arimbihp
Alih - alih kisah kejayaan yang didengar saat mendengarkan kisah serdadu tersebut, ia justru mendapatkan narasi - narasi tragis nasib para serdadu. "Johanes kala itu juga mendengar ambisi Belanda yang tengah gencar melakukan ekspansi militer sebagai upaya meningkatkan eksistensi kerajaan," ujarnya.
Mendengar ironi kisah masyarakat Hindia Belanda tersebut, Johannes van der Steur bertekad untuk mengunjunginya secara langsung. Berkat bantuan pejabat dan politikus humanis di Belanda, Johannes berlayar ke Hindia dari Kota Ijmuiden pada 10 September 1892.
Pada tahun yang sama, Johanes akhirnya tiba di ke Garnisun Magelang. Johannes van der Steur dengan misi membimbing para serdadu untuk mengenal dan kembali kepada jalan Tuhan. Johannes mengawali misinya dengan bekerja sebagai pembantu di dalam tangsi militer yang bertugas membagikan kertas yang berisi renungan nukilan ayat - ayat injil (tractaat) di atas tempat tidur.
Perlawanan Johanes Van de Steur atas Pergundikan
Gusta menuturkan, ada catatan sejarah yang menyebut Johannes van der Steur pernah berkirim surat kepada Directur Onderwijes, Eredienst, en Nijverheid (Direktur Pendidikan, Agama dan Industri) tentang ketidaksetujuannya pada praktik pergundikan yang kala itu marak terjadi di Hindia Belanda.
"Surat tersebut isinya mendesak pemerintah untuk warga Eropa melangsungkan pernikahan sebanyak mungkin agar praktik pergundikan yang banyak merugikan anak itu bisa ditekan," ujarnya.
Meski demikian, menurut Gusta, perlawanan terhadap pergundikan sejatinya sudah berulangkali dilakukan dari 1889 hingga 1904 oleh Van der Steur. Suara Johanes juga didukung Raad van Indie dan Gubernur Jendral Rooseboomyang juga terus melakukan berbagai cara agar serdadu terhindar dari penyakit kelamin menular.
Sampai dengan 1912, kalangan propergundikan masih bisa terus melobi politisi di Den Haag untuk terus melanggengkan kegiatan ini. Sikap berseberangan mulai terlihat pada 1913 ketika Gubernur Jendral Idenburg berbeda pendapat dengan panglima militer mengenai pergundikan. Ia menyatakan akan menghapuskan pergundikan tangsi secara perlahan.
Selanjutnya Panti Asuhan Pa Johannes van der Steur
Panti Asuhan Pa Johanes Van der Steur
Pemakaman anak-anak panti Johannes Van Der Steur. Tempo/Arimbihp
Gusta menjelaskan, saat pergundikan mulai melandai, balada anak kolong belum usai. Pada masa itu juga, Johannes van der Steur berjumpa dengan seorang serdadu mabuk pada April 1893 yang menantangnya untuk merawat empat orang anak terlantar di rumahnya. Ayah mereka yang berdarah Italia mati dan ibu hidup dengan memprihatinkan. "Tidak lama kemudian 2 orang anak terlantar dan kelaparan datang kepadanya meminta untuk dirawat," tutur Gusta mengisahkan.
Tak hanya itu, Gusta menceritakan, ada juga seorang anak yang ditinggal ibunya pergi dengan serdadu lain ketika ayahnya sedang sekarat di rumah sakit. Sejak saat itu, ia kemudian mendapat panggilan baru, "Pa". Panggilan ini dilekatkan di namanya sehingga ia lebih dikenal dengan Pa van der Steur.
Tahun pertama adalah tahun tersulit Pa van der Steur karena ia harus mengasuh anak - anak dengan biaya sendiri. Sejak 1892 - 1896, Johannes membiayai seluruh operasional Militair Tehuis dan Panti Asuhan.
Seiring berjalannya waktu, melihat kondisi Johannes van der Steur yang mulai terseok-seok merawat anak-anak, pada 1893 adiknya, Sara Maria van der Steur datang untuk membantu. Kemudian, datang bantuan lain pada 1897 saat Pemerintah Hindia Belanda memberikan subsidi sebesar f100/bulan serta Residen Kedu Bruyn Prince memberikan sumbangan f1000 untuk operasional. Pada 1898 Panti Asuhan & Militair Tehuis pindah ke Pastorie-laan di Magelang agar bisa menampung lebih banyak anak.
Pada 1898 Johannes van de Steur diangkat menjadi anggota Orde van den Nederlandsche Leew dan Predikan dari Protestantch Kerkbestuur in Indie sehingga mendapat gaji f200/tahun & f150/bulan. Tahun 1903, Pa pulang ke Belanda meninggalkan 350 anak asuhnya karena sakit. Selama di Belanda, ia melobi banyak politisi, pejabat dan organisasi sehingga ketika pulang ke Hindia dana sebesar kurang lebih f 30.000 berhasil terkumpul dan digunakan untuk membangun dan memperluas panti asuhan.
Pada 1907, Johannes van de Steur menikah dengan Anna Maria Zwager (Moe) yang dipanggil "Ma". Selama berkarya di Magelang dari 1893 hingga ia meninggal pada 16 September 1945, Pa Johannes van der Steur telah merawat tidak kurang 7.000 anak yatim piatu dan terlantar dari berbagai kalangan.
Para Steurtjes atau eks penghuni panti, bukan hanya merawat dan membesarkan, tapi juga mendidik serta memberi bekal untuk mereka hidup ketika sudah keluar dari panti. Banyak anak - anak didik Papa Johannes yang disekolahkan di berbagai jenis sekolah baik di dalam maupun luar Magelang bahkan sampai ke negeri Belanda.
Hingga akhir hayatnya di Magelang, Johannes Van de Steur dikenang sebagai tokoh kemanusiaan yang hadir di tengah penjajahan kolonial. Kepergian Johannes hingga pemakamannya di Magelang juga dihadiri ribuan masyarakat dari berbagai etnis.
Makam Johannes Van De Steur juga pernah mengalami dua kali pemugaran yang dilakukan Pemerintah Hindia Belanda dan komunitas pegiat sejarah Kota Toewa Magelang yang digawangi Bagus Priyatna. Setiap tahun di hari ulang tahun Johannes Van De Steur, Bagus juga selalu melakukan pengecatan pada makam dan menggelar pameran. "Saat ini, kompleks pemakaman Johannes Van De Steur masih dalam upaya pengajuan untuk dijadikan Cagar Budaya," ucapnya.