Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELEMBAR kertas putih menempel di kap sepeda motor berkelir biru yang terparkir di depan kantor Kecamatan Astana Anyar, Kota Bandung, Jawa Barat, pada Rabu pagi, 7 Desember lalu. Sepeda motor itu ditinggalkan Agus Sujatno alias Abu Muslim, pelaku bom bunuh diri di Kepolisian Sektor Astana Anyar pada hari itu. Letak kedua kantor itu bersebelahan.
Di atas kertas tertulis “KUHP = hukum syirik/kafir. Perangi para penegak hukum setan”. Sehari sebelumnya, Dewan Perwakilan Rakyat baru saja mengesahkan Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Pengesahan KUHP sempat memantik kontroversi publik sebelum disahkan.
Bom meledak pukul 08.15 WIB pada hari Rabu. Rekaman kamera pengawas memperlihatkan gerak-gerik Agus ketika menerobos pintu pagar markas polisi yang tak tertutup rapat. Ia membawa dua bungkusan.
Satu bungkusan melekat di bagian punggung, satu lagi menempel di dada. “Saat itu puluhan polisi sedang mengadakan apel pagi di halaman kantor,” ujar Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Barat Komisaris Besar Ibrahim Tompo, Rabu, 7 Desember lalu.
Pagi itu anggota Polsek Astana Anyar bersiap berkumpul mengikuti apel. Seorang polisi bernama Ajun Inspektur Dua Sofyan menyadari kehadiran Agus dan berusaha mencegahnya masuk ke halaman kantor. Agus melawan. Ia mengeluarkan sebilah golok dan mengayunkannya ke arah Sofyan.
Serangan itu luput. Sofyan mendorong Agus. Saat itu salah satu bungkusan di tubuh Agus meledak. Adapun satu bungkusan lain terlempar masuk ke gedung kepolisian melalui jendela. Sepuluh orang terluka akibat ledakan bom. Agus dan Sofyan meninggal di tempat. Untuk menghormati jasa Sofyan, Kepolisian RI menaikkan pangkat Sofyan secara anumerta menjadi ajun inspektur satu.
Tubuh Agus terpisah menjadi beberapa bagian. Namun tim identifikasi segera mengenalinya. Pria 34 tahun itu merupakan residivis kasus terorisme. Ia pernah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah, setelah divonis bersalah dalam kasus bom panci di Cicendo, Bandung, 27 Februari 2017. “Dia bebas tahun lalu,” ucap Komisaris Besar Ibrahim.
Agus adalah anggota Jamaah Ansharut Daulah (JAD), organisasi yang berafiliasi dengan Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). Agus ditengarai masih memegang teguh keyakinannya. Ia menghindari program deradikalisasi selama menjalani masa pembinaan dalam penjara. “Artinya dia ini masuk kluster merah,” ujar Kepala Kepolisian RI Jenderal Listyo Sigit Prabowo.
Mantan narapidana kasus terorisme, Hendro Fernando, mengenal Agus lantaran sama-sama pernah mendekam di sel Markas Komando Brigade Mobil, Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat, selama enam bulan. Saat itu Agus ditahan lantaran dituduh menyokong kelompok Mujahidin Indonesia Timur yang berafiliasi dengan ISIS.
Agus memiliki kemampuan merakit bom yang dipelajari secara autodidaktik. Ia juga paham teknik kelistrikan. Teknik merakit bom itu diduga turut diajarkan kepada anggota JAD lain. “Selepas keluar dari penjara dia masih aktif mengikuti pengajian kelompok JAD di Solo dan Klaten,” kata Hendro.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kondisi rumah yang diduga sempat ditinggali oleh terduga pelaku bom bunuh diri Polsek Astana Anyar, Bandung, Jawa Barat,7 Desember 2022. ANTARA/Novrian Arbi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tim Detasemen Khusus 88 Antiteror sudah menggeledah kamar kos Agus di Desa Siwal, Kecamatan Baki, Kabupaten Sukoharjo, Jawa Tengah. Hunian itu ia tempati bersama istri dan seorang anaknya.
Dari pengamatan Tempo, penggeledahan selama satu jam itu turut disaksikan pemilik kos berinisial S dan ketua rukun tetangga setempat. “Pelaku tidak pulang sejak sebulan lalu,” tutur Kepala Kepolisian Resor Sukoharjo Ajun Komisaris Besar Wahyu Setyo Nugroho.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) Komisaris Jenderal Boy Rafli Amar mengatakan timnya masih mendalami motif Agus. Sejauh ini Agus diduga bergerak seorang diri seperti pola yang banyak terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Pola ini kerap disebut lone wolf.
Polisi belum menemukan keterlibatan orang lain di balik perencanaan bom bunuh diri tersebut. “Kami masih mendalami data-data yang memperkuat kesimpulan, baik menyangkut motif maupun rencananya,” ujarnya.
Seseorang yang mengenal jaringan kelompok JAD menyebutkan Agus kembali “kambuh” selepas dipenjara karena aktif di berbagai jaringan komunikasi sesama pendukung ISIS. Sepekan sebelum meledakkan bom bunuh diri, Agus muncul di salah satu kanal Telegram. Grup ini berisi 403 anggota yang sebagian besar residivis kasus terorisme.
Ia ikut membahas pernyataan salah satu pentolan ISIS, Abu Umar al-Muhajir, yang dikirim ke kanal itu. Abu Umar meminta anggota lain di seluruh dunia mengikuti perintah Abu al-Husain al-Husaini al-Quraishi, pemimpin ISIS, untuk berjihad. Abu al-Husaini tewas dalam kontak senjata pada akhir November lalu.
Pernyataan Abu Umar itu disampaikan lewat rekaman berdurasi 9 menit 48 detik dengan judul “Mereka Membunuh atau Terbunuh”. Abu Umar mengutip Surat At Taubah ayat 29 Al-Quran. Ayat ini berisi ajakan memerangi orang-orang yang tidak beriman kepada Allah SWT. Agus turut menuliskan “QS:= 9:29” yang merujuk pada Surat At Taubah ayat 29 di kertas yang menempel di kap sepeda motor.
Pengamat terorisme, Noor Huda Ismail, menganggap tak lazim pesan ihwal KUHP di motor milik Agus tersebut. Ia menyebut JAD tak tertarik politik. “Ini menarik, saya sedang mendalami ini karena di luar kebiasaan,” ucapnya.
Pendapat serupa dinyatakan pengamat terorisme lain, Harits Abu Ulya. “Jika ingin memanfaatkan momentum, seharusnya target yang dipilih adalah kegiatan G20 di Bali pada November lalu,” tuturnya.
Pendapat berbeda dicetuskan Al Chaidar, yang juga pengamat kasus terorisme. Ia menilai isu-isu politik dan hukum kerap menjadi bahan diskusi kelompok teroris. Hukum negara mereka anggap sebagai thogut. “Polisi selalu menjadi target karena dianggap ujung tombak penegakan hukum thogut,” katanya.
Polisi menangkap 228 orang yang dituduh terlibat kasus terorisme sepanjang 2022. Direktur Deradikalisasi BNPT Irfan Idris menilai pengikisan pemahaman terorisme kepada para narapidana dan residivis tak cukup hanya dengan pembinaan. Masyarakat juga punya kewajiban merangkul dan berbaur dengan mereka. “Jangan sampai mereka dikucilkan,” ucapnya.
Ia mencontohkan mantan narapidana terorisme yang bolak-balik masuk penjara bisa menjalani kehidupan normal setelah diterima masyarakat dan memiliki sumber penghidupan. Program deradikalisasi juga memerlukan pendekatan multidisiplin. “Jika dilakukan secara berkesinambungan, pemahaman mereka boleh jadi melunak,” ujar guru besar Universitas Islam Negeri Alauddin, Makassar, itu.
RIKY FERDIANTO, IMAM HAMDI, AHMAD FIKRI (BANDUNG), SEPTIA RYANTHIE (SUKOHARJO)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo