Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MESKI ditolak dari segala penjuru dan mendapat sorotan buruk dunia internasional, pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat akhirnya tetap mengesahkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada Selasa, 6 Desember lalu. Anggota DPR mengklaim rancangan undang-undang itu telah melalui sosialisasi dan mendapat masukan masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Edward Omar Sharif Hiariej tak kalah gembira setelah KUHP disahkan. Ia mengibaratkannya seperti “bisul pecah”. Namun bisul pecah itu tak melegakan masyarakat. Protes terus mengalir dengan menyebut aturan ini mengancam demokrasi, melanggar hak privat, dan menganggap korupsi hal biasa.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pasal-pasalnya justru memberikan hukuman lebih berat dibanding KUHP sebelum revisi, yang merupakan kitab hukum warisan pemerintah kolonial Belanda. Selain mencampuri privasi, KUHP mendiskriminasi perempuan dan kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT).
Perserikatan Bangsa-Bangsa menilai undang-undang ini berpotensi memenjarakan wartawan. Duta Besar Amerika Serikat untuk Indonesia, Sung Y. Kim, mengatakan KUHP akan berdampak pada investasi. Pemerintah Australia mengeluarkan peringatan terhadap warganya yang melancong ke Indonesia. “KUHP ini merusak reputasi Indonesia sebagai negara toleran dan demokratis,” kata Direktur Asia Human Rights Watch Elaine Pearso dalam wawancara secara daring dengan wartawan Tempo, Abdul Manan dan Iwan Kurniawan, Kamis, 8 Desember lalu.
Wartawan Tempo, Abdul Manan, Hussein Abri dan Syalsabilla meminta konfirmasi ihwal segala kritik itu kepada Eddy Hiariej—panggilan Edward Omar Sharif Hiariej.
Direktur Human Rigths Watch Asia Elaine Pearson:
KUHP Ini Merusak Reputasi Indonesia
Direktur Human Rights Watch, Elaine Pearson. Dok. Pribadi
Bagaimana Anda menilai KUHP baru?
Benar-benar bencana bagi hak asasi manusia. Ini kemunduran karena banyak ketentuan yang menindas, tidak jelas, yang benar-benar membuka pintu bagi pelanggaran privasi. Kami juga prihatin terhadap kemungkinan penegakan hukum secara selektif, yang memungkinkan polisi meminta suap, politikus mengerjai lawan politiknya, dan pejabat memenjarakan blogger biasa. Ada banyak hal yang kami khawatirkan, tapi secara khusus hukum pidana ini akan memiliki efek yang tidak proporsional terhadap perempuan, kelompok minoritas, dan kaum LGBT.
Apa bahayanya bagi perempuan?
Dampak terhadap perempuan ada dua bentuk. Pertama, ketentuan yang menjadikan seks di luar nikah sebagai tindak pidana mungkin lebih berdampak bagi perempuan daripada laki-laki karena didasarkan pada laporan anggota keluarga. Jika Anda memiliki anggota keluarga, orang tua, atau saudara kandung yang tidak menyetujui suatu hubungan, mereka dapat melaporkannya. Juga ada ketentuan yang mempertahankan kriminalisasi aborsi.
Anda melihat ancaman terhadap kebebasan berpendapat?
Ketentuan menghina presiden atau menghina wakil presiden justru sudah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi dan sekarang ketentuan semacam ini muncul lagi. Kami sangat khawatir hukum pidana baru akan berdampak menakutkan pada kebebasan berbicara, kebebasan berkumpul, dan kebebasan berserikat. Ia juga menciptakan pembatasan hak untuk memprotes.
Presiden dan wakil presiden, kan, harus dijaga nama baiknya?
Pejabat pemerintah tidak perlu takut terhadap kebebasan berbicara dan kritik. Mereka harus mengambil langkah-langkah untuk mengatasi kritik yang disampaikan secara sah. Ada jenis pasal pencemaran nama secara perdata yang tersedia jika orang ingin mengatasi misinformasi atau disinformasi atau kebohongan yang disebarkan.
Pemerintah ingin menghukum orang yang memfitnah atau menghina.
Tidak perlu ada di KUHP. Indonesia punya aturan cukup untuk menuntut fitnah dan pencemaran nama. Memasukkannya ke hukum pidana membuatnya menjadi tindak pidana. Human Rights Watch menentang undang-undang pidana pencemaran nama di semua negara karena itu seharusnya pelanggaran perdata. Kami juga membaca pernyataan Dewan Pers yang cukup khawatir karena jurnalis berpotensi masuk penjara akibat pemberitaan. Yang saya khawatirkan adalah hal itu akan menciptakan suasana ketakutan dan swasensor. Kami tidak ingin melihat itu di Indonesia, negara demokrasi dengan populasi muslim terbesar di dunia. Ini benar-benar langkah mundur besar dan ke arah yang salah.
Ada standar hukum internasional yang dilanggar?
Ia melanggar begitu banyak perjanjian dan konvensi hak asasi manusia internasional. Ada Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik yang melindungi hak atas kebebasan berbicara dan berekspresi. Kekhawatiran khususnya seputar dampak terhadap perempuan dan hak kesehatan reproduksi, yang jelas berdampak pada Konvensi Mengenai Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi terhadap Perempuan (CEDAW). Kita bahkan belum berbicara tentang ketentuan penistaan agama.
Direktur Asia Human Rights Watch, Elaine Pearson (kiri), memberi keterangan pers saat peluncuran laporan tentang Kasus HAM dan Pencemaran Nama Baik di Indonesia di Jakarta, Mei 2010. Dok. TEMPO/Aditia Noviansyah
Apa yang Anda lihat ihwal dampak terhadap investasi?
Indonesia berusaha keras menarik lebih banyak wisatawan. Kami mendapat pengumuman baru-baru ini tentang visa yang memudahkan orang-orang untuk tinggal di Indonesia. Undang-undang baru ini sangat mungkin berdampak pada korporasi asing yang beroperasi di Indonesia. Saya pikir itu akan membuat mereka berpikir dua kali mengenai siapa yang akan mereka kirim ke negara ini, terutama jika seseorang belum menikah.
Gejala apa yang Anda lihat dengan terbitnya KUHP ini?
Menunjukkan bahwa hak dan kebebasan demokratis yang telah dinikmati begitu banyak orang Indonesia selama beberapa dekade terakhir mungkin secara fundamental terancam. Saya perkirakan akan ada reaksi balik terhadap undang-undang ini. Saya tahu banyak kelompok masyarakat sipil sudah angkat bicara dan ingin menguji hukum pidana ini. Kita tengok kembali pada 2019 ketika protes besar terjadi di Jakarta dan akhirnya berhasil (menangguhkan rancangan KUHP). Tapi kali ini tidak terjadi sepertinya karena mengejutkan banyak orang. Undang-undang ini merupakan ujian nyata komitmen Indonesia terhadap demokrasi.
Undang-undang ini sudah disahkan DPR. Apa yang kini bisa dilakukan?
Jika ada tekanan cukup kepada Presiden Joko Widodo, dia bisa dibujuk untuk tidak mengesahkannya. Penting juga Presiden Jokowi mendengarkan pemerintah negara asing dan mitra Indonesia tentang kekhawatiran mereka dan bagaimana undang-undang ini berpotensi mempengaruhi hubungan luar negeri mereka dengan pemerintah Indonesia.
Elaine Pearson
Pendidikan
• S-1 Hukum dan Seni di Murdoch University, Australia
• S-2 Kebijakan Publik di Princeton University's School of Public and International Affairs, Amerika Serikat.
Karier
• Direktur Australia Human Rights Watch (HRW), 2013-2022
• Wakil Direktur Divisi Asia HRW
Wakil Menteri Hukum dan HAM, Edward Omar Sharief Hiariej:
Protes KUHP ke Mahkamah Konstitusi
Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej di kantor Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, September 2022. TEMPO/Tony Hartawan
Bagaimana sebenarnya pengaturan tentang kohabitasi itu?
Pengaturan kohabitasi atau seks di luar nikah justru melindungi (orang) dari tindakan aparat penegak hukum di daerah yang sewenang-wenang. Kalau (bentuknya) delik aduan, tidak mungkin ada penggerebekan. Tidak mungkin ada sweeping dan razia.
Tapi tetap bisa dipakai untuk mengkriminalkan?
Aduannya kan absolut, yaitu orang tua atau anak kalau kohabitasi. Kalau zina, oleh suami atau istri. Yang orang ributkan ini soal kohabitasi. Yang boleh mengadu hanya orang tua atau anak. Wisatawan asing enggak perlu takut kalau dia datang dengan pasangannya yang belum menikah.
Apakah mereka bisa digerebek oleh Satpol PP, misalnya?
Tidak boleh digerebek karena ini delik aduan. Sudah dinyatakan peraturan daerah tidak berlaku dan (dinyatakan) bertentangan dengan KUHP. Kalau ada turis asing datang, kalau ikut KUHP, yang boleh mengadukan hanya orang tua atau anak mereka.
Siapa yang bisa menjamin tidak ada penggerebekan?
Inilah tugas kami di Kementerian Hukum dan HAM dalam waktu tiga tahun ini melakukan sosialisasi. Sosialisasi pertama ke aparat penegak hukum, termasuk Satuan Polisi Pamong Praja.
Apa bukti bahwa KUHP ini meninggalkan watak kolonial?
Itu ada di Buku 1 dan Buku 2 KUHP. Yang kolonial adalah konstruksi pasalnya, bukan isunya. Ciri-ciri kolonial adalah pasalnya abstrak; pasalnya pasal biasa, bukan delik aduan; pasalnya menimbulkan keadaan bahaya. KUHP baru ini, delik aduan. Itu dekolonisasi. Dua, ia konkret, yaitu hanya penghinaan dalam bentuk penistaan atau fitnah. Ada alasan penghapusan pertanggungjawaban pidana di dalamnya apabila untuk kepentingan umum. Kepentingan umum itu apa? Kritik. Kalau kolonial kan tidak ada.
Bagaimana membedakan kritik dan penghinaan?
Kalau kritik menyuarakan sesuatu, berbeda pendapat dengan kebijakan pemerintah. Kalau menghina sama dengan menista, memfitnah. Kasus di Gorontalo tuh (presiden disebut dengan alat kelamin). Itu sopan, enggak?
Apa perlu dipidanakan?
Oh, budaya ketimuran. Kalau Anda bilang itu (bisa) dimaafkan, enak saja.
Presiden Jokowi concern ihwal protes KUHP?
Amat sangat concern.
Termasuk pasal penghinaan presiden?
Termasuk. Kalau kami mau jujur, pada 2019, ketika pasal itu diributkan, presiden ingin mencabutnya.
Mengapa tidak dicabut?
Presiden katakan bahwa, “Saya kalau dihina juga tidak apa. Saya tidak ada masalah.” Tapi ini bukan persoalan Presiden Joko Widodo. Ini persoalan muruah jabatan presiden. Filosofi dan perspektif antara hukum tata negara dan pidana. Fungsi hukum pidana apa? Melindungi kepentingan individu, masyarakat, negara. Yang dilindungi dari kepentingan negara itu apa? Satu, keamanan. Dua, harkat dan martabat negara. Makanya ada pasal penghinaan kepada lembaga negara. Ada pasal penyerangan kehormatan presiden atau wakil presiden. Itu filosofi hukum pidana.
Mengapa tak menggunakan pasal pencemaran nama yang sudah ada di KUHP lama?
Tidak bisa. Karena ini bukan persoalan persamaan di depan hukum. Presiden dan wakil presiden itu primus inter pares, yang pertama di antara yang sederajat. Konsepnya begitu. Masuk di akal atau enggak di dunia ini ada pasal penyerangan harkat dan martabat kepala negara asing? Artinya, martabat kepala negara asing saja dilindungi, masak kepala negara sendiri enggak? Dan waktu itu saya catat kata-kata Profesor Muladi dan Harkristuti, “Bapak Presiden, pasal ini bukan berkaitan dengan Pak Jokowi. Pasal ini untuk melindungi harkat dan martabat presiden, siapa pun presidennya.”
Dewan Pers juga mempersoalkan karena mengancam kebebasan pers?
Pasal berita bohong itu kan ada dalam KUHP lama. Kok, dia tidak uji materi KUHP lama? Lihat Pasal 14 dan 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan tentang Hukum Pidana.
Kan, seharusnya dicabut, bukan malah dipertahankan?
Pertanyaannya gampang. Apa memang selama ini Dewan Pers pernah dihantam pasal itu? Kan, tidak.
Ada sejumlah kasus wartawan dijerat dengan KUHP.
Baca putusan Mahkamah Agung dalam perkara Bambang Harimurti (Tempo) serta Teguh Santoso dan Supratman (Rakyat Merdeka). Artinya apa? Tidak ada kriminalisasi pers. Itu sudah jadi yurisprudensi tetap bahwa, kalau berkaitan dengan pers, yang digunakan adalah Undang-Undang Pers. Baca itu. Ini Dewan Pers enggak baca kayaknya.
Pasal itu masih ada di KUHP, kan bisa jadi alat untuk mengkriminalkan?
Coba tunjukkan pasal di KUHP yang berbicara mengenai delik pers? Enggak ada satu pun. Aku ini pengajar delik pers. Begitu ada Undang-Undang Pers, mata kuliah itu dihapus.
Pidana terhadap pers kan ada?
Enggak ada. Ngawur.
Masyarakat sipil meminta sejumlah pasal yang mengancam kebebasan dan privasi dicabut.
Minta ke Mahkamah Konstitusi.
Kenapa jawabannya selalu Mahkamah Konstitusi?
Saya kasih analogi. Dulu Komisi Pemberantasan Korupsi sering operasi tangkap tangan. Juru bicara KPK Febri Diansyah diserang pertanyaan. Jawaban KPK, uji saja lewat praperadilan. Benar yang dikatakan itu. Pakai mekanisme hukum yang ada. Kalau (KUHP) ini diprotes, pakai itu Mahkamah Konstitusi.
Wakil Menteri Hukum dan HAM Edward Omar Sharif Hiariej mengikuti rapat kerja dengan Komisi III DPR RI membahas penyampaian penyempurnaan RKUHP hasil sosialisasi Pemerintah, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, 9 November 2022. TEMPO/M Taufan Rengganis
KUHP mengabaikan norma internasional tentang pencemaran nama, kebebasan berekspresi.
Enggak ada urusan. Substansi urusan KUHP di seluruh dunia sama, kecuali tiga hal: pencemaran nama, delik politik, dan delik kesusilaan. Jangan dibanding-bandingkan. Dari empat jenis penghinaan dikurangi jadi dua. Apa tidak hebat? Penyerangan harkat dan martabat presiden, penghinaan pemerintah, penghinaan kekuasaan umum, serta penghinaan pejabat negara. Yang dua (terakhir) ini dihapus. Tinggal dua. Dan dikasih bonus lagi, Pasal 27 dan 28 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik dicabut. Makanya sekarang mereka yang menolak KUHP itu berarti setuju UU ITE hidup lagi.
(Pasal 27 UU ITE tentang pencemaran nama dan fitnah. Pasal 28 tentang perbuatan yang menimbulkan kebencian atau permusuhan individu atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan.)
Banyak lembaga internasional memprotes KUHP ini.
Biarkan. Tadi aku jawab di acara stasiun TV, “Kenapa enggak protes Irlandia Utara yang sangat kuat melarang LGBT? Di Rusia LGBT dilarang. Mengapa mereka enggak protes Rusia?”
Apakah kita perlu meniru Rusia?
Bukan soal meniru Rusia. Kalau soal delik kesusilaan, enggak boleh dibanding-bandingkan. Masing-masing punya nilai.
Soal LGBT, bukankah norma internasional melindungi?
Kalo LGBT memang dari awal kita tentang juga. Bahaya itu. Tapi ini ada blessing in disguise juga. Sekarang pesantren-pesantren mulai bersuara mendukung KUHP dan tidak mau diintervensi asing.
Diminta pemerintah?
Enggak. Tiba-tiba ada info dari Majelis Ulama Indonesia, Pesantren Krapyak, mengatakan, “Ini adalah nilai-nilai bangsa kita dan jangan dicampuri. Kami dukung pengesahan KUHP”.
Edward Omar Sharif Hiariej
Tempat dan tanggal lahir: Ambon, Maluku, 10 April 1973
Pendidikan
• S-1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, 1998
• S-2 Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Fakultas Hukum UGM, 2004
• S-3 Ilmu Hukum Pascasarjana Fakultas Hukum UGM, 2009
Karier
• Dosen hukum pidana Fakultas Hukum UGM, 1999-sekarang
• Guru besar hukum pidana Fakultas Hukum UGM, 2010-sekarang
• Penasihat Senior Kantor Staf Presiden RI, 2020-sekarang
• Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, 2020-sekarang
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo