Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Tersangka menggunakan empat rekening untuk memutar uang penjualan obat ilegal.
Hampir semua obat berasal dari luar negeri.
Terciduk setelah kasus aborsi di Mojokerto, Jawa Timur.
ALIRAN uang ratusan miliar rupiah pada Agustus lalu menarik perhatian Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae. Duit itu mengalir dari satu rekening bank pemerintah ke beberapa bank lain dan perusahaan aset manajemen. “Teridentifikasi rekening bank tersebut milik DP (Dianus Pionam),” tutur Dian pada Jumat, 24 September lalu. PPATK mencurigai Dianus terlibat pencucian uang dari jual-beli dan impor obat ilegal.
Saat ini, Dianus tengah menjadi terdakwa penjual obat ilegal aborsi di Pengadilan Negeri Mojokerto, Jawa Timur. Jaksa menahannya. Ternyata, aliran uang yang terdeteksi PPATK itu dipindahkan istrinya. Menurut Dian, transaksi di rekening Dianus selama periode 2011-2021 berhubungan dengan produsen obat di luar negeri dan perusahaan ekspedisi.
PPATK juga menemukan Dianus menampung uang dari pemilik bisnis farmasi di Tanah Air. Setelah menerima transferan, ia selalu memindahkan uang setidaknya ke dua rekening bank lain. Ia tercatat memiliki empat rekening bank. Salah satu akun masih memiliki dana Rp 110,001 miliar dan US$ 359.
Tak hanya itu, menurut Dian, Dianus tercatat membeli deposito di enam bank. Nilainya mencapai Rp 39-120 miliar. Bunga deposito itu secara keseluruhan mencapai Rp 800 juta. “Total dananya Rp 531 miliar,” ujar Dian. Atas temuan tersebut, PPATK membekukan seluruh rekening Dianus selama penyidikan.
Dalam perkembangannya, PPATK menemukan ada dana lain milik Dianus di perusahaan aset manajemen. “Sehingga total dana yang dibekukan naik menjadi Rp 557 miliar,” tutur Dian. PPATK kemudian menyerahkan temuannya kepada Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI.
Menindaklanjuti penelusuran PPATK, polisi menetapkan Dianus sebagai tersangka pencucian uang pada Senin, 13 September lalu. “Penyidik telah menemukan alat bukti yang cukup dan berdasarkan hasil gelar perkara, DP menjadi tersangka pencucian uang,” ujar Direktur Tindak Pidana Ekonomi Khusus Brigadir Jenderal Helmy Santika. Penyidik juga melanjutkan pembekuan dan penyitaan uang Dianus sebesar Rp 557 miliar tersebut.
Dianus Pionam, atau biasa disapa Koh Awi, lahir di Singkawang 55 tahun lalu. Menurut Helmy, pria yang tinggal di perumahan elite Pantai Mutiara, Jakarta Utara, tersebut tak memiliki pekerjaan tetap.
Meski memiliki sebuah perusahaan farmasi, Dianus bukan ahli dan tak berwenang mengedarkan obat. “Tapi dia melayani pemesanan atau menawarkan obat dari luar negeri kepada pembeli, baik perorangan, apotek, maupun toko obat di Jakarta dan kota lain menggunakan handphone dan aplikasi WhatsApp,” ucap Helmy.
Menurut Helmy, Dianus memesan obat dari luar negeri setelah menerima order dari pelanggan. Jenisnya bermacam-macam. Misalnya, ia memesan Gentrison 20 miligram dari Korea Selatan; Procomil dari Jerman; Voltaren, Roacutan, Cataflam, dan lainnya dari Turki; sementara Counterpain, Baramicin, dan lainnya dari Thailand. “Seperti Counterpain, kadang orang lebih memilih barang yang didatangkan dari luar negeri. Ini salah satu yang diperdagangkan tersangka,” katanya.
Dianus juga diduga memesan obat aborsi Cytotec dari Selandia Baru. Padahal pemerintah Indonesia sudah mencabut izin edar obat tersebut.
Ada 31 jenis obat yang didatangkan Dianus dari berbagai negara dan diperdagangkan secara ilegal. “Tersangka mendapat keuntungan 10-15 persen dari masing-masing harga obat,” tutur Helmy.
Dari penangkapan Dianus, polisi menyita sisa obat ilegal yang belum diedarkan. Obat-obat itu adalah Favipiravir 200 tablet, Crestor 20 miligram 6 pak, Crestor 10 miligram 5 pak, serta Voltaren Gel 50 miligram 4 pak. Polisi juga menyita uangnya.
•••
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BERBEDA dengan terdakwa lain, Pengadilan Negeri Mojokerto, Jawa Timur, menetapkan Dianus Ponam sebagai tahanan kota. Ia ditempatkan di salah satu rumah yang diawasi petugas pengadilan karena menderita diabetes melitus akut dan hipertensi.
Pengadilan Negeri Mojokerto mulai menyidangkan perkara Dianus pada 18 Agustus lalu. “Persidangannya tiap Rabu. Kemarin agendanya pendapat ahli dari jaksa penuntut umum, selanjutnya ditunda untuk acara saksi dan ahli yang menguntungkan terdakwa,” kata Pandu Dewanto dari Hubungan Masyarakat Pengadilan Negeri Mojokerto pada Kamis, 23 September lalu.
Ia didakwa menyuplai obat aborsi, Cytotec, kepada Nungki Marinda Sari. Kasus ini terungkap setelah heboh temuan kuburan berisi janin di permakaman umum Desa Sampang Agung, Mojokerto, pada 14 Januari lalu.
Dari pengakuan Nungki, Kepolisian Resor Mojokerto menangkap delapan orang yang diduga berperan sebagai penjual dan distributor Cytotec. Mereka adalah Zulmi Auliya, Mochammad Ardian Rachman, Rohman, Suparno, Ernawati, Jong Fuk Liong, Supardi, dan Dianus Pionam.
Polisi menyita 2.092 butir obat penggugur kandungan. Ketujuh pelaku sudah berstatus narapidana. “Jong Fuk dan Erna divonis 8 bulan penjara. Lainnya saya tidak ingat,” kata Pandu.
Dianus baru menyerahkan diri ke Polres Mojokerto pada 12 Maret lalu. Polisi juga tak menahannya dengan alasan dia menderita penyakit yang berisiko tinggi jika terpapar Covid-19.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dianus Pionam/istimewa
Dalam pemeriksaan, penyidik hanya menyebut Dianus sebagai penjual obat ilegal. Polisi juga tak mencantumkan asal-usul obat. Saat dimintai konfirmasi soal ini, Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Mojokerto Ajun Komisaris Tiksnarto Andaru Rahutomo tak merespons permintaan konfirmasi Tempo hingga Sabtu, 25 September lalu.
Tempo tak memperoleh alamat rumah penahanan Dianus. Kepala Seksi Pidana Umum Kejaksaan Negeri Mojokerto Ivan Yoko Wibowo enggan menyebutkan lokasi rumah yang disediakan kejaksaan yang ditempati Dianus semasa menjalani tahanan kota tersebut. “Saya minta izin pimpinan dulu. Karena ini semua masih dalam proses persidangan,” ujar Ivan.
Kepala PPATK Dian Ediana Rae memastikan Dianus mendatangkan obat ilegal itu dari luar negeri. Menurut dia, kasus Dianus merupakan puncak gunung es peredaran obat ilegal di masa pandemi Covid-19. Banyak orang berburu memperoleh obat yang langka.
Harga obat-obatan pun meroket, meski sebagian diduga ilegal. Menurut Dian Rae, pola ini berpotensi menyuburkan pencucian uang. “Fenomena ini menjadi dasar yang kuat bagi PPATK untuk terus menganalisis permasalahan dan transaksi obat-obatan secara sistemik,” tutur Dian.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo