Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Indonesia Corruption Watch (ICW) menyebut tahun 2017 sebagai tahun paling muram untuk kasus suap di sektor pengadilan. Hal ini disampaikan peneliti Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Lalola Ester, saat konferensi pers di Sekretariat ICW, Jakarta Selatan, pada Rabu, 27 Desember 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Catatan buruk ini telah mencoreng wajah pengadilan. Bukan hanya di pengadilan tingkat satu, tapi juga di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun 2017, kata Lalola, diawali oleh kasus suap yang dilakukan salah satu hakim MK, Patrialis Akbar. "Tahun ini dibuka oleh kasus Patrialis Akbar—ketika itu hakim konstitusi—terkait dengan kasus suap yang ditanganinya tentang yudisial review Undang-Undang Peternakan soal kuota impor daging," ujarnya.
Selain itu, ICW mencatat, MK dihadapkan dengan dugaan pelanggaran kode etik oleh Ketua MK Arief Hidayat. Arief tercatat sudah dua kali dilaporkan ke Dewan Etik Konstitusi karena diduga melanggar nilai integritas.
Arief diduga melakukan lobi politik kepada anggota Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat untuk mempertahankan posisinya sebagai hakim MK. Lobi itu diduga ditukar dengan putusan uji materi Undang-Undang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) tentang keabsahan panitia khusus hak angket Komisi Pemberantasan Korupasi yang saat ini sedang disidangkan di MK. Arief mengakui memang pernah bertemu dengan sejumlah anggota Komisi Hukum DPR.
Meski itu di luar kepentingan fit and proper test, menurut Lalola, pertemuan tersebut merupakan suatu pelanggaran bagi ICW. "Jadi, dalam konteks itu, kami berpikir apa yang dilakukan Arief Hidayat sungguh mencoreng citra MK," ujarnya.
Dalam tubuh Mahkamah Agung juga tidak jauh berbeda. Tercatat ada dua hakim dan satu orang panitera yang ditangkap KPK terkait dengan suap penanganan perkara sejak Oktober 2017.
Kejaksaan Agung juga mendapat catatan kritis dari ICW. Tahun ini, tercatat ada beberapa jaksa yang ditangkap dalam operasi tangkap tangan oleh KPK. Namun, menurut Lalola, Ketua Kejaksaan Agung M. Prasetyo dinilai tidak kooperatif ketika jaksa yang ditangkap nilai suapnya kecil alias “suap receh”.
"Jaksa Agung tidak terlalu suportif dalam upaya pemberantasan korupsi di internal sendiri," tutur Lalola. Padahal, menurut dia, seharusnya Kejaksaan Agung berterima kasih karena KPK sudah membantu mengungkap oknum nakal. "Jadi pola pikirnya harus diubah."