Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Seorang aktivis di India telah mengajukan permohonan ke pengadilan agar melarang penggunaan pengeras suara yang dipasang di menara-menara mandir (kuil Hindu), masjid dan rumah ibadah lainnya. Mendengar alasan yang diajukannya dalam sidang pemeriksaan perdana, Pejabat Ketua Pengadilan Tinggi Gita Mittal dan Hakim Hari Shankar di New Delhi, akhirnya memutuskan akan membahas persoalan ini ke sidang berikutnya, 29 Januari 2018 nanti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ilustrasi pengeras suara masjid. Dok. TEMPO/ Bernard Chaniago
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di mata Sanjiv Kumar, aktivis PIL (Litigasi untuk Kepentingan Publik), di samping mengganggu ruang publik, pengeras suara yang memekakkan itu telah melanggar hak privasi orang-orang yang tak ingin mendengarkannya. Pengeras suara juga dinilainya telah mengganggu orang-orang yang tengah berbicara dan tidur. "Mungkin ada pasien penderita gangguan syaraf yang terpaksa menanggung akibat yang tak baik baginya. Anak-anak balita juga menanggung akibatnya," katanya.
Membenturkan apa yang dilakukannya dengan Hak Kebebasan Beragama --sebagaimana tercantum dalam Konstitusi India, Pasal 25 dan 26-- menurut Kumar, bukanlah dalih yang tepat. Soalnya pengeras suara yang mulai dipakai di India pada 1924, umurnya kurang dari 100 tahun, masih terlalu muda dibandingkan dengan agama-agama yang sudah berusia 4.000-5.000 tahun. "Pengeras suara tak pernah menjadi bagian dari agama-agama, apakah itu Hindu, Jain, Buddha, Kristen, Islam, Sikh atau Zoroaster," tuturnya. Petisi yang disampaikannya itu juga meminta penegakan peraturan melalui pengawasan. Jika ada pengaduan, sanksi yang tegas pun bisa dikenakan kepada mereka yang telah berulang kali melanggar. Ribuan umat Muslim melakukan salat Idul Fitri berjamaah di Masjid Jami di New Delhi, India, 7 Juli 2016. Seluruh umat Muslim di dunia merayakan hari raya Idul Fitri pada 6-7 Juli 2016. AP Photo
Pengadilan, menurut India Today, sempat menawarkan pimpinan tertinggi Kuil Jai Madar dan imam Masjid Gosiya yang kebetulan hadir dalam sidang pemeriksaan akhir November tahun lalu supaya mematuhi arahan pengadilan. "Tantangan terbesar kami adalah mengatasi masalah sensitif ini dengan cara bersahabat. Saya senang karena pemerintah (diwakili kepolisian) mengundang mereka ke pengadilan, sekalian mencari jalan keluar ketimbang langsung memberlakukan peraturan," kata penasihat pemerintah Anjana Gosain.
Sejauh ini pengadilan sudah memutuskan agar pengeras suara diarahkan kepada jemaah yang sedang beribadah, dan ini akan membuat orang-orang yang tak ingin mendengarnya tak terganggu.
Di Indonesia, ada Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor Kep/D/101/1978 tentang Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar, dan Mushola yang mengharuskan agar pengguna pengeras suara dapat menghindari kebisingan atau dengung yang muncul. Sesuai tuntunan Rasulullah, suara azan memang harus ditinggikan karena ia merupakan penanda salat dan ini tak perlu diperdebatkan lagi. Yang perlu diperhatikan adalah agar suara muazin tidak sumbang dan sebaliknya enak, merdu, dan syahdu.
Sayangnya, instruksi soal pengeras suara yang ada dalam situs Kemenag itu hanya memberi pedoman dasar dalam menggunakan pengeras suara. Tidak ada sanksi yang tercantum dalam instrumen itu bagi masjid yang melanggar. Tidak seperti di India, jika merasa terganggu dengan pengeras suara, maka yang bisa dilakukannya hanya membicarakannya secara kekeluargaan dengan pengelola masjid setempat dengan merujuk pada instruksi Kemenag tersebut.
Idrus F Shahab I LAWMAG