Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Kriminalisasi terhadap Korban Kekerasan Seksual

Seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual justru dipidanakan atas dugaan penganiayaan. Bentuk kriminalisasi?  

25 April 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Seorang perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual justru dipidanakan atas dugaan penganiayaan.

  • Dugaan kekerasan seksual yang terjadi pada perempuan itu belum dilaporkan ke polisi.

  • Kekerasan seksual secara fisik bukan delik aduan sehingga polisi bisa secara aktif menyelidikinya.

HALO Klinik Hukum Perempuan. Perkenalkan, nama saya Adinda. Beberapa waktu lalu saya membaca artikel tentang kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan seksual di Palembang. Korban menyiram pelaku menggunakan air keras. Namun, dalam proses hukum, polisi justru mengutamakan kasus penyiraman air keras tersebut. Sementara itu, kekerasan seksual yang dialami korban justru dikesampingkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pertanyaan saya, bagaimana sebenarnya kriminalisasi terhadap perempuan korban kekerasan seksual itu bisa terjadi? Apakah korban bisa terlepas dari jerat pidana?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Terima kasih
Adinda

Jawaban:

Halo, Adinda. Terima kasih telah berkonsultasi dengan Klinik Hukum Perempuan. Tentu sangat memprihatinkan melihat banyak korban kekerasan seksual—terutama perempuan—dikriminalisasi. Sementara itu, haknya sebagai korban justru dikesampingkan.

Dari berbagai artikel berita diketahui, insiden penyiraman air keras ini terjadi di Palembang pada Maret lalu. Seorang perempuan mendapat kekerasan seksual secara fisik dari seorang pria. Mendapat perlakuan itu, perempuan tadi menyiram pria tersebut dengan cairan dalam botol kemasan air mineral yang ternyata air keras. Akibatnya, wajah pria itu terluka dan harus menjalani perawatan di rumah sakit.

Belakangan, pria itu melaporkan perbuatan perempuan tadi ke polisi atas tuduhan pelanggaran Pasal 351 ayat 2 KUHP tentang tindak pidana penganiayaan berat. Adapun kepolisian belum menerima aduan tentang tindak pidana kekerasan seksual yang dialami perempuan tersebut. Kasus ini akhirnya ramai menjadi perbincangan di media sosial. Pertanyaan yang kemudian muncul adalah, apakah kasus ini bentuk kriminalisasi terhadap korban kekerasan seksual atau bukan?

Kriminalisasi atau "pemidanaan yang dipaksakan" pada dasarnya adalah istilah yang digunakan masyarakat atas suatu upaya yang seolah-olah bertujuan untuk menegakkan hukum, tapi pada kenyataannya upaya itu tidak mewujudkan keadilan. Motif kriminalisasi sangat jelas, yakni untuk merugikan pihak korban. Lalu, bagaimana mengetahui suatu perbuatan itu merupakan bentuk kriminalisasi terhadap korban?

Unsur terpenting untuk mendeteksi “kriminalisasi” adalah memahami secara detail tentang latar belakang konflik di antara pihak-pihak yang beperkara. Khusus dalam kasus di Palembang, aparat penegak hukum perlu lebih dalam memahami latar belakang kasus. Apalagi kekerasan seksual memiliki karakteristik tersendiri.

Penting diketahui, kekerasan seksual merupakan pelanggaran hak asasi manusia, kejahatan terhadap martabat kemanusiaan, serta bentuk diskriminasi yang harus dihapuskan. Kekerasan seksual menimbulkan dampak luar biasa bagi korban. Dampak tersebut meliputi penderitaan fisik, mental, kesehatan, ekonomi, serta sosial dan politik. Semua itu sangat mempengaruhi kehidupan korban pada waktu yang akan datang. Dampak ini makin menguat ketika korban adalah bagian dari masyarakat yang termarginalkan.

Kekerasan seksual telah diformalkan sebagai tindak pidana dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS). Meski begitu, tidak mudah membuktikan tindak pidana ini.

Berikut ini kesulitan yang sering ditemukan untuk membuktikan adanya tindak pidana kekerasan seksual:

- Minim saksi tindak pidana. Umumnya tindak pidana ini hanya diketahui oleh korban dan pelaku. Sebab, sebanyak 95 persen kekerasan seksual terjadi di ruang privat yang tertutup sehingga tidak ada orang lain yang mengetahui selain korban dan pelaku.  
- Ragu akan kreadibilitas cerita Korban. Keraguan ini muncul karena cerita yang disampaikan korban sering kali tidak diperkuat oleh saksi dan bukti yang memadai. 
- Bias penilaian terhadap korban dan pelaku yang didasari atas cara hidup dan kesusilaan, termasuk pengalaman seksual korban.

Dari pemaparan di atas, bisa dikatakan, kriminalisasi itu muncul karena minimnya pemahaman tentang karakteristik kekerasan seksual. Seharusnya, dalam kasus di Palembang, untuk menunjukkan keberpihakan kepada korban kekerasan seksual, kepolisian lebih dulu mendalami latar belakang penyiraman air keras itu. Pendalaman ini penting agar fakta tentang kekerasan seksual—meski belum dilaporkan—tidak dianggap sebagai sekadar alibi yang tidak pernah terjadi. Apalagi kekerasan seksual fisik bukanlah delik aduan sehingga polisi bisa secara aktif menyelidikinya. Bahkan tidak tertutup adanya kemungkinan penyiraman air keras dilakukan perempuan itu sebagai bentuk pembelaan diri atas tindakan kekerasan seksual yang diterimanya. Upaya pembelaan diri ini tentu bisa menjadi alasan pembenar untuk menghapus tindak pidana yang dituduhkan kepada perempuan itu.

Aksi Koalisi Gerakan Anti Kekerasan Seksual di depan Mahkamah Agung, Jakarta, 2022. Dok. Tempo/Muhammad Syauqi Amrullah

Alasan Pembenar Penghapus Tindak Pidana

Alasan pembenar adalah suatu keadaan atau situasi yang dapat dipertimbangkan dalam menilai tindakan pidana seseorang. Jika suatu tindakan pidana dilakukan dalam keadaan yang memenuhi kriteria alasan pembenar, orang tersebut tidak akan dikenai sanksi pidana. Alasan pembenar ini kemudian menghapuskan sifat melawan hukumnya perbuatan, meski perbuatan ini telah memenuhi rumusan delik dalam undang-undang. Jika perbuatannya tidak melawan hukum, tidak mungkin ada pemidanaan.

Adapun bentuk pembelaan diri (pembelaan terpaksa) diatur dalam Pasal 49 KUHP, sebagai berikut:
1. Tidak dipidana, barang siapa melakukan perbuatan pembelaan terpaksa untuk diri sendiri maupun untuk orang lain, kehormatan kesusilaan, atau harta benda sendiri maupun orang lain, karena ada serangan atau ancaman serangan yang sangat dekat pada saat itu yang melawan hukum.
2. Pembelaan terpaksa yang melampaui batas, yang langsung disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena serangan atau ancaman serangan itu, tidak dipidana.

Tapi, mengapa untuk kekerasan seksual fisik yang bukan pemerkosaan, pembelaan terpaksa dengan menyiram air keras bukankah tindakan melampaui batas?

Seperti yang sudah disampaikan di atas, dampak kekerasan seksual sangat mempengaruhi hidup korban. Korban biasanya mengalami trauma yang disebabkan oleh keguncangan jiwa yang hebat karena kekerasan seksual. Perbuatan korban menyiram air keras (penganiayaan) terhadap pelaku dilakukan karena:
1. Adanya kekerasan seksual secara fisik yang dilakukan pelaku kepada korban selama dalam perjalanan;
2. Dilakukan semata-mata untuk mempertahankan kehormatan kesusilaan diri korban yang telah berumah tangga sehingga kekerasan seksual fisik yang terjadi akan berdampak pada kehormatan diri korban dan keluarga;
3. Korban tidak seketika membela diri karena takut dan bingung atas kekerasan seksual yang terjadi. Jadi, menuntut pembuktian layaknya kejahatan biasa tidaklah tepat dan tidak menunjukkan keberpihakan kepada korban mengingat kekerasan seksual meninggalkan trauma psikologis yang sangat mempengaruhi hidup korban.

UU TPKS Cegah Kriminalisasi Korban Kekerasan Seksual

Berdasarkan Pasal 69 huruf g UU TPKS, pemerintah wajib melindungi korban dan/atau pelapor dan keluarga dari tuntutan pidana atau gugatan perdata atas tindak pidana kekerasan seksual yang telah dilaporkan. Hak atas pelindungan ini bertujuan mencegah terjadinya kriminalisasi. Semangat pelindungan terhadap korban itu sejalan dengan Pasal 23 UU TPKS yang berbunyi, “Perkara tindak pidana kekerasan seksual tidak dapat dilakukan penyelesaian di luar proses peradilan, kecuali terhadap pelaku anak sebagaimana diatur dalam undang-undang.”

Namun, sebagaimana diketahui bersama, dalam tindak pidana kekerasan seksual, pilihan melaporkan kasus kepada kepolisian bukanlah hal yang mudah bagi korban. Korban perlu waktu lama untuk mempertimbangkan kondisi dan kebutuhan karena dampak kekerasan seksual sangat mempengaruhi hidupnya. Nah, dalam situasi ini, sering kali pelaku melaporkan korban atas pencemaran nama karena menuduh pelaku melakukan kekerasan seksual. Hal ini diperburuk oleh belum meratanya perspektif gender para aparat penegak hukum. Ujungnya, implementasi dari pasal kekerasan seksual ini tidak maksimal sehingga belum melindungi korban dari kriminalisasi.

Lalu, bagaimana jika kepolisian tetap menunggu korban melapor? Apa yang dapat dilakukan masyarakat?

Partisipasi masyarakat untuk Mendukung Pemulihan Korban Kekerasan Seksual

Pada Pasal 85 ayat 3 disebutkan partisipasi masyarakat dalam pemulihan korban diwujudkan dengan: 
a. memberikan informasi adanya kejadian tindak pidana kekerasan seksual kepada aparat penegak hukum, lembaga pemerintah, dan lembaga non-pemerintah; 
b. memantau penyelenggaraan pencegahan dan pemulihan korban; 
c. memberikan dukungan untuk penyelenggaraan pemulihan korban; 
d. memberikan pertolongan darurat kepada korban; 
e. membantu pengajuan pelindungan; 
f. berperan aktif dalam penyelenggaraan pemulihan korban sehingga masyarakat dapat secara aktif melaporkan tindak pidana kekerasan seksual kepada kepolisian demi mewujudkan keadilan dan mencegah keberulangan kekerasan seksual.

 

Demikian penjelasan kami, semoga bermanfaat.

Tutut Tarida
Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG)

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus