Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Anak-anak di Pub Maumere

Kasus perdagangan anak dan perempuan marak di masa pandemi Covid-19. Tergiur iming-iming uang dan pekerjaan formal.

 

22 Januari 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Kasus perdagangan anak marak terjadi di masa pendemi Covid-19.

  • Korban bahkan diperdagangkan hingga ke luar negeri.

  • Tak semua perkara masuk pidana perdagangan orang karena minim bukti.

ROMBONGAN penyidik Kepolisian Daerah Nusa Tenggara Timur (NTT) akhirnya menyambangi kantor Kejaksaan Negeri Sikka pada Rabu, 19 Januari lalu. Bersama mereka tampak Johanes Vidorin Wonasoba alias Rino, yang terkenal karena memiliki pub. Ia menjadi tersangka kasus perdagangan anak.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Setelah lebih dari enam bulan, polisi menuntaskan penyidikan terhadap Rino. Rombongan polisi datang ke kantor kejaksaan untuk mengantarkan berkas pemeriksaan. “Ini pelimpahan berkas tahap kedua,” tutur Kepala Seksi Intelijen Kejaksaan Negeri Sikka Ridha Nurul Ihsan pada Sabtu, 22 Januari lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Rino merupakan pemilik Pub Bintang dan Pub Sasari di Wailiti, Alok Barat, Kabupaten Sikka. Kedua pub itu menjadi sorotan setelah polisi merazia sejumlah tempat hiburan malam di Kota Maumere, ibu kota Sikka, pada 14 Juni 2021.

Saat razia, para tamu pub terlihat tengah didampingi sekitar 17 perempuan muda yang diperkirakan berusia 14-17 tahun. Polisi mendapati dua di antara mereka sedang hamil. Polisi langsung curiga mereka adalah obyek perdagangan manusia.

Dugaan polisi makin kuat setelah penyidik memeriksa para saksi. Polisi pun menjerat Rino dengan pasal berlapis, yakni Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Undang-Undang Perlindungan Anak, dan Undang-Undang Ketenagakerjaan. Rino langsung masuk bui tak lama setelah razia tersebut.

Kini Rino segera menghadapi meja hijau. Selama proses di pengadilan, kata Ridha, kejaksaan akan memperpanjang masa penahanannya. “Hingga persidangan selesai, tersangka akan kami titipkan di rumah tahanan Kepolisian Resor Sikka,” ujarnya.

Pengacara Rino, Joneri Bukit, menyangkal tuduhan polisi. Menurut dia, bisnis yang dikelola Rino tak berbeda dengan pub lain yang ikut dirazia pada Juni 2021. Para perempuan muda itu dikontrak sebagai pendamping tamu atau lady escort. Menurut Joneri, pub di Maumere umumnya melakukan hal serupa.

Joneri mengaku heran karena penyelidikan terhadap pemilik pub lain tak pernah naik ke tahap penyidikan. Sebagai perlawanan, Joneri berjanji bakal mematahkan dakwaan jaksa di pengadilan. “Ada banyak kejanggalan. Nanti kami buktikan di sidang,” katanya.

Seseorang yang mengetahui kasus tindak pidana perdagangan orang ini menyebutkan penyelidikan polisi sempat terbentur pembuktian. Empat dari 17 perempuan muda yang direkrut Rino menghilang ketika berada di rumah perlindungan Tim Relawan untuk Kemanusiaan (Truk), lembaga swadaya masyarakat yang mendampingi polisi dalam kasus ini. Padahal mereka saksi kunci.

Keempat perempuan itu adalah para korban yang diamankan dari 999 Pub dan satu orang dari Libra Pub. Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Polda NTT Komisaris Besar Rishian Krisna mengatakan polisi terus mencari keempat anak itu. Polisi yakin tuduhan perdagangan orang terhadap Rino cukup bukti dari kesaksian para lady escort yang sempat diperiksa.

Dari kesaksian mereka, ujar Rishian, para remaja itu bekerja di sejumlah pub di Maumere lewat makelar. Mereka berasal dari Jawa Barat, seperti Bandung, Cianjur, dan Karawang. Pemerintah daerah Sikka dan relawan Truk tengah memulangkan anak-anak itu ke rumah mereka masing-masing.

Tak hanya di Maumere, kasus perdagangan orang dengan korban perempuan dan anak juga terjadi kampung halaman para lady escort. Pada 15 Desember 2021, polisi Kota Bandung membongkar dugaan tindak pidana perdagangan remaja berusia 14 tahun.

Kepada polisi, TF—remaja itu—mengaku dipaksa masuk dunia prostitusi karena tergiur iming-iming pekerjaan dan uang saku yang besar. “Mereka dijual lewat aplikasi MiChat,” tutur Kepala Unit Pelayanan Perempuan dan Anak Kepolisian Resor Kota Bandung Inspektur Satu Dewi Prawira.

Untuk membujuk TF, para pelaku berjanji membelikannya telepon seluler dan barang berharga lain. Selama di bawah penguasaan pelaku, kata Dewi, TF mengalami kekerasan seksual dan ditempatkan di sejumlah kamar kos.

Ia dijual dengan tarif Rp 150-400 ribu. “Pelaku berhasil ditemukan sepekan setelah menghilang seusai mengontak orang tuanya lewat media sosial,” ucap Dewi.

Kepala Subdirektorat Pidana Umum Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI Komisaris Besar Enggar Pareanom mengatakan kasus yang ditangani polisi dalam tindak pidana perdagangan orang saat ini hanya puncak gunung es. Hanya sebagian kecil perkara perdagangan anak yang terlihat di permukaan.

Dalam banyak kasus, perdagangan perempuan dan anak yang ditangani kepolisian di provinsi ataupun kabupaten tercatat sebagai pelanggaran Undang-Undang Perlindungan Anak atau pasal pidana lain, bukan perdagangan orang. “Tergantung materi pembuktian,” tutur Enggar.

Ia mengklaim penyidik tak bisa serampangan menerapkan pasal pidana perdagangan orang. Soalnya, perdagangan orang menuntut satu fakta: terjadi relasi kuasa antara pelaku dan korban. Dalam banyak kasus, ujar Enggar, eksploitasi seks para perempuan terjadi dalam hubungan yang saling menguntungkan.

Enggar mencontohkan, kendati relasi kuasa terbukti, para korban acap meminta dicarikan klien kepada para pelaku yang menjualnya. “Tapi itu tidak berlaku jika korbannya adalah perempuan di bawah umur,” katanya. “Kalau itu jelas pidana.” Masalahnya, pidana seperti itu terjerat lewat Undang-Undang Perlindungan Anak.

Modus lain dalam perdagangan orang adalah tawaran bekerja sebagai terapis spa dan pelaku prostitusi online. Menurut Enggar, dalam kategori ini para korban terperangkap perdagangan orang antarnegara. Kementerian Luar Negeri, tutur dia, acap melaporkan dugaan perdagangan orang antarnegara.

Laporan tahunan yang dirilis Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menyebutkan jumlah perempuan korban perdagangan seks Indonesia pada 2020 menurun. Fenomena ini terjadi karena adanya pandemi Covid-19. Sepanjang 2020, ada 38 kasus yang ditangani polisi. Sebanyak 42 pelakunya sudah menjalani hukuman.

Selain faktor pandemi, data Kedubes Amerika sebetulnya tak merangkum fakta lapangan secara keseluruhan. Menurut Enggar, polisi kesulitan melacak kasus-kasus perdagangan orang di semua wilayah.

Pencatatan kasus perdagangan orang cukup lengkap ada di direktori putusan Mahkamah Agung. Sepanjang 2020, pengadilan telah menangani 232 penuntutan perkara dan memutus 202 perkara dengan 259 terdakwa. Jumlah terdakwa pada 2020 naik dibanding pada tahun sebelumnya, yakni 108 orang pada 2019.

Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia Ai Maryati Solihah menjelaskan, tipologi kasus perdagangan orang dan eksploitasi seksual tak banyak berubah dalam beberapa tahun terakhir. Para pelaku yang menjerat para korban adalah orang-orang dekat mereka. 

Itu sebabnya Maryati meminta polisi tak mengabaikan temuan-temuan kasus kecil di lapangan. “Karena tak jarang itu menjadi pintu masuk mengungkap jaringan perdagangan anak dan perempuan yang lebih besar,” katanya.

RIKY FERDIANTO, AGUNG SEDAYU, JHON SEO (KUPANG)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus