Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMA saya Handiki Setiawan. Seorang pria lajang 27 tahun asal Sepatan Timur, Kabupaten Tangerang, Banten. Saat ini saya menjadi terdakwa perkara pornografi anak yang tengah diproses hukum di Pengadilan Negeri Tangerang. Lewat tiga lembar surat yang ditulis tangan dari balik jeruji Lembaga Pemasyarakatan Pemuda Kelas IIA Tangerang pada Rabu, 6 Maret 2024, saya akan menceritakan asal mula saya terjerumus dalam kasus yang membahayakan anak-anak Indonesia ini kepada Tempo. “Surat ini saya buat untuk mengungkap jaringan yang lebih luas.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sehari-hari saya bekerja sebagai kurir untuk mengantarkan barang dagangan kakak sendiri. Bayarannya tentu tidak seberapa. Akibat pikiran yang buntu lantaran kesulitan mendapatkan uang, saya mengalihkan pikiran dengan mencari konten pornografi di media sosial. Awalnya saya menikmati menonton pornografi dewasa. Tapi, karena godaan uang, saya malah menjadi pemeran video porno dengan belasan bocah laki-laki. Video dan foto itu bahkan saya jual hingga ke luar negeri.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Syahdan, pada 2019, saya mengenal seseorang yang mengaku bernama Mr. Po di media sosial Twitter—kini bernama X. Belakangan, saya tahu ia bernama asli Muhammad Shobur, 29 tahun. Mr. Po mengenal saya dengan nama samaran Han Gopay. Nama samaran saya ini tak ada hubungannya dengan aplikasi pembayaran digital yang sudah populer itu.
Mulanya saya menikmati tiap konten porno yang dicuit Mr. Po di akun Twitter-nya. Pada 2020, dia mengunggah video porno anak laki-laki. Dalam cuitannya, Mr. Po menyertakan undangan ke grup aplikasi percakapan Telegram. Saya masuk dan baru tahu nama grup itu Mr. Po Generation. Yang bikin saya kaget, grup itu tak hanya berisi puluhan video, tapi ribuan konten pornografi anak laki-laki dari berbagai negara. “Ada yang dari Indonesia, Malaysia, Filipina, Eropa, Amerika Serikat, hingga dari Benua Afrika.”
Baca Juga:
Mr. Po alias Shobur yang mengendalikan grup itu. Ia juga mempromosikan semua konten di dalamnya. Grup itu bahkan menyediakan layanan video call sex kalau pembeli dari luar negeri ataupun Indonesia ingin menonton langsung aktivitas korban anak-anak. Harganya bervariasi dari puluhan ribu, ratusan ribu, hingga jutaan rupiah. Mr. Po bahkan menjajakan anak-anak itu kepada pedofil lain dengan tarif lebih mahal.
Pada awal bergabung dengan grup Mr. Po Generation, saya kaget. Tapi lama-lama saya justru makin penasaran hingga akhirnya turut menikmati. Suatu ketika, Mr. Po alias Shobur mengumumkan undangan terbuka kepada semua anggota grup untuk berkunjung ke rumah kontrakannya di Depok, Jawa Barat. Ia menawari para anggota “bermain” dengan tiga anak laki-laki. Umur ketiganya 9-10 tahun dan masih duduk di bangku kelas III dan IV sekolah dasar.
Awalnya saya tak berniat datang, apalagi jika berhubungan seksual dengan anak laki-laki. Bagi saya, menonton video saja sudah cukup. Sampai suatu ketika saya memberanikan diri bertanya kepada anggota grup lain. Rupanya, ada yang lebih penasaran ketimbang saya. “Saya ingin ke sana, kamu mau ikut atau enggak?” demikian pesan seorang anggota grup kepada saya.
Pesan itu membuat saya terkejut. Banyak pikiran menghantui saya. Bisa saja ini jebakan. Tapi kami berdua sepakat bertemu di satu daerah di Jakarta Selatan sebelum meluncur ke Depok. Akhirnya, untuk pertama kali, saya bertemu dengan ketiga bocah laki-laki yang dijanjikan Shobur.
Kami ditawari merekam adegan seksual dengan para bocah ini dengan iming-iming sejumlah uang. Sadar perbuatan ini berisiko meninggalkan jejak digital, saya menolak dan akhirnya pulang sendirian. Tapi, beberapa hari berselang, saya diberi tahu bahwa bocah-bocah itu ingin bertemu dengan saya untuk bermain online game bareng dan menginap di Depok. “Saya memang mudah dekat dengan anak-anak.”
Saya akhirnya menerima tawaran itu. Ujung-ujungnya, saya berhubungan seksual dengan ketiga bocah tersebut sambil direkam Shobur alias Mr. Po. Saya melakukan perbuatan bejat itu sambil menutup kepala dengan kaus hitam agar wajah saya tak terekam kamera. Semua saya lakukan demi bayaran uang Rp 400 ribu.
Sejak saat itu, komunikasi saya dengan Mr. Po mulai intens. Dia melihat kemampuan berbahasa Inggris saya cukup baik. Shobur mulai mengenalkan saya kepada beberapa kenalannya dari Malaysia hingga Amerika Serikat. Saya mulai dilibatkan dalam bisnis jual-beli konten pornografi anak sebagai orang yang berkomunikasi dan menagih uang kepada orang asing yang membeli konten dari Shobur.
Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Narkotika Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, tempat Muhamad Shobur menjalani hukuman 12 tahun penjara, 13 Maret 2024./Tempo/Ayu Cipta
Sampai akhirnya seorang anak-anak korban Shobur melapor ke Kepolisian Resor Metropolitan Depok pada 2021. Keluarga bocah itu mengetahui perbuatan Shobur setelah video pornonya viral di media sosial. Polisi akhirnya menangkap Shobur di tahun yang sama. Shobur lalu dihukum 12 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Depok.
Tapi penjara tak menghentikan tindak tanduk Shobur. Ia tetap berupaya menghubungi saya. Shobur mengancam akan membocorkan nama saya ke polisi bila tidak memenuhi kebutuhannya di dalam penjara. Saya takut pada ancaman itu. Saya menyetorkan uang Rp 1 juta kepada Shobur. Uang itu saya peroleh dari orang tua angkat saya yang tinggal di Jakarta Utara.
Shobur memeras saya agar terus mendapatkan setoran. Saat uang kian menipis, di situlah saya menjadi “Mr. Po” yang baru. “Kalau lu enggak bisa bantu gua, lu harus gantiin posisi gua,” begitulah kalimat yang dilontarkan Shobur kepada saya.
Shobur malah memberi modal untuk membayar sewa hotel dan uang buat anak-anak yang menjadi korban. Sejak saat itu, saya mengulang persis apa yang dilakukan Shobur selama ini. Saya berburu anak di media sosial Facebook hingga permainan daring, seperti Mobile Legends: Bang-Bang dan PUBG Mobile, lalu mengajak mereka membuat konten adegan pornografi. Saya malah ketagihan karena kontennya selalu laku. Untuk tiap konten, saya mendapat fulus Rp 750 ribu-1,4 juta yang dikirim lewat dompet digital.
Konten video yang saya buat bisa dipesan sesuai dengan keinginan pembeli. Pada 2022, misalnya, ada orang Purwakarta, Jawa Barat, berinisial NZ yang meminta foto bocah laki-laki tanpa busana. Saya mengenal dia dengan nama samaran Capcay. Dia tertarik dan meminta layanan lebih, yaitu video call sex. Makin lama permintaan semacam ini makin banyak. “Tapi saya menyesal dan meminta maaf kepada para korban dan orang tuanya.”
Baca Juga:
•••
SEMUA aktivitas Handiki Setiawan akhirnya berhenti saat ia ditangkap polisi pada 23 Agustus 2023 di Tangerang. Ia ditetapkan sebagai tersangka bersama empat orang lain, termasuk NZ. “Tersangka HS tak hanya menjual konten, tapi juga menjual anak-anak itu kepada empat tersangka lain,” kata Kepala Satuan Reserse Kriminal Kepolisian Resor Kota Bandara Soekarno-Hatta Komisaris Reza Pahlevi.
Kini Muhammad Shobur sudah mendekam di Lembaga Pemasyarakatan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat. Ia divonis 12 tahun penjara. Dari balik jeruji, Shobur juga mengakui semua perbuatannya. Ia pun mengaku mengenal Handiki. “Saya mengenalnya dengan nama Han Gopay,” ucapnya pada Rabu, 13 Maret 2024. Tapi ia membantah dugaan menghubungi Handiki saat dipenjara. “Saya tidak boleh pakai telepon seluler.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Mohammad Khory Alfarizi dan Ayu Cipta berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Rayuan Cabul Mr. Po"