Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Terdakwa perkara pungutan liar (pungli) di lingkungan Rumah Tahanan Komisi Pemberantasan Korupsi (Rutan KPK), Ari Rahman Hakim, menyebut bahwa tahanan tindak pidana korupsi (tipikor) merupakan jenis tahanan yang paling berat untuk ditangani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mantan petugas Rutan KPK itu menyampaikan hal ini ketika bersaksi untuk terdakwa Muhammad Ridwan, Mahdi Aris, Suharlan, Ricky Rachmawanto, Wardoyo, Muhammad Abduh, dan Ramadhan Ubaidillah pada sidang Jumat lalu. Ketika bertugas di Rutan KPK, Ari Rahman berstatus sebagai pegawai negeri yang dipekerjakan (PNYD) dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Saksi dari Kemenkumham, ya?” tanya penasihat hukum terdakwa Muhammad Abduh mengonfirmasi status kepegawaian Ari Rahman dalam persidangan di Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Jumat, 15 November 2024.
“Betul,” jawab terdakwa.
Penasihat hukum bertanya kembali, “Sepengetahuan saksi, pengalaman saksi selama menjadi petugas, paling sulit untuk menangani tahanan itu tahanan apa?”
“Izin menjawab, Pak Penasihat Hukum, Pak Yang Mulia juga. Kebetulan saya 10 tahun menjadi petugas pemasyarakatan. Saya sudah menangani berbagai macam bentuk tahanan, mulai dari tahanan wanita, anak, risiko tinggi teroris juga, dan juga tipikor,” tutur Ari Rahman. Saya akui adalah yang paling berat itu tipikor, Yang Mulia.”
Dia pun menjelaskan, “Karena tipikor ini kekuatannya itu masih ada, baik itu di luar, baik itu di dalam.”
Ari mengatakan tidak merasakan perbedaan jenis tahanan seperti ini ketika bertugas di bagian pengelolaan rutan.
Dirinya baru merasakan kesulitan itu ketika bertugas sebagai petugas keamanan dan ketertiban (kamtib). “Jadi ketika waktu saya di kamtib itu saya menangkap kurang lebih 5 handphone,” kata Ari Rahman. Dia menyita telepon genggam itu dari tahanan di Rutan KPK di Gedung Merah Putih (K4) dan Rutan KPK di Gedung C1.
Ari Rahman kemudian menceritakan kesulitannya ketika menghadapi tahanan KPK. “Untuk kesulitannya adalah, itu saya alami ketika saya kamtib, saya pernah dilawan oleh tahanan dua kali,” tuturnya. Dia mengaku pernah diajak berkelahi oleh narapidana penghuni rutan.
“Saya ingat banget, karena di kamar tahanan itu ada meja. Meja harusnya itu meja kantor tapi dimasukin ke kamar,” kata dia. Ari Rahman berkata tahanan itu menantangnya untuk berkelahi ketika ia berusaha mengeluarkan meja tersebut.
“Yang kedua adalah ketika waktu itu mau pemilihan umum. Waktu itu saya kamtib, Yang Mulia,” ucapnya. Para tahanan, kata Ari Rahman, tidak mau diborgol. “Sampai saya minta tolong itu ada saksinya, banyak banget saksinya.”
Ia pun menyinggung soal kesaksian para tahanan di persidangan-persidangan sebelumnya. “Ketika para tahanan dipanggil ke sini, mereka merasa tersiksa, mereka merasa ‘wah saya pusing, enggak bisa bayar’, logikanya Yang Mulia, para tahanan itu setiap hari ketemu penyidik,” ujar terdakwa. “Harusnya mereka, apabila merasa tertekan memberikan uang, gampang banget melaporkan kepada penyidik.”
Adapun majelis hakim memberikan respons ihwal keterangan terdakwa Ari Rahman itu. “Tadi menerangkan bahwa menangani tahanan tipikor paling sulit ya?” tanya Hakim Ketua di akhir persidangan.
“Paling sulit, Yang Mulia,” jawab Ari Rahman.
Hakim pun bertanya, “Begini, petugas rutan itu boleh kalah enggak dengan tahanan?”
“Seharusnya tidak boleh kalah, Yang Mulia,” ucap terdakwa.
“Nah itu,” kata Hakim Ketua.
“Tapi mereka mengancam, Yang Mulia. ‘Kami akan melaporkan ke Komnas HAM, kami akan melaporkan ke Dewas’ gitu, Yang Mulia,” kata Ari Rahman.
Hakim kembali bertanya kepadanya, “Sekarang pertanyaan saya, petugas rutan itu akan mengikuti kemauan tahanan atau mengikuti kemauan pimpinan?” Terdakwa Ari Rahman pun menjawab bahwa petugas seharusnya mengikuti kemauan pimpinan rutan.
“Terdakwa-terdakwa ini mengikuti kemauan tahanan atau mengikuti kemauan pimpinan, setahu Saudara?” tanya Hakim Ketua.
“Setahu saya tidak saling mengikuti, Yang Mulia, tapi sama-sama enak,” tutur terdakwa.
Hakim Ketua pun bertanya maksud jawaban itu. “Karena kan memang tahanan dapat benefit, dapat handphone, ya petugas dapat uang, Yang Mulia,” kata Ari Rahman.
“Sama-sama enak tuh maksudnya terus berjuang untuk duduk di sini?” tanya Hakim Ketua menunjuk area persidangan.
“Pertanyaan saya serius ini,” ucap Hakim Ketua. “Pertanyaan saya kepada Saudara, tapi juga kepada saksi yang lain. Sekali lagi, petugas rutan itu mengikuti kemauan tahanan atau mengikuti kemauan pimpinan?”
Ari Rahman menjawab, “Pimpinan, Yang Mulia.”
“Bisa enggak, dia menolak pemberian uang?” tanya Hakim Ketua.
“Bisa, Yang Mulia.”
Hakim bertanya lagi “Bisa nggak, dia melarang jangan pakai handphone?”
“Bisa seharusnya, Yang Mulia,” tutur Ari Rahman.
“Bisa nggak, dia memberikan fasilitas handphone?” tanya Hakim Ketua.
Terdakwa mengatakan, “Tidak bisa seharusnya, Yang Mulia.”
“Tidak bisa, apalagi dengan uang,” tutur Hakim Ketua.
Sebanyak 15 terdakwa kasus dugaan korupsi berupa pungli di Rutan KPK masih menjalani proses sidang di Pengadilan Tipikor pada PN Jakarta Pusat. Mereka diduga melakukan pungli atau pemerasan kepada tahanan di Rutan Cabang KPK senilai Rp 6,38 miliar pada rentang waktu 2019-2023. Pungli dilakukan para terdakwa di tiga Rutan Cabang KPK, yakni Rutan KPK di Gedung Merah Putih (K4), Rutan KPK di Gedung C1, dan Rutan KPK di Pomdam Jaya Guntur.
Para terdakwa dalam perkara ini, antara lain Kepala Rutan KPK periode 2022–2024 Achmad Fauzi; Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Rutan KPK periode 2018 Deden Rochendi; Plt Kepala Rutan KPK periode 2021 Ristanta; dan Kepala Keamanan dan Ketertiban KPK periode 2018–2022 Hengki.
Selain itu, ada pula petugas Rutan KPK, yakni Eri Angga Permana, Sopian Hadi, Agung Nugroho, Ari Rahman Hakim, Muhammad Ridwan, Mahdi Aris, Suharlan, Ricky Rahmawanto, Wardoyo, Muhammad Abduh, serta Ramadhan Ubaidillah, yang menjadi terdakwa.
Praktik pungli itu dilakukan dengan tujuan memperkaya 15 orang terdakwa tersebut, yakni memperkaya Deden senilai Rp 399,5 juta, Hengki Rp 692,8 juta, Ristanta Rp 137 juta, Eri Angga Rp 100,3 juta, Sopian Rp 322 juta, Fauzi Rp 19 juta, Agung Rp 91 juta, serta Ari Rp 29 juta.
Selanjutnya, memperkaya Ridwan sebesar Rp 160,5 juta, Mahdi Rp 96,6 juta, Suharlan Rp 103,7 juta, Ricky Rp 116,95 juta, Wardoyo Rp 72,6 juta, Abduh Rp 94,5 juta, serta Ubaidillah Rp 135,5 juta.
Pilihan Editor: TNI Buka Suara soal Foto Prajuritnya Bersama Pengusaha Ivan Sugianto