Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ORANG-ORANG berteriak-teriak panik ketika pasukan Rusia merangsek masuk Desa Yahidne, Chernihiv, Ukraina, dua tahun lalu. Pada 2 Maret 2022 itu, tentara Rusia tiba bersama senjata berat dan tank yang menderu-deru sebagai bagian dari operasi militer khusus, istilah Presiden Rusia Vladimir Putin untuk invasi Rusia ke Ukraina.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Para serdadu Negeri Beruang Merah itu pun mulai menyisir rumah-rumah penduduk. Begitu menemukan penghuni rumah, mereka membawanya ke sekolah desa. Tentara Rusia mengarak warga desa itu tanpa peduli apakah mereka mengenakan pakaian hangat atau tidak. Pada musim dingin itu, suhu udaranya 1-4 derajat Celsius.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Semua 368 warga desa dimasukkan ke basemen sekolah, dijadikan tahanan hidup,” kata Ivan Polhuy, tetua Desa Yahidne, kepada Tempo, yang mengunjungi Desa Yahidne dengan dukungan Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara, pada Senin, 26 Februari 2024. Keterangan Polhuy itu diterjemahkan oleh Myroslava Iaremkiv dan Yulia Volfovska dari Ukraine Crisis Media Center.
Polhuy menuturkan, pasukan Rusia mengubah sekolah itu menjadi markas mereka. Desa Yahidne dipilih karena strategis. Desa itu menjadi pintu masuk bagi tentara Rusia untuk menguasai Kota Chernihiv. Tentara Rusia juga menyimpan tank dan kendaraan tempur mereka di kompleks sekolah tempat taman kanak-kanak hingga sekolah menengah pertama berdiri.
Agar tidak diketahui, beberapa kendaraan ditaruh di tempat yang tanahnya sudah digali. Menurut Polhuy, warga desa dijadikan tahanan hidup agar tentara Ukraina tak menyerang sekolah tersebut.
Bagian bawah tanah sekolah itu memiliki empat ruangan dengan luas total 190 meter persegi. Di sana tidak ada sama sekali mesin penghangat untuk melawan udara dingin. Salah satu ruangan disesaki 18 orang, yang hanya bisa berdiri saking karena sempitnya. Ruangan lain menjadi tempat tahanan penduduk berusia paling tua 92 tahun dan yang paling muda bayi 18 bulan.
Ivan Polhuy. Tempo/Husein Abri
Polhuy menambahkan, di basemen itu tidak ada stok makanan. Militer Rusia juga tidak memberi makanan apa pun bagi para tahanan. Tahanan yang sempat membawa kubis dan kentang kemudian berbagi makanan. Sesekali jatah makanan bertambah bila anak-anak kecil diperbolehkan keluar dari basemen. “Tapi, prioritas kami, makanan untuk anak kecil,” ujar pria 64 tahun itu.
Perlahan-lahan tahanan yang tak kuat akhirnya meninggal. Tahanan lain terpaksa hidup bersama mayat selama berhari-hari hingga tentara Rusia membuka pintu basemen dan mereka dapat mengeluarkan mayat tersebut. Mereka mengusungnya di atas kepala dan mengopernya ke sesama tahanan hingga bisa mengeluarkannya.
Mayat itu ditaruh di suatu bangunan kecil yang lokasinya berada di luar gedung sekolah yang sudah ada sejak 1995 itu. “Mereka mati karena kelaparan, sakit, dan stres,” ucap Polhuy. Total, ada 25 orang yang meninggal di dalam basemen itu.
Saking stresnya, para tahanan mencoret-coret tembok. Mereka antara lain menuliskan lagu kebangsaan Ukraina, nama-nama tahanan yang mati, hingga kalender buatan untuk menghitung hari.
Suara tembakan terdengar kembali pada 30 Maret 2022. Rupanya, pasukan Ukraina telah tiba dan menyerang markas pasukan Rusia. Keesokan harinya, pasukan Ukraina membebaskan warga desa dari tahanan di basemen dan membawa mereka ke tempat aman, seperti Kyiv.
Setelah daerah Chernihiv bebas dari Rusia, penduduk perlahan-lahan kembali ke rumah mereka, termasuk warga Desa Yahidne. “Tapi ada sekitar 50 warga yang tak mau pulang karena mengalami trauma,” kata Polhuy. Mereka mengalami trauma karena dijadikan tahanan hidup selama 28 hari oleh pasukan Rusia.
Kini, dua tahun kemudian, warga Yahidne mulai bangkit. Mereka kembali berkebun dan bertani di dekat tempat tinggal mereka. Ada juga rumah yang direnovasi. Sekolah bekas tempat penahanan warga desa dijadikan museum peringatan. Barang-barang di ruangan itu, seperti pakaian, dibiarkan tetap berserakan. Di luar gedung teronggok sebuah tank Rusia yang sudah hancur dan berkarat.
Sekitar 27 kilometer dari Yahidne, gedung Chernihiv Youth Center juga menjadi sasaran rudal Rusia dalam serangan pada 27 Februari 2022. Tetyana Mishuk, Kepala Departemen Administratif Chernihiv Youth Center, mengaku hampir tewas saat itu. “Tujuh menit setelah saya keluar dari kantor, rudal melesat ke bangunan dan meledak,” tuturnya, Senin, 26 Februari 2024.
Gedung di pusat Kota Chernihiv itu rusak berat. Kini bangunan tersebut belum bisa digunakan kembali. Direktur Chernihiv Youth Center Irina Simonova menyatakan tempat itu memerlukan dana US$ 5 juta atau sekitar Rp 77,8 miliar untuk perbaikan. Saat ini mereka baru mendapatkan sekitar 15 ribu euro atau Rp 255 juta. “Kami berharap tempat ini bisa beroperasi kembali,” ujar ibu yang anaknya tewas dalam perang melawan Rusia itu.
Bunker tempat warga desa disandera di Desa Yahidne, Chernihiv, Ukraina, 22 Maret 2024. Tempo/Husein Abri
Gedung Chernihiv Youth Center ada sejak 1939. Bangunan itu pernah hancur karena Perang Dunia II dan diperbaiki pada 1948-1949. Biasanya bangunan itu dijadikan tempat menonton film hingga lokasi berkumpul anak-anak muda. Menurut Simonova, sebelum masa pandemi Covid-19, setiap tahun ada 25 ribu pengunjung dan sekitar 1.000 acara digelar.
Gubernur Chernihiv, Vyacheslav Chaus, menyatakan 683 orang meninggal dan 1.339 orang terluka saat invasi Rusia dimulai. Serangan itu juga merusak 13.594 bangunan, termasuk tempat tinggal, sekolah, dan rumah sakit. Pemerintah Chernihiv juga sempat merusak jalan dan jembatan untuk menahan laju gerakan pasukan Rusia. “Saat itu ada konvoi tentara Rusia,” ucapnya di kantornya pada 26 Februari 2024.
Dengan segala kerusakan itu, Chaus menerangkan, dia membutuhkan biaya besar untuk membangun kembali kotanya. Dia berharap bantuan rekonstruksi itu berasal dari komunitas internasional. “Yang paling penting adalah renovasi untuk tempat tinggal,” tutur Chaus.
•••
SETELAH dua tahun perang berlangsung, kesibukan Volodymyr Kuzyo makin padat. Wakil Menteri Keuangan Ukraina itu berkunjung ke berbagai negara untuk mencari investor bagi negaranya. Contohnya, Kuzyo bertandang ke Tokyo, Jepang, pada 20 Februari 2024. Di Negeri Sakura, dia bertemu dengan sejumlah pengusaha dan perwakilan Badan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).
“Kami mencari dana agar perekonomian Ukraina makin tumbuh,” ujarnya di kantor Ukraine Crisis Media Center, Kyiv, 24 Februari 2024. Di sana, menurut Kuzyo, dia mendapatkan komitmen pendanaan sekitar US$ 20 juta dari Japan International Cooperation Agency. Kuzyo juga pergi ke India pada pertengahan Januari 2024 dan mengajak pengusaha serta pemerintah India berinvestasi di sektor energi di negerinya.
Ukraina memang memerlukan suntikan dana dari negara-negara lain. Musababnya, selama 2022-2023, ekonomi Ukraina merosot. Namun negeri itu masih optimistis banyak negara mau kembali berinvestasi ke Ukraina karena negara tersebut menjadi pintu masuk perdagangan bagi negara Eropa lain dan negara Timur Tengah.
Selain memenuhi kebutuhan untuk memulihkan perekonomian mereka, pemerintah Ukraina gencar mencari tambahan duit guna membangun kembali negaranya yang porak-poranda akibat perang. Menurut Kuzyo, berdasarkan saran Bank Dunia, kebutuhan dana untuk rekonstruksi di semua wilayah yang terkena dampak perang adalah US$ 400 miliar atau sekitar Rp 6.246,8 triliun.
Pemerintah Ukraina hanya punya sedikit dana untuk pembangunan karena dana pemerintah lebih banyak difokuskan pada belanja pertahanan, seperti alat perang dan kebutuhan prajurit, mengingat perang dengan Rusia yang tak kunjung reda. Kuzyo mengakui kondisi ini tapi tidak mau mengungkapkan berapa besar dana yang dibutuhkan oleh pihak pertahanan Ukraina. “Itu rahasia negara,” katanya.
Selain mencari investor, pemerintah Ukraina rajin mencari dukungan negara lain untuk melawan Rusia. Direktur Departemen Politik Kementerian Luar Negeri Ukraina Liubov Nepop mengatakan pemerintahnya dan Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy juga mengajukan proposal perdamaian. Proposal itu berupa permintaan dukungan dari negara lain agar Rusia bisa menghentikan invasinya hingga meminta Rusia dibawa ke persidangan di PBB.
“Tanpa dukungan politik dari negara lain, tidak mungkin ada perdamaian,” ucap Nepop di kantornya pada 22 Februari 2024. Nepop yakin, jika perang di Ukraina tidak menjadi perhatian internasional, bisa saja pasukan Rusia makin menggilas negaranya lebih parah daripada yang telah terjadi dua tahun ini.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Ukraina, Dua Tahun Kemudian"