Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Demi membangun kampung deret, Pemerintah Kota Bandung menggusur warga Tamansari, Kota Bandung.
Penggusuran diwarnai kekerasan oleh polisi.
Warga Tamansari selalu dikalahkan oleh pengadilan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MIMPI buruk itu tiba setelah Eva Aryani bangun dari tidurnya pada pukul tujuh pagi, Kamis, 12 Desember lalu. Melalui grup WhatsApp Rukun Warga 11 Tamansari, Kecamatan Bandung Wetan, Kota Bandung, perempuan 49 tahun itu mengetahui bahwa kawasan tersebut telah dikepung oleh sekitar 30 polisi berseragam. “Saat ditanyai penduduk, polisi itu mengaku sedang sarapan bubur. Padahal tidak pernah ada tukang bubur di RW 11,” kata Eva menceritakan kisahnya kepada Tempo, Rabu, 18 Desember lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Grup tersebut pun menjadi riuh. Tak lama kemudian, seorang anggota grup mengabarkan bahwa di Taman Film, yang jaraknya hanya sepelemparan batu dari RW 11, berbaris ratusan personel Satuan Polisi Pamong Praja. Keluar dari rumahnya, Eva pun menyaksikan pasukan berseragam cokelat-cokelat sudah memenuhi wilayah itu. Ada pula anggota Tentara Nasional Indonesia di sana. Saat itulah Eva langsung menyadari: kawasan tersebut bakal digusur.
Sebagai salah satu koordinator penduduk yang melawan penggusuran, Eva mencoba mengumpulkan tetangganya. Tak lama kemudian, informasi penggusuran menyebar di media sosial. Akun Instagram @Tamansarimelawan menampilkan poster bertajuk “panggilan solidaritas” yang berisi seruan untuk datang ke RW 11 dan membantu penghuni 16 rumah yang tersisa di kawasan itu. Sebelumnya, akun dengan 27 ribu pengikut itu terakhir kali aktif pada pertengahan November lalu.
Menurut Eva, saat itu kawasan tersebut kian penuh oleh polisi dan personel Satpol PP. Namun mereka belum melakukan apa pun. Baru sekitar pukul sembilan, anggota Satpol PP mengetuk satu per satu pintu rumah warga dan meminta mereka keluar dari rumah. “Tanpa ada surat tugas, mereka langsung menyuruh penduduk mengosongkan rumah,” ujar Eva.
Sebagian penduduk mengungsi ke Masjid Al-Islam yang berada di daerah tersebut. Massa pendukung warga Tamansari ikut membantu memindahkan harta benda penduduk. Sejumlah penduduk yang ditemui Tempo mengatakan penggusuran itu sangat mendadak. Eva berujar, surat yang dikirimkan Pemerintah Kota Bandung kepada pengurus RW 11 tidak mencantumkan tanggal penggusuran.
Pemerintah Kota Bandung dan Kepolisian Resor Kota Besar Bandung mengerahkan 1.260 personel dalam penggusuran tersebut. Tempo, yang juga hadir di lokasi, menyaksikan mereka menyebar ke segala penjuru. Anggota Satpol PP berada di dalam permukiman serta polisi berjaga di sekitar Taman Film dan mal Balubur Town Square. Alat berat untuk merobohkan bangunan juga sudah berada di sekitar kawasan tersebut. Personel Satpol PP membentuk pagar betis mengelilingi alat berat itu.
Tak lama setelah azan zuhur, mesin backhoe dinyalakan. Derunya membangkitkan amarah massa yang menyemuti RW 11. Teriakan agar mesin dimatikan dianggap angin lalu. Mulailah mereka mengambil batu-batu reruntuhan bangunan yang digusur Pemerintah Kota Bandung sejak Desember 2017 hingga Maret 2018. Petugas penggusuran pun ikut mengambil batu. Dalam sekejap, hujan batu turun di Tamansari.
Tiba-tiba bunyi tembakan terdengar. Setidaknya lima kali polisi menembakkan gas air mata ke arah massa. Massa kocar-kacir. Polisi kemudian merangsek maju dengan pentungan di tangan. Di Masjid Al-Islam, Enzo, 39 tahun, saat itu baru tiba untuk mencari anak dan istrinya. Menghindar dari gas air mata, dia naik ke lantai dua masjid. Namun polisi menangkapnya. “Saya dituduh sebagai provokator,” ucapnya menceritakan kembali peristiwa itu kepada Tempo, Selasa, 17 Desember lalu.
Enzo terburu-buru menunjukkan kartu tanda penduduknya sebagai bukti dia warga Tamansari. Namun polisi tak percaya. Pentung karet dan tinju menggodam tubuhnya. Polisi, kata Enzo, kemudian menyuruhnya lari. Tapi gebukan tak lantas berhenti. Darah mengalir dari hidungnya yang sobek terkena bogem polisi. Dia kemudian dilarikan ke rumah sakit. Saat ditemui Tempo, perban masih menutup hidungnya.
Kericuhan kian besar dan meluas hingga ke Balubur Town Square. Di sana, petugas penggusuran menangkap orang-orang yang dituding sebagai provokator. Sejumlah orang sempat mengabadikan kekerasan yang menimpa penolak penggusuran. Namun polisi mendatangi mereka dan meminta rekaman video di telepon seluler itu dihapus. Hari itu, polisi menangkap 25 orang yang terdiri atas penduduk setempat dan pendukung warga Tamansari. Mereka ditahan selama satu hari karena dianggap mengganggu ketertiban umum.
Seusai asar, kericuhan berhenti. Tanpa rintangan, alat berat menggulingkan rumah-rumah yang tersisa hingga rata dengan tanah. Di kejauhan terlihat api menyala di salah satu rumah. Sebagian penduduk mengungsi dan tinggal di Masjid Al-Islam.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Bandung Willy Hanafi mengatakan lembaganya mencatat penggusuran itu sarat kekerasan oleh aparatur negara. Dia mencontohkan, perempuan dan anak-anak ikut terkena efek gas air mata. “Paling parah, ada penduduk yang menjadi korban kekerasan. Dia mendapat empat jahitan di tubuhnya,” ujar Willy. Ironisnya, kata Willy, kekerasan itu terjadi hanya dua hari setelah Pemerintah Kota Bandung beroleh penghargaan dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia sebagai kota peduli hak asasi manusia.
Kepala Bidang Hubungan Masyarakat Kepolisian Daerah Jawa Barat Komisaris Besar Trunoyudo mengatakan Divisi Profesi dan Pengamanan telah memeriksa 52 polisi yang mengawal penggusuran. Hasilnya, dua orang terbukti melakukan pelanggaran. Namun Trunoyudo belum bisa memastikan sanksi untuk petugas yang melakukan kekerasan tersebut.
•••
Sengketa lahan di Tamansari terjadi pada 2017. Saat itu, Pemerintah Kota Bandung mengumumkan akan membangun rumah deret di kawasan tersebut. Rencananya rumah deret dibangun di lahan seluas 6.616 meter persegi. Proses pembangunannya dimulai tahun ini.
Kepala Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman, Pertanahan, dan Pertamanan Kota Bandung Dadang Darmawan mengklaim program itu telah disosialisasi secara menyeluruh. Dia juga mengklaim ada 180 dari 198 keluarga di Tamansari yang mendukung proyek tersebut. “Sisanya masih menolak program rumah deret. Kami berharap ada komunikasi dengan mereka yang menolak,” ujar Dadang saat ditemui pada Rabu, 18 Desember lalu.
Sejak 2017, Pemerintah Kota Bandung menggusur rumah-rumah di situ. Sebanyak 33 keluarga yang rumahnya dihancurkan berkukuh lahan itu tak bisa diklaim sebagai aset Kota Bandung. Sebagian penduduk pun mengaku sudah berpuluh tahun menempati lahan tersebut. Eva Aryani, warga RW 11, misalnya, menyatakan sudah 40 tahun tinggal di situ.
Bentrok petugas dengan warga saat penggusuran permukiman di proyek rumah deret Tamansari, Bandung, Jawa Barat, 12 Desember lalu./TEMPO/Prima Mulia
Para penolak penggusuran melayangkan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara pada 2018. Mereka mempersoalkan tata cara penerbitan surat keputusan pembangunan rumah deret. Namun pengadilan menolak gugatan tersebut. Adapun Mahkamah Agung menyatakan putusan tersebut berkekuatan hukum tetap. Sembari mengajukan permohonan pembuatan sertifikat ke Badan Pertanahan Negara Kota Bandung, penduduk Tamansari kembali menggugat ke PTUN ihwal izin lingkungan proyek rumah deret.
Menurut Eva, berkali-kali proses negosiasi dengan Pemerintah Kota Bandung digelar. Tapi tak ada kesepakatan soal ganti rugi yang akan diberikan kepada korban gusuran. Tanpa penggantian yang jelas, Eva dan sebagian penduduk tetap menolak menghuni rumah deret.
Namun Pemerintah Kota Bandung juga berkukuh lahan tersebut merupakan aset pemerintah. Dengan demikian, kata Dadang Darmawan, tak ada alasan memberikan ganti rugi. Namun Dadang mengklaim kontraktor rumah deret telah menawarkan uang kerohiman untuk penduduk yang rumahnya digusur. “Prinsipnya uang kerohiman karena pemerintah tak bisa memberikan ganti rugi,” ucapnya.
Kamis, 19 Desember lalu, atau sepekan seusai penggusuran, Pengadilan Tata Usaha Negara Kota Bandung menggelar sidang putusan gugatan izin lingkungan rumah deret. Puluhan penduduk Tamansari sedari pagi berunjuk rasa di depan gedung PTUN. Mereka berharap pengadilan memenangkan korban gusuran yang menggugat.
Palu hakim berkata lain. Majelis hakim yang diketuai Yarwan menilai pihak tergugat, yakni Pemerintah Kota Bandung, telah memenuhi seluruh syarat administrasi dan prosedur dalam pembangunan rumah deret. “Memutuskan menolak gugatan penggugat seluruhnya,” ujar Yarwan. Berada di barisan terdepan bangku pengunjung, Eva Aryani terlihat emosional saat mendengar putusan tersebut. Lalu dia berdiri dengan tangan kiri meninju langit dan berteriak, “Hidup rakyat Tamansari yang melawan!”
IQBAL T. LAZUARDI (BANDUNG)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo