Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Peran Pius Lustrilanang dalam Suap Audit BPK di Sorong

Pius Lustrilanang terseret operasi tangkap tangan KPK di Kabupaten Sorong. Diduga menarik upeti dari perwakilan BPK di daerah.

3 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT petugas Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendatangi rumah dinas Yan Piet Mosso di Kilometer 23, Distrik Aimas, Kabupaten Sorong, Papua Barat Daya, pada Senin, 13 November lalu, sekitar pukul 04.00 WIT. Para penyidik KPK sedang menyidik dugaan suap pengaturan audit pemeriksaan laporan keuangan di kabupaten itu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yan Piet, yang menjabat Bupati Sorong sejak Agustus 2022, tak berkutik ketika para penyidik tiba di rumahnya. Ia juga ikut boyongan penyidik yang membawanya ke Markas Kepolisian Resor Sorong pada subuh itu juga.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Sebelum menangkap Yan, KPK menggelar operasi tangkap tangan (OTT) terhadap dua pegawai Kabupaten Sorong dan tiga auditor BPK kantor perwakilan Papua Barat pada Ahad sore, 12 November lalu. Hadi Tuasikal, pengacara Yan Piet, mengakui ihwal urut-urutan penangkapan kliennya itu.

Sehari sebelum OTT, BPK Perwakilan Papua Barat menggelar acara sosialisasi di salah satu hotel di Kota Sorong. Kepala Badan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (BPKAD) Kabupaten Sorong Efer Segidifat dan staf BPKAD Kabupaten Sorong, Maniel Syatfle, hadir dalam acara itu. Sementara itu, Yan Piet tak datang karena tengah berkunjung ke perbatasan kabupaten itu.

KPK menangkap Efer dan Maniel bersama tiga pegawai BPK lain, yaitu Kepala Perwakilan BPK Papua Barat Patrice Lumumba Sihombing; Kepala Subauditorat Papua Barat II Abu Hanifa; dan Ketua Tim Pemeriksa Subauditorat II BPK David Patasaung. Ada empat pegawai BPK lain yang ikut diciduk, salah satunya Febyan Julius Hetharia, tenaga ahli di BPK. Dalam OTT itu, KPK menyita uang Rp 1,8 miliar dan satu jam tangan merek Rolex.

Penyidik KPK memeriksa secara intensif sembilan orang tersebut pada Ahad itu. Penyidik menanyakan pemberian suap oleh dua anak buah Yan Piet, Efer Segidifat dan Maniel Syatfle, kepada Patrice Sihombing, Abu Hanifa, dan David Patasaung. Dari pemeriksaan mereka itulah penyidik KPK mendapatkan nama Yan Piet.

Merasa cukup dengan bukti-bukti awal, penyidik KPK kembali ke Jakarta dengan memboyong sepuluh pejabat, termasuk Bupati Yan Piet, esoknya. Mereka langsung memeriksa para terduga pelaku korupsi itu dan menetapkan Yan Piet, dua stafnya, serta tiga pegawai BPK sebagai tersangka suap. KPK melepas empat pegawai BPK lain yang terciduk.

Kepala Bagian Pemberitaan KPK Ali Fikri mengatakan dugaan suap audit BPK ini bermula dari aduan masyarakat bahwa akan ada penyerahan uang kepada tim pemeriksa BPK. Karena itu, penyidik KPK menuduh Yan Piet memerintahkan pemberian suap berupa uang dan jam Rolex yang disita di hotel tempat sosialisasi audit tersebut. “Pemberian itu terkait dengan pengkondisian temuan audit BPK untuk wilayah Provinsi Papua Barat Daya tahun anggaran 2023,” kata Ali.

Hadi Tuasikal membantah tuduhan KPK. Ia mengklaim Yan Piet tak tahu stafnya menyerahkan uang suap kepada perwakilan BPK. Yan juga tak berkomunikasi dengan pegawai BPK sesaat sebelum OTT terjadi. “Beliau juga tak pernah memerintahkan pengkondisian temuan BPK kepada anak buahnya,” tutur Hadi.

Penjabat Bupati Sorong, Yan Piet Mosso, memakai rompi tahanan selepas terjaring operasi tangkap tangan dan menjalani pemeriksaan di gedung Komisi Pemberantasan Korupsi, Jakarta, 14 November 2023./Tempo/Imam Sukamto 

Syahdan, dugaan suap ini bermula saat Efer Segidifat dan Maniel Syatfle menjadi utusan Yan Piet Mosso untuk berkomunikasi dengan Abu Hanifa dan David Patasaung pada medio Agustus lalu. Abu Hanifa dan David adalah representasi Kepala Perwakilan BPK Papua Barat Patrice Sihombing.

Efer dan Maniel diduga bersepakat dengan perwakilan BPK untuk menyerahkan sejumlah uang yang diberikan secara bertahap di lokasi yang berbeda. Tujuannya adalah mempengaruhi hasil audit pemeriksaan dengan tujuan tertentu (PDTT) yang merupakan pemeriksaan investigatif atas temuan kerugian negara di Kabupaten Sorong.

Perintah audit PDTT berasal dari kantor pusat BPK di Jakarta. Pada 11 dan 18 September lalu, Anggota VI BPK Pius Lustrilanang menerbitkan surat tugas pemeriksaan PDTT untuk wilayah Kabupaten Sorong, Kabupaten Sorong Selatan, Kabupaten Maybrat, Kota Sorong, dan Provinsi Papua Barat Daya.

Sesuai dengan tugasnya sebagai Anggota VI BPK, mantan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Gerindra itu mengkoordinasikan pemeriksaan anggaran negara di wilayah II yang meliputi Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Pius memegang wilayah itu sejak April 2022. Sebelumnya, saat bergabung dengan BPK pada 2019, ia menjabat Anggota II BPK.

Dua orang yang mengetahui operasi tangkap tangan KPK di Sorong mengatakan Pius diduga meminta uang Rp 500 juta-2 miliar kepada pihak pemerintah daerah yang menjadi wilayah tugasnya. Ia menarik upeti itu lewat perwakilan BPK setempat. Pada Oktober lalu, misalnya, Pius ditengarai mengumpulkan kepala perwakilan BPK saat merayakan ulang tahunnya di salah satu kafe di Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.

Dalam acara itu, ia menyampaikan akan mengganti kepala perwakilan BPK bila tak menyetor upeti sesuai dengan jumlah yang ditentukan. Suap dari pegawai Kabupaten Sorong kepada tiga perwakilan BPK yang menjadi tersangka dalam kasus ini diduga bagian dari permintaan upeti tersebut.

Seseorang yang mengetahui pemeriksaan kasus ini mengatakan enam tersangka kabarnya sudah menyebut nama Pius kepada pemeriksa KPK. Karena itu, pada Rabu, 15 November lalu, penyidik langsung bergerak ke lantai 15 gedung BPK untuk menggeledah ruang kerjanya.

Saat tim KPK hendak memasuki ruang lobi gedung, enam anggota tim KPK mendapati dua anak buah Pius tengah membawa dua kantong plastik berisi dokumen dan laptop. Salah seorang di antaranya adalah Febyan Julius, tenaga ahli Anggota VI BPK. KPK menyita dua kontainer plastik tersebut dan menginterogasi Febyan. Anggota tim KPK lain melanjutkan penggeledahan, lalu menyegel ruang kerja Pius.

Rupanya, rencana penggeledahan itu bocor. Pius yang sedang berada di Korea Selatan mendengar informasi tersebut, lalu meminta Febyan mengambil sejumlah dokumen penting dari ruang kerjanya. Pengumpulan dokumen itu baru selesai pada Rabu pagi, 15 November lalu. Tapi mereka bersirobok dengan penyidik KPK di lobi.

Tempo mendatangi rumah Febyan di perumahan di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan, untuk meminta konfirmasi ihwal kabar itu. Seorang perempuan muda di rumah tersebut mengatakan Febyan sedang ke luar rumah. “Ini soal Pius, ya?” tuturnya. Ia juga mengatakan penyidik KPK sudah datang untuk memeriksa Febyan. Dihubungi lewat sambungan telepon seluler, calon anggota legislatif di daerah pemilihan Jawa Timur dari Partai Gerindra itu juga tak kunjung merespons permintaan wawancara.

Surat permohonan wawancara sudah dikirim ke rumah dinas Pius Lustrilanang di Jalan Kartika Utama, Kebayoran Lama, Jakarta Selatan. Surat tersebut tak berbalas. Tempo juga mendatangi rumah pribadinya di Jalan Drupada III, Kelurahan Tegal Gundil, Kota Bogor, Jawa Barat. Rumah itu ternyata tak dihuni.

Pius menggunakan alamat itu sebagai kantor perusahaan miliknya, PT Brigass Tri Lanang Security. Seorang penjaga rumah mengatakan Pius dan keluarganya tak lagi tinggal di sana. “Sudah lama Bapak serta istri dan anaknya enggak ke sini,” ujarnya.

Penjaga tersebut mengatakan istri dan anak Pius tinggal di Sentul, Kabupaten Bogor. Pius lebih sering berada di rumah dinasnya di Jakarta. Ketika berita tentang operasi tangkap tangan KPK di Sorong mencuat, penyidik KPK juga sudah mendatangi rumah Pius di Jalan Drupada. Penjaga rumah itu mengatakan Pius sempat memberi perintah agar tak menyebutkan keberadaannya jika ada orang yang mencarinya.

KPK sudah memeriksa Pius pada Jumat, 1 Desember lalu, pukul 10.00. Selepas keluar dari gedung KPK pada sore hari, Pius tak meladeni cecaran pertanyaan wartawan. “Sudah saya sampaikan semua kepada penyidik. Jadi silakan tanya kepada penyidik,” ucapnya.

Seorang mantan anggota BPK menyebutkan pungutan kepada auditee sudah lazim terjadi di BPK sejak mayoritas auditor negara berasal dari anggota partai politik. Besaran upeti akan mempengaruhi hasil audit dan opini BPK terhadap anggaran di berbagai lembaga negara dan pemerintah daerah. Jumlah setoran bergantung pada nilai anggaran dan temuan auditor.

Dihubungi lewat sambungan telepon, Ketua BPK Isma Yatun dan beberapa anggota BPK lain tak merespons permintaan wawancara Tempo. Surat permintaan wawancara juga dikirimkan ke Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama Internasional BPK, tapi tak kunjung berbalas.

Sebelumnya Biro Humas menerbitkan siaran pers yang berisi permintaan maaf kepada masyarakat atas penangkapan anggota BPK di Sorong pada Selasa, 14 November lalu. “Secara internal, BPK tidak menoleransi dan akan menindak oknum BPK yang terbukti melakukan pelanggaran kode etik dan disiplin pegawai,” demikian bunyi pernyataan tersebut.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Riky Ferdianto, Fajar Pebrianto, dan Sidik Permana dari Bogor berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit id bawah judul "Upeti Rolex Auditor Negara "

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus