Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Mengapa Politisi Berlomba Masuk BPK

Anggota partai politik menguasai Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Akibat revisi Undang-Undang BPK mandek.

3 Desember 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

EMPAT tahun berlalu, perubahan Undang-Undang Badan Pemeriksa Keuangan tak jelas ujungnya. Padahal salah satu tujuan revisi Undang-Undang BPK adalah menjauhkan lembaga audit negara itu dari kepentingan politik. “Tak ada lagi kelanjutannya setelah dibahas di DPR,” kata Sekretaris Tim Penyelarasan Naskah Akademik untuk Revisi Undang-Undang BPK, Ilham Putuhena, pada Jumat, 1 Desember lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ilham terlibat dalam Tim Penyelarasan sejak 9 Oktober 2018. Kala itu usul perubahan datang dari BPK yang dipimpin Moermahadi Soerja Djanegara. Pemerintah, lewat Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, mengambil alih rencana ini, lalu mendaftarkannya ke Dewan Perwakilan Rakyat pada akhir 2019.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Tim yang dibuat oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum itu menerbitkan laporan akhir setebal 257 halaman yang memuat sejumlah perubahan pasal dalam Undang-Undang BPK. Di antaranya Pasal 13 tentang syarat menjadi anggota BPK. Perubahan pasal itu menyebutkan calon anggota BPK tidak menjadi anggota atau pengurus partai politik paling singkat setelah dua tahun.

Mulanya revisi Undang-Undang BPK disambut baik di Senayan. DPR berjanji memasukkan usul itu ke Program Legislasi Nasional Prioritas 2019. Tapi, sampai Juli 2019, proses administrasi draf revisi Undang-Undang BPK mandek. Pembahasan perubahan pasal, termasuk Pasal 13, buntu. Nasib draf tersebut pun terkatung-katung. “Belum masuk legislasi,” ucap Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kala itu.

Rupanya, pembahasan revisi Undang-Undang BPK berbarengan dengan pemilihan anggota BPK periode 2019-2024. Saat itu politikus berbondong-bondong mencalonkan diri. Dari 64 pendaftar calon anggota BPK, 12 calon adalah kader partai. Proses seleksi waktu itu masih menggunakan Undang-Undang BPK lama yang disahkan pada 2006.

Untuk menjaring masukan dalam seleksi anggota BPK, Komisi Keuangan DPR turun ke kampus-kampus. Salah satunya Universitas Airlangga di Surabaya. Pertemuan itu dihadiri pengajar hukum tata negara di Universitas Airlangga, Radian Salman. Ia mengusulkan calon anggota BPK tidak menjadi pengurus atau anggota partai politik lebih dari lima tahun. Tapi usul itu mental. “Sampai sekarang tak ada perubahan,” ujarnya.

Pasal krusial lain dalam perubahan Undang-Undang BPK adalah pembentukan panitia seleksi independen yang ditunjuk oleh presiden, seperti pemilihan anggota lembaga tinggi lain. Selama ini seleksi anggota BPK dilakukan di DPR dengan mempertimbangkan masukan dari Dewan Perwakilan Daerah.

Seorang mantan petinggi di BPK mengatakan ada tren jabatan di BPK menjadi incaran politikus. Mantan auditor BPK di Kalimantan Barat, Hernold Ferry Makawimbang, mengatakan politikus masuk ke BPK karena karier mereka di partai atau DPR terhenti. Hernold pernah mengikuti seleksi calon anggota BPK periode 2014-2019. Ia kandas pada seleksi akhir. “Mereka yang masuk itu anggota DPR yang sudah tak terpilih lagi,” tuturnya.

Majalah Tempo pada 28 September 2019 menurunkan artikel soal lika-liku DPR meloloskan anggotanya ke BPK dalam artikel berjudul “Kursi Pejompongan Milik Senayan”. Sejumlah partai ditengarai merotasi anggotanya di Komisi Keuangan untuk memuluskan jalan calon masing-masing.

Meski pemilihan anggota BPK melalui uji kelayakan dan kepatutan, beberapa fraksi sudah menyodorkan jagoan masing-masing. Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, misalnya, saat itu mengusung kadernya di Komisi Perdagangan DPR, Daniel Lumban Tobing. Sementara itu, Partai Gerindra mendorong mantan anggotanya di Senayan, Pius Lustrilanang. Partai Golkar mencalonkan Harry Azhar Azis.

Pada 17 Oktober 2019, Ketua Mahkamah Agung Muhammad Hatta Ali melantik lima anggota baru BPK. Mereka adalah Daniel Lumban Tobing, Harry Azhar Azis, Pius Lustrilanang, Hendra Susanto, dan Achsanul Qosasi yang dulu pernah jadi Wakil Ketua Fraksi Partai Demokrat di DPR. Pada Jumat, 3 November lalu, Kejaksaan Agung menahan dan menetapkan Achsanul sebagai tersangka penerima suap Rp 40 miliar proyek menara pemancar atau BTS 4G.

Dari kelima orang yang dilantik, hanya Hendra Susanto yang merintis kariernya di BPK. Ketua BPK saat ini adalah Isma Yatun, mantan anggota DPR dari PDI Perjuangan. Dari sembilan anggota BPK yang masih terdaftar hingga November lalu, enam merupakan bekas politikus di Senayan.

Seorang mantan petinggi BPK mengatakan masuknya politikus ke BPK membuat skema kerja pimpinan lembaga ini berubah. Misalnya rapat bidang yang dulu digelar secara teratur tiap bulan kini bisa ditunda hingga berbulan-bulan. Rapat bidang ini di antaranya membahas proses audit dalam cakupan kerja setiap anggota.

(Dari kiri) Haerul Saleh, Slamet Edy Purnomo, Hendra Susanto (Wakil Ketua BPK), Daniel Lumban Tobing, Isma Yatun (Ketua BPK), Ahmadi Noor Supit, Pius Lustrilanang, Achsanul Qosasi, dan Nyoman Adhi Suryadnyana.//www.facebook.com/humasbpkri.official

Sebagian politikus ini juga tak menguasai ilmu audit. Mereka yang terpilih sebagai anggota BPK bahkan ada yang tak pernah mengecap ilmu akuntansi. Mereka diduga baru mengikuti kursus akuntansi negara dan audit setelah terpilih menjadi anggota BPK. Akibatnya, anggota BPK terpilih lebih mengandalkan tenaga auditor utama.

Sejak 2006, satu pemimpin BPK sudah divonis bersalah karena dituduh menerima suap. Kini, selain Achsanul Qosasi yang sudah menjadi tersangka, kasus korupsi tengah menjerat Anggota VI BPK Pius Lustrilanang. KPK menggeledah ruang kerja Pius di BPK pada Rabu, 15 November lalu. Penyidik memeriksa Pius pada Jumat, 1 Desember lalu. “Tanyakan ke penyidik,” ucapnya selepas diperiksa.

Mantan Ketua BPK, Hadi Poernomo, juga pernah menjadi tersangka di KPK. Ia lepas dari jeratan hukum setelah Pengadilan Negeri Jakarta Selatan mengabulkan gugatan praperadilannya. Wakil Ketua BPK Bahrullah Akbar juga pernah terseret kasus pengurusan dana insentif daerah Tabanan, Bali, pada 2018. Dalam persidangan para terdakwa, Bahrullah membantah tudingan menerima uang suap dalam kasus ini.

Revisi Undang-Undang BPK sebenarnya sempat masuk Program Legislasi Nasional Prioritas 2021. Namun usul tersebut lagi-lagi terpental. Komisi Keuangan meminta Badan Legislasi DPR menarik drafnya. “Karena saat itu mereka sudah mengumumkan pendaftaran calon anggota BPK yang baru,” ucap Wakil Ketua Badan Legislasi Willy Aditya.

Ketua BPK Isma Yatun tak kunjung merespons permintaan wawancara hingga Sabtu, 2 Desember lalu. BPK hanya memberikan keterangan tertulis singkat pada Selasa, 14 November lalu, ketika KPK menyegel ruangan Pius. “BPK akan terus meningkatkan penegakan nilai dasar, yaitu integritas, independensi, dan profesionalisme,” demikian isi keterangan itu.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Avit Hidayat, Riky Ferdianto, Khairul Anam, dan Ghoida Rahmah berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Politik Audit Keuangan Negara".

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus