Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Iwan Mulyadi tak beranjak dari kursi rodanya ketika hujan mulai mengguyur pada sore itu. Dia hanya sedikit menggeser kursi agak ke dalam rumah, agar tak terkena tampias. Tanpa bantuan orang lain, tak banyak memang yang bisa dilakukan Iwan. Untuk turun sendiri dari kursi roda saja, lelaki 23 tahun itu tak mampu. "Dari pinggang ke bawah sudah hampir mati rasa," ujarnya, Rabu dua pekan lalu, di rumahnya yang menyempil di perkebunan sawit Nagari Kinali, Pasaman, Sumatera Barat.
Tujuh tahun sudah ia menjalani hidupnya semacam ini. Bagian bawah tubuhnya yang mengecil sama sekali tak bisa digerakkan. Kalaupun ada yang membantu pindah posisi, itu pun posisinya hanya berbaring di tempat tidur. Sehari-hari dia memang lebih banyak tergolek di kamarnya yang remang-remang.
Sejak kelumpuhan mendera, Iwan terpaksa mengubur semua cita-citanya, termasuk melanjutkan sekolah setelah lulus SMP. Untuk makan, minum, dan buang air, ia sangat bergantung pada pertolongan adiknya, Desi, 21 tahun. Ibu kandung yang selama ini merawat Iwan, Liader, meninggal tiga tahun lalu karena tertular rabies. Adapun Nazar, ayah Iwan, saban hari pontang-panting mencari nafkah dengan menjadi buruh pemetik kelapa sawit.
Karena Desi tak selalu berada di rumah, Nazar pernah membelikan Iwan seekor anak monyet untuk menemaninya. Monyet itu kadang bisa disuruh mengambil makanan untuk Iwan. Tapi beberapa pekan lalu monyet itu mati tertabrak sepeda motor.
Beban hidup Iwan bisa jadi akan berkurang bila kepolisian mau urunan membayar ganti rugi untuk Iwan, seperti putusan pengadilan. Keluarga Iwan, didampingi tim pengacara dari Perhimpunan Bantuan Hukum Indonesia (PBHI) Sumatera Barat, telah berusaha menagih. Tapi, hingga pekan lalu, polisi belum menunjukkan tanda-tanda akan mematuhi putusan pengadilan itu.
Lantaran tak melihat ada iktikad baik itulah, dalam waktu dekat PBHI akan melaporkan kasus ini ke Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat di Jakarta. PBHI akan meminta bantuan komisi itu mendesak Kepolisian RI mematuhi perintah pengadilan. "Supaya polisi menghormati hukum dan memenuhi kewajibannya," kata Ketua PBHI Sumatera Utara Firdaus.
Penderitaan Iwan bermula dari aksi ala koboi Brigadir Satu Novrizal, anggota Kepolisian Sektor Kinali. Iwan masih mengingat kejadian pada Ahad siang, 20 Januari 2006, itu. Waktu itu dia tengah memasak kolak di dangau ladang nilam di kaki Gunung Pasaman. Aken, temannya, menunggu di luar dangau. Tiba-tiba Iwan dikejutkan suara tembakan dan teriakan orang yang memanggil namanya. "Iwan, turun kau. Kalau tidak, saya tembak."
Saat melongok ke luar, Iwan melihat Novrizal mencengkeram lengan Aken. Berkaus oblong dan bercelana pendek, polisi itu mengacung-acungkan pistol yang baru dia tembakkan ke udara. Takut bukan kepalang, Iwan turun melalui tangga dengan membelakangi Novrizal. Belum sempat kaki Iwan menjejak tanah, pistol di tangan Novrizal kembali meletus. "Dor." Tubuh Iwan langsung jatuh tertelungkup.
Novrizal kalap karena rumah tetangganya menjadi sasaran lemparan batu ketika terjadi tawuran antar-remaja kampung sehari sebelumnya. Rupanya, Novrizal mendapat kabar Iwanlah yang sang pelemparnya. "Padahal bukan saya," kata Iwan.
Setelah tertembak, Iwan tak sadar selama 21 hari. Sempat dirawat di Rumah Sakit Lubuk Basung, Pasaman, ia kemudian dirujuk berobat ke Rumah Sakit Bhayangkari, lalu dirujuk lagi ke Rumah Sakit M. Djamil, Padang. Dari pemeriksaan diketahui peluru yang ditembakkan itu mengenai saraf tulang belakang. Inilah, menurut dokter, yang melumpuhkan separuh tubuh bagian bawah Iwan.
Didampingi PBHI, keluarga Iwan melapor ke Kepolisian Resor Pasaman Barat. Tapi polisi tak segera mengusut kasus ini. Mereka baru bergerak setelah keluarga Iwan mengadu ke DPRD Pasaman dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Setahun kemudian, kasus ini pun masuk pengadilan.
Di persidangan, Novrizal mengaku tak sengaja menembak Iwan dengan revolver. Alasan itu tak diterima hakim. Pengadilan Negeri Pasaman Barat pun memvonis Novrizal bersalah melakukan penganiayaan berat. Sang brigadir dihukum 18 bulan penjara.
Keluarga Iwan juga kemudian mengajukan gugatan perdata. Menurut salah satu pengacara PBHI, Sahnan Sahuri, gugatan diajukan karena, akibat cacat yang dialami, masa depan Iwan hilang. "Keluarga pun menanggung beban untuk membiayai hidupnya," kata Sahnan.
Untuk gugatan perdata, Novrizal menjadi tergugat kedua. Adapun tergugat pertama semua pimpinan polisi, dari Polsek Kinali sampai Kepolisian RI. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun termasuk pada barisan tergugat pertama. Tim pengacara menuntut ganti rugi material Rp 803 juta dan imaterial Rp 200 miliar.
Pada 18 Juni 2008, majelis hakim Pengadilan Negeri Pasaman Barat menyatakan para tergugat bersalah. Tapi tuntutan ganti rugi yang dikabulkan hanya Rp 300 juta. Pembayaran ganti rugi dibebankan secara tanggung renteng kepada pimpinan kepolisian dan pemerintah Indonesia.
Pada Maret 2010, Pengadilan Tinggi Sumatera Barat menguatkan putusan pengadilan negeri. Hal yang sama terjadi pada tingkat kasasi. Hakim kasasi Mahkamah Agung, pada 19 Mei 2011, menetapkan Iwan mesti mendapat ganti rugi.
Namun putusan itu tak pernah terwujud. Kendati putusan telah berkekuatan tetap, Iwan belum menikmati haknya. Tim pengacara PBHI sudah meminta pengadilan negeri menetapkan eksekusi sejak tahun lalu. Namun, ketika dipanggil ke pengadilan, pimpinan Polsek Kinali dan Polres Pasaman Barat menyatakan tak punya uang.
Ketika ditemui Tempo, Kepala Polres Pasaman Barat Ajun Komisaris Besar Syofyan Hidayat menolak berkomentar. Ia beralasan, itu kasus lama. "Harus saya pelajari dulu. Saya kan baru menjabat di sini," kata Syofyan di kantor Bupati Pasaman Barat, dua pekan lalu.
Bukan hanya di Pasaman Barat kepolisian kalah digugat keluarga korban. Pada 7 November lalu, Pengadilan Negeri Bukittinggi pun mengabulkan gugatan keluarga Erik Alamsyah, tahanan yang tewas di ruang tahanan Kepolisian Sektor Kota Bukittinggi pada 30 Maret 2012.
Erik, warga Nagari Cupak, Kabupaten Solok, ditangkap polisi dengan tuduhan pencurian sepeda motor. Empat jam setelah diinterogasi polisi, Erik meninggal dengan luka lebam dan goresan di sekujur tubuh.
Enam polisi diseret ke pengadilan. Mereka adalah A.M. Mutarizal, Riwanto Manurung, Fitria Yohanda, Boby Hertanto, Dodi Haryadi, dan Deky Masriko. Pengadilan Negeri Bukittinggi telah menghukum mereka 10 bulan sampai satu tahun penjara.
Pada 1 Maret 2013 keluarga Erik pun mengajukan gugatan perdata, didampingi pengacara dari Lembaga Bantuan Hukum Padang. Yang digugat Kepala Polsekta Bukittinggi, Kepala Polri, sampai Presiden RI. Keluarga korban menuntut ganti rugi material Rp 1,4 miliar dan imaterial Rp 1 miliar.
Majelis hakim Pengadilan Negeri Bukittinggi memenangkan gugatan keluarga Erik. Tapi hakim hanya mengabulkan tuntutan ganti rugi material Rp 700 ribu dan imaterial Rp 100 juta. Ganti rugi harus dibayar tanggung renteng oleh semua tergugat.
Direktur LBH Padang Vino Oktavia Mancun meminta polisi tak menunda-nunda pembayaran ganti rugi itu. Belajar dari pengalaman keluarga Iwan, pengacara LBH Padang akan menempuh jalur politik: meminta bantuan Komisi Hukum DPR. "Kami khawatir keluarga Erik akan senasib dengan keluarga Iwan," kata Vino.
Kepala Kepolisian RI Jenderal Sutarman menyatakan kepolisian tidak punya anggaran untuk membayar ganti rugi bagi keluarga yang menjadi korban ulah polisi nakal. Karena pengadilan telanjur mengabulkan gugatan perdata itu, menurut Sutarman, negara semestinya menyediakan aggaran khusus. "Jika dibebankan ke polsek, dari mana mereka punya uang sebanyak itu?" kata Sutarman.
Lebih dari persoalan uang, Kepala Polri juga berkeberatan terhadap putusan perdata pengadilan. Menurut dia, kasus penembakan dan penganiayaan merupakan kasus pidana. Sutarman tak setuju bila kasus pidana diikuti gugatan perdata. Apalagi, dalam kasus Iwan dan Erik, pelakunya juga sudah dihukum penjara. "Itu tidak tepat," ujar Sutarman.
Pak Kapolri bisa jadi lupa, hak korban tindak pidana mengajukan gugatan ganti rugi (restitusi) telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Prinsip dalam undang-undang tersebut selaras dengan prinsip universal perlindungan hak asasi manusia.
Jajang Jamaludin, Febriyanti (Pasaman Barat)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo