Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Puluhan pemuda berbadan kekar memenuhi tangga dan ruang tunggu Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Senin pagi pekan lalu. Mata mereka menatap tajam Peter Layardi, manajer tim nasional tenis meja SEA Games, yang tiba di pengadilan sebagai terdakwa.
Hari itu Peter tak datang sendirian ke pengadilan. Disamping didampingi pengacara, beberapa teman dekatnya datang menemani. Tapi ia tak menyangka sidang bakal dihadiri begitu banyak pengunjung tak diundang.
Melalui pengacaranya, Peter meminta jaminan majelis hakim bahwa sidang akan berjalan aman. Atas permintaan hakim, tim dari Kepolisian Resor Kota Jakarta Barat segera datang. Mereka "mengusir" kelompok pemuda yang membuat Peter tertekan. "Kehadiran mereka sudah meneror saya," kata Peter kepada Tempo setelah menghadiri sidang perihal puluhan pemuda berbadan kekar yang menghadiri sidangnya tersebut.
Peter, 42 tahun, menjadi terdakwa kasus pencemaran nama baik yang dilaporkan Irjanti Marina Warokka, bekas Wakil Sekretaris Jenderal Persatuan Tenis Meja Seluruh Indonesia (PTMSI). Jaksa mendakwa Peter menghina Marina pada acara Musyawarah Nasional PTMSI di pendapa Balai Kota Solo, Jawa Tengah, pada September tahun lalu.
Menurut jaksa, Peter dan kawan-kawan mencoba menerobos ke acara pembukaan Munas PTMSI pada 24-26 September 2012. Mereka datang mengenakan kaus bertulisan "Komite Penyelamat Tenis Meja Indonesia". "Padahal yang diundang pengurus PTMSI," ucap jaksa Harold Mariesson saat membacakan dakwaan, awal Mei lalu.
Karena tak diperbolehkan masuk, menurut jaksa, Peter dan kawan-kawan membuat keributan. Mereka meneriaki Marina, Sekretaris Panitia Pelaksana Munas, dengan kata-kata kasar. Jaksa juga menuding Peter mengacaukan acara pemilihan Ketua Umum PTMSI pada hari kedua munas. Menurut jaksa, di dalam ruangan, Peter pun sempat beradu mulut dengan Marina.
Peter membenarkan datang ke arena munas atas nama Komite Penyelamat Tenis Meja Indonesia. Dia hadir sebagai peninjau atas undangan Komite Nasional Olahraga Indonesia (KONI) pusat. Tapi dia membantah berbuat onar seperti dituduhkan jaksa. "Waktu ribut-ribut itu, saya belum sampai pendopo. Saya masih di hotel," ujar Peter.
Pertikaian di kepengurusan PTMSI membara sejak 2011, ketika Ketua Umum PTMSI Dato Sri Tahir kembali diusung pendukungnya untuk menjadi ketua umum periode ketiga. Padahal, menurut Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga PTMSI yang disahkan pada 2008, jabatan ketua umum maksimal dua periode.
Untuk memuluskan rencana mereka, pendukung Tahir menggelar forum silaturahmi PTMSI di Yogyakarta, awal Desember 2011. Di forum yang dihadiri hampir semua pengurus daerah itu, Tahir pun mengutarakan niatnya maju lagi sebagai ketua umum.
Sepekan setelah pertemuan Yogya, pengurus PTMSI menggelar musyawarah nasional luar biasa di Hotel Merlyn Park, Jakarta. Agenda utamanya antara lain mengubah pasal AD/ART yang membatasi jabatan ketua umum selama dua periode menjadi tidak terbatas. Setelah itu, musyawarah luar biasa baru memilih lagi Tahir untuk periode ketiga.
Langkah pendukung Tahir tak berjalan mulus. Perlawanan muncul dari sejumlah daerah. Sedikitnya ada delapan pengurus provinsi yang menentang hasil musyawarah luar biasa itu. Mereka antara lain pengurus PTMSI Jakarta, Lampung, Jawa Timur, dan Maluku Utara. Mereka pun sepakat membentuk pengurus tandingan: Komite Penyelamat Tenis Meja Indonesia. Ketua PTMSI Jakarta Arifin Tahir dipilih sebagai Ketua Komite. Adapun Peter Layardi dipilih sebagai Sekretaris Komite.
Pada April 2012, kubu penentang Tahir menggugat ke Badan Arbitrase Olahraga Indonesia. Mereka meminta Badan Arbitrase membatalkan hasil musyawarah Merlyn Park. Pada 15 Juni 2012, Majelis Arbitrase yang dipimpin Benny Riyanto mengabulkan gugatan mereka.
Dalam putusannya, Badan Arbitrase memerintahkan PTMSI kembali menggelar musyawarah nasional dalam waktu 90 hari setelah putusan itu. Namun pengurus lama PTMSI baru menggelar musyawarah nasional pada 24-25 September 2012. Menurut Peter dan kawan-kawan, musyawarah itu sepekan melampaui tenggat yang digariskan Badan Arbitrase.
Pelaksanaan Munas Solo mulai panas bahkan sebelum pembukaan. Keributan pertama terjadi ketika peserta munas melakukan registrasi. Sejumlah pengurus daerah tak diperkenankan masuk karena namanya tak tercantum dalam daftar undangan.
Larangan panitia itu kontan menyulut kemarahan. Termasuk yang naik pitam adalah Herlin Sunandar, Ketua Umum PTMSI Lampung, dan Hasmy Rosley, pengurus PTMSI Jawa Timur. Herlin, misalnya, berteriak-teriak meminta munas dibubarkan dan menyebut munas itu ilegal. Adapun Hasmy, disamping meminta munas dibubarkan, meneriaki Marina dengan kata-kata kasar.
Sewaktu keributan itu terjadi, Peter masih berada di Hotel Agas, tempat dia menginap bersama kawan-kawan lamanya. Peter baru tiba di pendapa setelah keributan mereda.
Dalam rekaman video berdurasi 17 menit yang diperoleh Tempo, Peter memang tak terlihat di sana. Yang berkali-kali terekam adalah wajah Hasmy dan Herlin, yang marah-marah. Adapun Marina terlihat datang ke lokasi keributan, lalu pergi setelah diteriaki Hasmy dan kawan-kawan.
Pada hari kedua, Peter sempat memasuki ruangan munas dengan memakai tanda pengenal milik Endi Kermite, pengurus PTMSI Sulawesi Utara. Saat itu, kata Peter, situasi di dalam ruangan juga sudah memanas. Sejumlah pengurus daerah memprotes pencalonan kembali Dato Sri Tahir sebagai Ketua Umum PTMSI. Terpancing suasana, Peter pun sempat berteriak meminta munas dibubarkan. "Setelah itu, saya dan beberapa pengurus daerah keluar dari ruangan," ujar Peter, yang mengaku tidak melihat Marina di ruangan itu.
Nah, sehari setelah penutupan munas, pada 27 September 2012, Marina mengadukan Peter ke Badan Reserse Kriminal Kepolisian RI. Marina menuduh Peter melakukan pencemaran nama baik. Atas dasar laporan Marina, sejak awal Oktober 2012, Peter Layardi pun menjadi tersangka.
Untuk memperkuat laporannya, Marina mengajukan empat saksi. Salah satunya Sekretaris PTMSI Kalimantan Barat Irawan Eddy Riantriko. Belakangan, Irawan alias Ucok malah berbalik membela Peter.
Kepada Tempo, Ucok bercerita dia beberapa kali diminta bersaksi di Bareskrim dengan cerita yang sudah disiapkan Marina. Permintaan itu tersimpan dalam pesan BlackBerry Messenger yang dikirim Marina kepada Ucok. "Pokoknya semua yang bicara itu Peter. Yang depan diikuti Hasmy, Mansur, Ebi, dan Robert. Saya masih di luar," begitu bunyi pesan itu.
Sejauh ini Tempo belum bisa meminta tanggapan Marina. Pekan lalu, ketika Tempo menghubungi teleponnya, Marina mengelak dengan alasan sedang rapat. Dia meminta Tempo menelepon beberapa jam kemudian. Tapi, ketika dihubungi kembali, dia tidak mengangkat teleponnya. Pertanyaan yang dikirim Tempo melalui layanan pesan pendek pun tak ia balas.
Sebaliknya, buat menangkis tuduhan Marina, Peter mengajukan Hasmy dan Herlin untuk menjadi saksi kepada polisi. Tapi polisi tak kunjung memanggil mereka. Hasmy, 54 tahun, bahkan pernah mendatangi Bareskrim dan meminta diperiksa. "Saya bilang bahwa saya yang menghina Marina," ucap Hasmy.
Pada 23 Juni lalu, Peter mendapat panggilan dari Pengadilan Negeri Jakarta Barat. Ia diminta menghadiri sidang keesokan harinya. Namun, ketika pengacara mengecek jadwal, ternyata tak ada sidang atas nama Peter Layardi. Karena itu, Peter pun memilih mangkir.
Pada 15 Juli lalu, Peter datang ke pengadilan untuk memenuhi panggilan kedua. Sebelum sidang, jaksa Harold langsung menyodorkan surat perintah penahanan. Tapi jaksa tak menahan Peter saat itu juga. Baru pada malam harinya, dua mobil kejaksaan mendatangi rumah Peter di Tanjung Duren, Jakarta Barat. Atas permohonan pengurus KONI pusat, penahanan Peter akhirnya ditangguhkan.
Meski tak jadi ditahan, Peter sempat terancam tak bisa menemani tim nasional tenis meja ke SEA Games di Myanmar. Soalnya Kejaksaan Agung meminta Direktorat Imigrasi mencegah Peter bepergian ke luar negeri. Paspor Peter dirampas pada 15 November lalu ketika dia pulang dari Malaysia setelah berobat. Status "cekal" baru dicabut pada Selasa pekan lalu, setelah Peter meminta bantuan Menteri Pemuda dan Olahraga Roy Suryo.
Menurut Peter, kasus ini telah menguras energinya karena dia semestinya berfokus menyiapkan tim nasional. Padahal, di SEA Games ini, ia dibebani target menyabet gelar juara kedua cabang tenis meja. "Mudah-mudahan konsentrasi anak-anak tak ikut terganggu," ujarnya.
Febriyan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo