Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Deretan rumah toko di kompleks Rich Palace, Jalan Lapangan Bola, Srengseng Kembangan, Jakarta Barat, terlihat kosong, tak berpenghuni. Beberapa di antaranya terlihat "dihiasi" spanduk cukup besar, menginformasikan ruko tersebut dijual atau disewa. Tertulis pula nomor telepon yang dapat dihubungi.
Kompleks ruko berlantai empat itu baru selesai dibangun tahun ini. Pengembangnya, PT Tjakra Multi Strategi, gagal menyelesaikan pembangunan dari waktu yang direncanakan, yakni 2010. Penyebabnya: maraknya aksi premanisme. "Beberapa pengusaha yang memiliki usaha sekitar kompleks diperas hingga Rp 1,5 miliar," kata Kepala Satuan Reskrim Kepolisian Resor Jakarta Barat Ajun Komisaris Besar Hengky Haryadi, dua pekan lalu. Polisi menyelidiki kasus pemerasan ini sejak akhir Desember 2012.
Rumah Hercules Rozario Marshal, 45 tahun, hanya berjarak sekitar 300 meter dari pintu masuk ruko. Mantan preman Tanah Abang ini tinggal di sebuah rumah mewah di perumahan Kebon Jeruk Indah. Anak buah Hercules menguasai sejumlah tempat di Jakarta Barat, termasuk kompleks ruko Rich Palace.
Pada 8 Maret 2013, polisi mengadakan apel "pemberantasan preman". Hercules melakukan perlawanan. Dia meminta apel dihentikan. Tindakannya menantang polisi itu membuat ia ditangkap. Pada 2 Juli 2013, Pengadilan Negeri Jakarta Barat menghukumnya empat bulan penjara, lebih ringan daripada tuntutan enam bulan penjara yang diajukan jaksa. Ia dinyatakan hanya terbukti melanggar Pasal 214 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana tentang Perbuatan Melawan Aparat. Dua pasal lain, yakni pemerasan dan kepemilikan senjata api, dinyatakan tidak terbukti.
Polisi yang kecewa terhadap vonis itu lalu menyiapkan "peluru" baru. Bukti-bukti lebih kuat disiapkan untuk mendukung pemerasan yang dilakukan Hercules. Pada 3 Agustus lalu, begitu akan menghirup udara bebas, ia ditangkap lagi. Ketua Gerakan Rakyat Indonesia Baru, ormas yang mendukung Prabowo Subianto sebagai calon presiden, ini dituduh melakukan pemerasan sepanjang 2006-2013.
Tak hanya tuduhan pemerasan yang dijeratkan. Polisi juga membidiknya dengan Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang. Hercules dituduh menyembunyikan dan memutar hasil pemerasan lewat tiga rekening milik istrinya, Nia Dania.
Sidang Hercules akan digelar pada akhir Desember ini. "Ini pertama kalinya UU Pencucian Uang ditujukan untuk preman jalanan," kata Kepala Kepolisian Resor Jakarta Barat Komisaris Besar Fadil Imran. Dengan undang-undang ini, minimal Hercules dihukum lima tahun penjara.
Pertemuan di Starbucks Coffee Puri Indah Mall, Jakarta, pada 30 Juni 2011 itu berlangsung singkat. Siang itu Hercules bertemu dengan pengusaha Sukanto Tjakra dan Jimmy Budiman, perwakilan pengusaha Surya Putra Sugandhi. Dalam pertemuan itu, dua pengusaha tersebut menyerahkan cek senilai Rp 500 juta untuk Hercules. Uang itu hasil patungan, masing-masing Rp 250 juta.
Sukanto Tjakra dan Surya Putra Sugandhi adalah pengusaha yang memiliki lahan di kompleks yang sama di Srengseng Kembangan, Jakarta Barat. Sukanto, lewat perusahaannya, PT Tjakra Multi Strategi, merupakan pengembang ruko Rich Palace dengan luas lahan sekitar 2,6 hektare. Adapun Surya Putra Sugandhi pengusaha yang akan berencana membangun Sekolah Bina Bangsa di kompleks lahan yang berdekatan dengan ruko Rich Palace. Surya memiliki lahan sekitar 2,3 hektare yang dibeli dari Sukanto. Hingga kini Sekolah Bina Bangsa belum juga dibangun.
Awalnya Sukanto memiliki lahan 6,9 hektare yang dibelinya pada 2006. Dia menjualnya kepada Surya sekitar 2009. Selain kepada Surya, Sukanto menjual lahannya seluas dua hektare kepada PT Mitra Abadi Sukses Sejahtera, yang membangun Apartemen Belmont Residence.
Lokasi usaha yang jaraknya sekitar 300 meter dari rumah Hercules di Kebon Jeruk Indah membuat mereka kerap berhubungan dengan Maung—demikian julukan Hercules—dan anak buahnya. Sebelum penyerahan cek senilai Rp 500 juta, Sukanto dan Direktur Utama PT Mitra Abadi Sukses Sejahtera Amin Maulana menyerahkan uang Rp 400 juta untuk Hercules pada 5 Maret 2010. Uang itu patungan Amin dengan Sukanto. Hercules meminta uang itu sebagai "uang keamanan".
Tapi itu bukan permintaan terakhir. Belakangan, pada Desember 2012, anak buah Hercules minta lagi Rp 250 juta. Sukanto tak berani melawan terang-terangan permintaan ini. Ia meminta mencicil, pertama Rp 50 juta. Lalu, diam-diam, dia melaporkan soal ini ke polisi. Karena merupakan saksi penting untuk menjebloskan Hercules ke bui, Sukanto kini dalam proses perlindungan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban.
Dari penyelidikan, uang itu semuanya masuk ke rekening istri Hercules, Nia Dania. Hercules tak memiliki rekening di bank atau kartu kredit. Uang yang masuk ke rekening istrinya itu ia ambil untuk, antara lain, membeli aset dan membiayai kegiatannya. "Ini bagian dari unsur menghilangkan jejak atau menyembunyikan kekayaan hasil pemerasan," kata Ajun Hengky.
Di Jakarta, khususnya Jakarta Barat, kelompok Hercules semakin berkibar setelah John Kei—kelompok preman asal Kepulauan Kei—masuk penjara dua tahun silam. Hercules dan anak buahnya menguasai sejumlah kompleks ruko di Jakarta Barat, melakukan pemerasan, dan kerap berbuat onar. Kelompok ini tak segan-segan melukai korbannya jika melawan atau menolak memberi "uang keamanan" yang mereka minta dan mereka tentukan besarnya.
Salah satu anak buah Hercules yang kerap meminta uang keamanan adalah Eddy Turangga. Sukanto, misalnya, setiap bulan mesti menyetor ke Eddy Rp 8,5 juta untuk biaya keamanan. "Padahal kenyataannya mereka tak bekerja, hanya menagih-nagih," ujar Sukanto. Pada 9 Juli lalu, Eddy dibekuk polisi.
Menurut polisi, Eddy menyerahkan tagihannya ke Hercules. Sebelumnya, pada 9 Maret polisi menangkap Ferdinan Kilikily. Dari Ferdinan, polisi menyita sebuah revolver dan 220 peluru soft gun. Menurut polisi, senjata itu kerap dipakai untuk menakut-nakuti korban yang akan diperas.
Terakhir, akhir Oktober lalu, polisi menangkap anak buah Hercules lain, Fransisco Soares Recado alias Bobby, 42 tahun. Dari pria 42 tahun ini, polisi menyita enam senjata api dan 26 peluru. Menurut seorang penyelidik, Bobby "wakil" Hercules untuk daerah Kapuk, Cengkareng.
Kendati polisi bertekad menyikat Hercules lewat tuduhan melakukan pemerasan dan kejahatan pencucian uang, bukan berarti Hercules gentar. Menurut seorang sumber yang tahu perihal Hercules, kelompok kuasa hukum Hercules telah menyiapkan berbagai cara agar sang Maung bebas dari jerat hukum. Salah satu yang mereka lakukan adalah mendekati serta mengintimidasi para korban dan saksi agar mereka tak menyebut diperas Hercules. Sumber ini menyebutkan Hercules sudah mengerahkan puluhan pengacara—lebih dari 20—untuk membela dirinya.
Salah satu yang disebut mereka "tekan" adalah Amin Maulana. Amin membuat surat pernyataan yang menyatakan bahwa peristiwa 5 Maret 2010 itu—saat ia memberi uang untuk Hercules—bukan pemerasan. Ia juga menandaskan bahwa saat membuat surat itu ia dalam keadaan sehat, tanpa tekanan. Surat itu tertanda 15 Maret 2013.
Kepada Tempo, Amin mengatakan bahwa dia tak diancam oleh Hercules saat membuat pernyataan itu. "Itu memang untuk biaya keamanan di sekitar kompleks usaha," katanya. Saat ditanya berapa lama jangka waktu keamanan yang diberikan kelompok Hercules, Amin menjawab, "Yah, selama usaha itu beroperasi…." Seorang penyelidik menyatakan Amin membuat surat pernyataan itu lebih karena ketakutan.
Kuasa hukum Hercules, Boyamin Saiman, membantah adanya permainan untuk mengintimidasi para korban dan saksi. "Jika itu saya lakukan, sama saja dengan bunuh diri," ujarnya. Ia menyatakan tak tahu bahwa Hercules akan didampingi puluhan pengacara. "Yang saya tahu belasan," katanya.
Menurut Boyamin, tuduhan pencucian uang yang diajukan polisi lemah. "Sebagai suami yang baik, Hercules menyerahkan semua uang ke rekening istrinya," ujarnya. Dia menegaskan kliennya tak memeras pengusaha. "Justru banyak ruko yang mengajukan agar masuk prioritas keamanan dari Hercules," katanya.
Ajun Hengky Haryadi tak percaya akan hal ini. Menurut dia, pihaknya mengantongi banyak bukti yang menunjukkan Hercules melakukan pemerasan yang hasilnya ia belikan sejumlah aset. Hengky yakin kali ini Hercules bakal mendekam di penjara lebih lama. "Sejumlah saksi dan dokumen akan kami hadirkan di sidang," katanya.
Yuliawati, Muhammad Muhyiddin, Praga Utama, Mustafa Silalahi
Hercules di Ibu Kota
Semenjak era Orde Baru, nama Hercules sudah menghiasi dunia premanisme di Ibu Kota. Menguasai kawasan perdagangan Tanah Abang di Jakarta Pusat, kekuasaan kelompok ini lalu bergeser ke Jakarta Barat.
1996
Perang antara kelompok Betawi dan Timor pimpinan Hercules. Kelompok Timor hengkang dari Tanah Abang setelah menguasai "pengamanan" daerah ini sejak awal 1990-an.
Mei 2003
Bentrokan kubu Hercules dan Basri Sangaji di Kemang, Jakarta Selatan. Pertikaian menyebabkan anak buah Hercules, Samsi Tuasah, tewas akibat luka tembak di paha dan dada. Pemicu bentrokan adalah soal utang-piutang.
Februari 2005
Bentrokan antara petugas Ketenteraman dan Ketertiban DKI Jakarta dan kelompok Hercules yang menjaga lahan kosong di Jalan H R. Rasuna Said Blok 10-I Kaveling 5-7, Jakarta Selatan. Adik Hercules, Albert Nego Kaseh alias John Albert, mati tertembak.
Desember 2005
Hercules bersama 17 anak buahnya menyerang kantor Indopos di Jakarta Barat karena keberatan atas artikel berjudul "Reformasi Preman Tanah Abang, Hercules Kini Jadi Santun". Dia divonis hukuman penjara 2 bulan karena penyerangan ini.
Agustus 2012
Kelompok Hercules terlibat bentrokan dengan kelompok John Kei di Kembangan, Jakarta Barat. Bentrokan terjadi lantaran konflik pengamanan lahan seluas 2,1 hektare yang disengketakan oleh PT Subur Ganda dan Agung Sedayu Group.
Januari 2013
Forum Betawi Rempug menyerbu tempat berjaga kelompok Hercules di Halte Pintu II 1.000 Ruko, Jalan Kamal Raya, Cengkareng, Jakarta Barat. Mereka mencari anak buah Hercules yang menganiaya anggota FBR.
Setelah Kalah di Tenabang
DI seluruh kompleks perumahan Kebon Jeruk Indah, Jakarta Barat, rumah itu paling mencolok, paling mewah, juga paling tinggi. Letaknya di jalan kedua dari bagian depan kompleks. "Cari saja rumah paling besar dan tinggi, itu rumahnya," ujar seorang warga saat ditanya letak rumah Hercules.
Hercules Rozario Marshal memiliki rumah di sini. Luas tanahnya memang sama dengan rumah-rumah lain, sekitar 200 meter persegi. Tapi, dari segi ukuran dan kemewahan, tak terbantahkan bahwa rumah bernomor E12 ini yang paling "wah".
Rumah yang direnovasi sekitar satu tahun belakangan itu kini dalam tahap penyelesaian. Bangunannya bercat putih dan berlantai keramik cokelat muda. Dua pilar di bagian depan rumah bergaya Romawi itu memberi aksen kukuh. Saat Tempo mendatangi tempat ini, Rabu pekan lalu, hanya terlihat sejumlah pekerja di sana.
Menurut sejumlah warga, Hercules sudah menetap di Kebon Jeruk Indah pada 2000-an. Beberapa anak buahnya pun ada yang tinggal di kompleks yang sama, hanya berbeda blok. Semenjak Hercules ditahan polisi pada Maret 2013, anak buahnya yang biasanya kerap nongkrong di beberapa tempat di kompleks perumahan itu terlihat berkurang. "Tinggal sedikit," ujar seorang warga perumahan Kebon Jeruk Indah yang lain.
Hercules tak hanya punya "istana" di Jakarta. Ia juga punya rumah, yang juga megah, di Desa Langut, Kecamatan Lohbener, Indramayu, kampung istrinya, Nia Dania. Di sini, di atas lahan 3.000 meter persegi, ia membangun rumah seluas 500 meter persegi. Rumah itu bergaya Spanyol dan dicat putih kekuningan. Di rumah ini pula Irene Tupessy, wanita yang pernah tersangkut kasus bentrokan antargeng di RSPAD Gatot Soebroto pada 23 Februari 2012, pernah bersembunyi. Irene, yang dijuluki Kill Bill, sudah divonis dua setengah tahun penjara.
Di Indramayu, Hercules juga memiliki sekitar 30 hektare sawah, tambak, dan usaha perikanan yang tersebar di sejumlah tempat. Hasil panen padi dan ikannya itu kemudian dijual karyawannya ke berbagai tempat.
Kuasa hukum Hercules, Boyamin Saiman, tak membantah perihal aset Hercules tersebut. "Semua aset ini dimiliki Hercules setelah dia lepas dari Tanah Abang," kata Boyamin. Menurut Boyamin, Hercules menetap di Indramayu selama empat tahun setelah kelompoknya kalah dalam memperebutkan kekuasaan di Pasar "Tenabang" pada 1996. Pada 2000-an, dia kembali ke Jakarta. Menurut sumber Tempo, sejak itu ia kerap bolak-balik Jakarta-Indramayu.
Pada 2000-an itulah Hercules mendirikan perusahaan jasa keamanan PT Titu Harmoni. Di sini jabatannya komisaris utama. Perusahaan ini memiliki 200 karyawan, yang sebagian besar anak buahnya dulu di Tanah Abang. Bisnis perusahaan ini terutama menjaga keamanan ruko. Hercules juga kemudian "mengakuisisi" Lembaga Pendidikan Kejuruan Saint Mary. Di luar itu, di Jakarta, ia juga terjun di bisnis jual-beli ikan segar yang memasok beberapa pasar.
Hercules juga punya "pekerjaan" lain yang mendatangkan uang bejibun: menjadi makelar tanah. Menurut sumber Tempo, sejumlah properti besar Ibu Kota juga bekerja sama dengan Hercules dalam "memburu" tanah di Ibu Kota. Boyamin tak menampik soal ini. "Dia makelar tanah yang ulung," ujarnya. Dari usaha ini, kata Boyamin, dalam sebulan Hercules bisa bersih mengantongi hingga Rp 3 miliar.
Hercules masuk Jakarta setelah Timor Timur menjadi bagian dari Indonesia pada 1987. Nama aslinya hanya Rozario Marshal. Adapun "Hercules" nama julukannya. Kolonel Purnawirawan Gatot Purwanto, anggota pasukan khusus yang pertama kali terjun ke Timor Timur pada 1975, dalam wawancara dengan Tempo pada November 2010, mengatakan ia yang pertama kali membawa Hercules ke Ibu Kota. Hercules merupakan nama sandi di radio komunikasi. "Dia itu anak buah saya," kata Gatot.
Menurut Gatot, tangan Hercules putus dalam kecelakaan helikopter saat pengiriman logistik. Dia kemudian dibawa ke Rumah Sakit Gatot Soebroto, Jakarta, untuk menjalani operasi penyambungan tangan palsu. Untuk menyembunyikan luka di tangan kanan, Hercules kerap menggunakan sarung tangan.
Begitu sembuh, Hercules masuk daerah Bongkaran di Tanah Abang. Di sana dia membangun kelompoknya dan mengelola tempat perjudian serta pelacuran. Pada 1996, kelompoknya dikalahkan oleh kelompok Betawi pimpinan Bang Ucu Kambing. Kalah "perang" di Tanah Abang, ia menyingkir ke Indramayu.
Jika Hercules kelak terbukti melakukan pencucian uang—kejahatan yang hukumannya bisa sampai 15 tahun—bisa jadi habislah riwayatnya.
Yuliawati, Muhamad Muhyidin
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo