Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

hukum

Tak Mengobral Manusia Setengah Dewa

Komisi Hukum mengembalikan nama-nama calon hakim agung kepada Komisi Yudisial. Masih sulit mencari calon hakim agung yang berkualitas.

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEGEPOK berkas itu kembali ke meja Taufiqurrohman Syahuri, pertengahan Juni lalu. Itulah berkas dokumen 12 calon hakim agung yang disaring sejak enam bulan lalu oleh Komisi Yudisial. "DPR tak mau memproses nama-nama itu untuk dipilih menjadi hakim agung," kata Taufiqurrohman, kepala bidang rekrutmen hakim Komisi Yudisial, kepada Tempo pekan lalu.

Taufiq mengaku tak kesal, tapi tak juga gembira. Dia mengatakan proses penyaringan hakim memang sudah menjadi salah satu tugas utama Komisi Yudisial. Hanya, ia menyayangkan, 12 nama tersebut kini harus bersabar menunggu untuk proses terakhir itu, yakni seleksi di parlemen. Nama-nama itu baru akan diproses kembali di Dewan Perwakilan Rakyat bersamaan dengan proses penyaringan calon hakim agung gelombang kedua. "Bila proses berjalan normal, seharusnya mereka yang tak lolos di gelombang pertama bisa ikut di gelombang kedua," katanya.

Pada Desember tahun lalu, Mahkamah memang mengirim surat ke Komisi Yudisial agar mengisi kursi hakim agung yang kosong. Ada lima hakim agung yang pensiun per 1 Agustus 2012: dua hakim agung bidang perdata, dua bidang pidana, dan satu bidang militer. Kewenangan menyaring ini tercantum dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial. Komisi kemudian menindaklanjuti surat ini dengan membuka pendaftaran.

Sebanyak 108 calon berbondong-bondong mendaftar. Mereka berlatar belakang hakim karier, akademikus, pengacara, dan jaksa. Satu per satu tahap seleksi mereka ikuti, dari seleksi administrasi, membuat makalah, studi kasus pelanggaran kode etik, hingga membuat contoh putusan kasasi. Semua tugas ini wajib ditulis tangan. Setelah diperas berbulan-bulan, jumlah peserta menciut menjadi 12 orang. "Komisi menganggap merekalah yang pantas menjadi calon hakim agung," kata Taufiq.

Kedua belas nama itu beserta seluruh hasil dokumen penyaringan dan rekam jejaknya dioper ke Komisi Hukum DPR. Sesuai dengan undang-undang, Komisi Hukum yang memilih siapa yang akan menjadi hakim agung. Prosesnya dilakukan lewat fit and proper test. Setiap calon harus meladeni berbagai pertanyaan anggota Komisi Hukum dengan kemampuan terbaik mereka. Setelah itu, diadakanlah pemilihan lewat pemungutan suara.

Dalam pemilihan kali ini, Komisi Hukum menolak memproses ke-12 nama itu. Mereka beralasan, menurut Undang-Undang Komisi Yudisial, nama calon yang disetor ke DPR seharusnya 15 orang, karena hakim agung yang akan pensiun ada lima orang. Artinya, satu posisi hakim agung akan diperebutkan tiga kandidat. "Komisi Yudisial gagal mengajukan kuota yang seharusnya dipenuhi," kata Ketua Komisi Hukum DPR, Gede Pasek Suardika.

Jumlah yang "tanggung" ini, menurut dia, akan mengganggu efektivitas kerja Komisi Hukum. Mereka, kata Gede Pasek, menggelar pemilihan lima hakim. Namun, karena jumlah kandidat hanya 12, mereka akan memilih tiga hakim agung. "Lalu nanti DPR memilih dua orang lagi, jadinya repot," ujarnya.

Menurut Gede, Komisi Yudisial terlalu banyak mengeluh mengenai persoalan anggaran yang minim. Seharusnya, kata dia, Komisi transparan dalam penggunaan dana seleksi hakim agung. Ia malah meminta Komisi membuka kebutuhan dana proses seleksi ke publik. Jadi, ujar dia, tak masuk akal bila proses penyeleksian calon hakim agung terhambat masalah biaya. "Komisi Yudisial tak bekerja maksimal. Sosialisasinya kurang luas sehingga hanya sedikit yang mendaftar," kata politikus dari Partai Demokrat ini.

Taufiq tak menggeleng ataupun mengangguk atas tudingan ini. Dia menegaskan, tak mudah mencari calon hakim agung yang berkualitas. Lembaganya sadar, jumlah kandidat yang dikirim ke DPR tak sesuai dengan jumlah yang seharusnya dipenuhi. Seleksi superketat dilakukan. "Dari para pendaftar, hanya 12 orang itu yang kami anggap berkualitas," kata pakar hukum dari Universitas Bengkulu ini.

Memilih calon hakim agung, kata Taufiq, tak mudah dan tak bisa sembarangan. Karena yang akan dipilih, ujar dia, "manusia setengah dewa". Manusia yang bisa menentukan nasib manusia lain tapi tak bisa dipersalahkan atas keputusannya lantaran keputusannya selalu dipandang benar. "Kalau salah memilih, bisa berbahaya," katanya.

Calon yang mendaftar untuk gelombang pertama tahun ini, ujar dia, kebanyakan tak lulus seleksi administrasi. Salah satu syarat menjadi hakim agung harus pernah menjadi hakim tinggi minimal tiga tahun. Ada kandidat yang ikut mendaftar tapi saat pendaftaran kandidat dari hakim karier itu masih kurang beberapa hari lagi untuk genap tiga tahun. Dia tidak akan lolos. Banyak pula yang keteteran dengan alasan tak cukup waktu saat diminta melengkapi syarat pemberkasan.

Hal penting lainnya, kualitas kandidat yang masih di bawah rata-rata. Menurut Ketua Komisi Yudisial Erman Suparman, para kandidat hakim agung yang getol mendaftar akhir-akhir ini hampir didominasi hakim nonkarier. Padahal pihaknya berharap mereka yang mendaftar didominasi hakim karier. "Hakim agung nonkarier biasanya nanti kesulitan karena tak belajar memahami putusan hakim," katanya.

Taufiq menambahkan, saat proses seleksi, memang ada kandidat yang sangat bagus pemahamannya tentang undang-undang. Namun nilainya jeblok saat dilakukan tes kesehatan. Atau contoh lainnya, si kandidat memiliki kemampuan yang brilian tapi ternyata memiliki rekam jejak yang tidak bersih. "Banyak kandidat yang tubuhnya bugar tapi otaknya bodoh."

Nah, kekurangan kuota ini akan disiasati­ dengan menambah jumlah calon hakim agung yang akan diajukan pada gelombang kedua. Mahkamah Agung, untuk kedua kalinya, mengirimkan surat permohonan untuk menyeleksi calon hakim agung karena ada empat hakim agung yang pensiun per 1 Desember. Sesuai dengan kuota, Komisi Yudisial nantinya wajib mengirimkan 12 kandidat ke DPR. Untuk memenuhi kekurangan kuota pada gelombang pertama, jumlah itu akan ditambah tiga kandidat agar calon hakim yang diseleksi di Komisi Hukum jumlahnya sudah sesuai, yaitu 27 kandidat untuk mengisi 9 kursi hakim agung.

Dalam gelombang kedua yang dibuka pada Juni kemarin, jumlah pendaftar 159 orang. Saat ini panitia seleksi sudah menyaring 81 nama yang dianggap lulus seleksi administrasi. Tahap penyeleksian saat ini sedang berjalan. Taufiq mengatakan, meski seleksi gelombang pertama mengalami ganjalan, panitia tidak akan mengurangi standar penilaian terhadap para kandidat. Apalagi mengobral kebaikan agar kuota terpenuhi. "Undang-undang sudah sangat ketat mengatur seleksi ini," katanya. Tidak tertutup kemungkinan kuota kembali tak terpenuhi.

Menurut Taufiq, DPR seharusnya tak perlu buru-buru menolak kandidat yang disodorkan meski kuota tak terpenuhi. Dalam penyaringan calon hakim agung tahun lalu, Komisi juga pernah tak memenuhi kuota itu, tapi tidak ada masalah. DPR tetap memproses nama-nama itu. "Kami tak paham mengapa hal itu tak bisa dilakukan lagi," katanya.

Ketua Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Hasril Hertanto mencurigai berkas para kandidat yang dikembalikan Komisi Hukum ke Komisi Yudisial lebih bernuansa politis ketimbang keinginan untuk mematuhi undang-undang. Partai politik sekarang makin getol menyusupkan orang-orang mereka di lembaga peradilan paling tinggi itu. "Ini penting agar bisa membantu kader partai yang terlilit masalah hukum, khususnya korupsi," katanya.

Anggota Komisi Hukum dari Partai Gerindra, Martin Hutabarat, tak membantah proses pemilihan hakim agung lebih bernuansa politik ketimbang hasrat mencari hakim agung yang berkualitas. Hal ini terlihat dalam proses fit and proper test yang digelar Komisi Hukum. Saat agenda tanya-jawab dengan para kandidat, anggota Komisi yang datang paling banyak belasan dari 55 anggota. "Saat agenda pemilihan, semua anggota justru hadir dan ikut memilih," kata Martin.

Ia mengatakan, akibat minimnya partisipasi anggota Komisi Hukum saat proses fit and proper test calon hakim agung, anggota tak kenal siapa yang akan ia pilih untuk bertugas di Mahkamah Agung. Para calon hakim agung pun, kata Martin, tak perlu takut kalah dalam pemilihan. Syaratnya, mereka mendekati partai politik yang mereka anggap bisa meloloskan mereka.

Jadi, ujar dia, untuk menjadi hakim agung itu gampang. Para kandidat tinggal melobi para tokoh dan ketua partai politik. Sesi tanya-jawab dengan anggota Komisi Hukum nantinya hanya formalitas. Tak perlu khawatir bila dalam penyeleksian banyak anggota Komisi Hukum yang tidak mengenalnya. "Karena yang memilih hakim agung itu sebenarnya bukan anggota DPR, melainkan partai politik," katanya.

Mustafa Silalahi, Febriyan, Ahmad Fikri


Potong Kompas di Urutan Kacang

Menyaring calon hakim agung bukan perkara gampang. Hampir ada warna di setiap rekrutmen hakim agung. Penolakan Mahkamah Agung dan DPR terhadap orang yang akan diseleksi kerap terjadi. Mahkamah adalah penentu siapa hakim karier yang layak maju ke seleksi tahap pertama. Mereka yang tak melewati pintu ini akan mendapat sanksi.

Inilah yang terjadi pada hakim Binsar Gultom dan Eddy Parulian Siregar. Binsar sebelumnya bertugas di Pengadilan Negeri Bengkulu, dan Eddy bertugas di Pengadilan Negeri Sidoarjo. Mereka berdua beberapa bulan lalu maju menjadi calon hakim tanpa lewat Mahkamah. Sempat dites Komisi Yudisial, keduanya tak lolos. Menurut Kepala Badan Pengawas Mahkamah Agung, H.M. Syarifuddin, Binsar dan Eddy, lewat surat keputusan Badan Pengawas pada 19 Juli lalu, telah dihukum. "Kenaikan pangkat dan remunerasi keduanya ditunda selama setahun," katanya.

Badan Pengawas beralasan, Ketua Mahkamah Agung Hatta Ali pada Desember tahun lalu sudah memperingatkan keduanya agar mengundurkan diri dari pencalonan. Hatta mengatakan keduanya telah membangkang perintah pimpinan. Namun Binsar dan Eddy mengabaikan surat itu dan tetap mengikuti seleksi hakim agung di Komisi Yudisial hingga tahap akhir penyeleksian, yaitu wawancara.

Undang-undang memang mensyaratkan calon hakim agung untuk jalur karier harus pernah menjadi hakim tinggi minimal tiga tahun. Karier Binsar dan Eddy baru sampai di hakim pengadilan negeri. Maka mereka memilih jalur hakim nonkarier karena sudah menggenggam gelar doktor, yaitu syarat lain menjadi hakim agung lewat jalur "berpengalaman dalam bidang pendidikan hukum".

Kepala bidang rekrutmen hakim Komisi Yudisial Taufiqurrohman Syahuri, menyayangkan adanya sanksi tersebut. Menurut dia, kesempatan untuk menjadi hakim tinggi mestinya harus dibuka lebar-lebar kepada mereka yang sudah memenuhi syarat, termasuk kepada Binsar dan Eddy. "Seharusnya Mahkamah tak perlu menjatuhkan sanksi kepada mereka," katanya.

Menunggu para hakim tinggi untuk berbondong-bondong menjadi hakim agung bukan perkara mudah. Saat ini hakim agung berjumlah 56 orang, itu pun belum dikurangi sembilan orang yang akan pensiun tahun ini. Padahal idealnya hakim agung berjumlah 69 orang.

Untuk seleksi hakim agung pada Juli 2012, dari 81 calon yang berhasil lulus persyaratan administrasi, hanya ada 21 hakim karier. Taufiq mengatakan Binsar dan Eddy sebenarnya sudah layak menjadi hakim agung karena hasil ujian seleksi mereka memuaskan. "Mereka ini pintar dan sudah mengantongi gelar doktor," katanya. Bila kesempatan menjadi seorang hakim agung dari jalur hakim karier dibatasi, ujar dia, akan sulit mencari hakim agung berkualitas. Sebab, hakim agung yang pernah menjadi hakim memiliki nilai plus karena terbiasa menghadapi dan membuat resume kasus. Apalagi jika mereka ditunjang kemampuan ilmu hukum yang mumpuni.

Menurut dia, butuh waktu sangat panjang jika mesti menunggu hakim agung muncul lewat promosi yang sistematis atau biasa disebut "urut kacang". Sebab, ini berarti menunggu mereka masuk ke jenjang hakim tinggi lebih dulu. Padahal, menurut catatan Komisi Yudisial, saat ini ada delapan hakim yang sudah memegang gelar doktor. "Kalau bisa potong kompas, kenapa harus menggunakan urut kacang?" katanya.

Mustafa Silalahi

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus