Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

teroka

Liburan Janggal di Locarno

Film Indonesia, Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya, bertarung dalam kompetisi sineas muda di Festival Film Locarno. Mengapa dewan seleksi mengundangnya secara khusus?

16 Agustus 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mereka harus mengeja huruf per huruf untuk kata yang asing itu: j-a-n-g-g-a-l. "Sudah betul begitu. Selanjutnya, p-e-n-y-a-k-i-t," kata seorang anggota staf, yang melihat buku katalog, kepada rekannya yang menulis kata-kata itu di papan pengumuman. Panitia Festival Film Internasional Locarno bahkan harus menelepon salah satu produser untuk memastikan mereka tidak salah tulis dan tidak salah melafalkan judul film Indonesia yang unik itu: Vakansi yang Janggal dan Penyakit Lainnya.

Film panjang pertama Yosep Anggi Noen ini ikut bertarung di ajang Filmmakers of the Present di festival yang berlangsung di Locarno, Swiss, selama 2-11 Agustus itu. Program itu adalah kompetisi internasional bagi sutradara baru untuk karya film panjang pertama atau kedua mereka. Acara ini, bersama kompetisi internasional yang memperebutkan Piala Leopard Emas, menjadi dua kompetisi utama di Locarno.

Festival tahunan yang dimulai sejak 1946 itu termasuk festival film terlama di dunia, selain Cannes dan Venesia. Festival ini lebih dikenal sebagai ajang penemuan, karena sepanjang sejarahnya sering mengangkat kecenderungan baru dalam perfilman dan mengorbitkan aktor dan sutradara anyar, seperti Willem Dafoe, Anthony Hopkins, dan Abbas Kiarostami.

Film Anggi tercatat sebagai film Indonesia pertama yang masuk program tersebut. Filmnya akan berlaga dengan 14 film panjang lain, seperti Ape karya Joel Potrykus dari Amerika Serikat, Good Luck, Sweetheart karya Daniel Aragao dari Brasil, dan Inori karya Pedro Gonzalez-Rubio dari Jepang.

Anggi adalah sutradara muda dari Yogyakarta yang memulai kariernya dengan membuat sejumlah film pendek, termasuk Hujan Tak Jadi Datang, yang diputar di Festival Film Rotterdam. Vakansi adalah film yang digarapnya bersama Christy Mahanani, Joned Suryatmoko, dan Muhammad Abe Baasyin. Film ini diproduksi Limaenam Films dan Tembi Rumah Budaya.

Pada 3 Agustus lalu, film itu diputar perdana di festival dan disaksikan 910 penonton di bioskop berkapasitas 1.000 kursi. Anggi naik ke panggung untuk memberi sambutan menjelang pemutaran dengan didampingi direktur fotografi Bayu Prihantoro Filemon serta produser Arya Sweta dan John Badalu. "Film ini sempat tertunda karena pemeran utamanya terkena cacar air, persis sesudah saya mengubah skrip percakapan tentang cacar air," kata Anggi, yang disambut dengan tawa penonton.

Vakansi dibuka dengan sebuah pertanyaan: "Ning, kamu mau pulang?" Pertanyaan itu dibiarkan menggantung, karena adegan tersebut berhenti di situ. Vakansi menyediakan jawaban yang ternyata tidak sesederhana mau atau tidak, tapi juga menyodorkan pertanyaan lain: mengapa Ning mau pulang?

Ceritanya berpusat pada Ning (dibintangi Christy Mahanani), gadis Yogyakarta yang baru saja pindah kerja dari toko baju bekas ke toko mebel. Ning adalah perempuan pendiam yang pasrah dan sering hanyut dalam pikirannya sendiri. Di toko perabotan itu, Ning berkenalan dengan Mur (Joned Suryatmoko), pegawai kepercayaan bosnya. Mur adalah pria sembrono yang ingin tahu dan banyak bicara.

Mur bekerja sebagai sopir selama lebih dari 10 tahun dengan majikannya yang orang keturunan Cina. Dia bercerita bahwa saking disayang bosnya, ia pernah diberi duit untuk mengurus SIM, yang malah digunakan untuk bersenang-senang. "Kalau ditangkap polisi kan gampang. Kasih duit, terus kabur," katanya bangga.

Suatu hari Ning dan Mur harus mengantar beberapa pesanan mebel. Maka mulailah film ini menyusuri jalan-jalan di sekitar Jawa Tengah, dari Yogyakarta hingga Wonosobo. Dari percakapan-percakapan tak penting di antara mereka, perjalanan yang seharusnya selesai dalam dua jam itu pun terulur hingga dua hari.

Dalam perjalanan itu, Vakansi tidak hanya berfokus pada kedua bintang. Sang sutradara sengaja melebarkan sudut pandang lensa kamera, sehingga peristiwa-peristiwa kecil di sekeliling mereka tidak luput dari pengamatan, dari kegiatan petani tembakau, pasar kambing, toilet umum, hingga menara masjid.

Tokoh lain di film itu adalah Jarot (Muhammad Abe Baasyin), suami Ning, yang meski tak banyak bersuara juga punya andil sama besar dengan Ning dan Mur. Jarot adalah penganggur yang saban hari hanya menonton TV, dari siaran olahraga, program cari jodoh, hingga talk show tentang bagaimana menjadi ibu rumah tangga yang baik. Dalam diamnya, kita tahu, terjadi banyak gejolak dalam diri Jarot. Tidak mudah menjadi penganggur yang bergantung pada penghasilan istri.

Lewat tokoh-tokoh itu, Vakansi membuat semacam pemetaan mentalitas masyarakat Indonesia kalangan bawah yang tidak punya banyak pilihan. Mur adalah wakil dari pegawai korup yang menganggap enteng segala hal. Adapun Ning dan Jarot, meskipun terlihat tertekan dalam masalah sosial dan ekonomi, adalah orang yang ingin berjuang, meski mungkin hasilnya tidak sesuai dengan yang diharapkan.

Film itu disambut hangat dan dihujani­ tepuk tangan meriah penonton. Olivier Pere, direktur artistik festival, sudah memperkirakan sambutan seperti itu akan diperoleh Vakansi. "Di seksi ini, kami tidak berharap munculnya adikarya. Kami mencari film dari sutradara yang baru membuat film tapi sudah punya gaya artistik yang kuat," kata Pere.

Menurut Mark Peranson, anggota dewan komite seleksi, Vakansi adalah salah satu film yang khusus diminta oleh panitia festival. "Sutradaranya tidak mengirimkan film ini ke kami. Kami mendengar tentang film ini dari teman-teman di Cannes, yang waktu itu sedang mempertimbangkan film ini untuk Directors' Fortnight. Kebetulan, Olivier (Pere) adalah mantan kepala program tersebut sebelum bergabung dengan Locarno," kata Peranson. Directors' Fortnight adalah program pemutaran film independen di Cannes. "Ketika Vakansi kemudian dilepas oleh pihak Directors' Fortnight, kami tidak buang-buang waktu dan langsung mengontak sutradaranya."

Semua anggota dewan seleksi, termasuk Pere, tidak ragu-ragu memasukkan film ini ke seksi kompetisi. Peranson, yang belum pernah ke Indonesia, menganggap film ini istimewa karena membuat rileks, tidak terlalu mendikte penontonnya untuk merasakan tekanan sosial yang dihadapi dalam kehidupan sehari-hari karakter-karakternya. "Ketika pertama kali menontonnya, langsung terlihat bahwa sutradaranya membuat film bukan karena sekadar iseng, tapi benar-benar punya visi dengan kamera," katanya.

Mariell Schaller, salah seorang penonton dari Bern, Swiss, yang pernah berkunjung ke Indonesia, mengaku menonton Vakansi karena ingin menikmati atmosfer Indonesia. "Film ini benar-benar membawa saya kembali ke Jawa, ke jalan-jalan kampung yang pernah saya lewati," katanya.

Vakansi juga akan diputar di Cinema Rialto, yang khusus untuk kalangan industri perfilman. Masuknya Vakansi ke Locarno tidak hanya penting bagi Anggi, tapi juga bagi sinema Indonesia. Seperti film Postcard from the Zoo yang memperkenalkan sinema Indonesia di Berlin, Vakansi membuka pintu bagi sineas dan film Indonesia di masa mendatang di Locarno. Vakansi juga sudah diakuisisi oleh M-Appeal, agen pemasaran di Berlin, Jerman, untuk pemasaran dan peredaran internasional.

Sebenarnya Indonesia pernah mencoba masuk Locarno. Film Indonesia pertama yang masuk program kompetisi utama adalah Pulang karya Basuki Effendy pada 1955. Hampir setengah abad kemudian, baru Indonesia datang lagi lewat Puisi Tak Terkuburkan karya Garin Nugroho, yang meraih penghargaan khusus Video Silver Leopard.

Pada 2006, Festival Film Locarno membuka pintu bagi Indonesia untuk berpartisipasi dalam program Open Doors,­ yang bertujuan membantu sutradara dan produser independen dari wilayah yang terpilih untuk menyelesaikan proyek film mereka. Sutradara yang kala itu ikut serta adalah Riri Riza (untuk film Eliana, Eliana), Garin Nugroho (Surat untuk Bidadari), Ravi Bharwani (The Rainmaker), dan Nan T. Achnas (Pasir Berbisik).

Asmayani Kusrini (Locarno)


OLIVIER PERE, DIREKTUR ARTISTIK FESTIVAL FILM LOCARNO:
Sutradara Vakansi Akan Melangkah Jauh

Olivier Pere mungkin paling sibuk di Locarno. Selain menjadi direktur artistik festival, ia bertugas menjadi pemandu acara, moderator sesi tanya-jawab, penyambut tamu, pengisi acara televisi tentang perkembangan festival film setiap pagi, sekaligus penulis di situs festival tersebut. Karena itu, sulit sekali mencari waktu untuk bisa bercakap santai dengan pria berkebangsaan Prancis yang juga kritikus film untuk majalah Les Inrockuptibles ini. Bahkan, menurut sekretarisnya, makan siang pun biasanya dilakukan sambil berjalan dari satu acara ke acara lainnya. Tapi, dalam suatu kesempatan menjelang sebuah diskusi, perbincangan itu dapat terjadi.

Mengapa Vakansi dapat masuk kompetisi Filmmakers of the Present?

Film itu memang pantas masuk. Di antara 800 film yang kami seleksi, film itu salah satu yang paling kuat, baik dari segi kualitas visual maupun narasinya. Sewaktu menontonnya, kami semua sepakat, film ini sebisa mungkin harus ditonton oleh sebanyak-banyaknya orang. Salah satu upaya yang bisa kami lakukan adalah menempatkannya di salah satu program kompetisi utama kami.

Bagaimana Anda melihat masa depan sutradara muda ini?

Kami tahu, sutradara Vakansi akan melangkah jauh dengan film-filmnya nanti, yang pasti dia akan berkelana ke festival-festival internasional lain.

Baru kali ini ada film Indonesia di Locarno. Anda tidak menonton film Indonesia yang lain?

Ha-ha-ha…. Tidak begitu. Saya menonton film bukan berdasarkan negara. Saya harus mengakui bahwa festival kami memang tidak mempunyai pemantau (programmer) khusus di setiap wilayah. Tidak seperti Festival Film Cannes atau Festival Film Berlin yang punya orang di mana-mana. Selain menerima ribuan film, kami banyak mendapat masukan. Dan, memang, biasanya kami mendahulukan film yang direkomendasikan oleh orang-orang yang kami percayai punya selera yang bagus. Nah, kebetulan Vakansi adalah salah satu film yang direkomendasikan tersebut. Satu hal lagi, karena film ini mendapat dana dari Hubert Bals Fund, dan tentu menarik mengetahui bagaimana dana itu dimanfaatkan sutradaranya. l

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus