Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Situasi Prancis tetap kondusif setelah serangkan di Paris dan Nice.
Pembunuh Samuel Paty diduga terlibat dalam jaringan kelompok teroris ISIS di Suriah.
Berbagai serangan itu berhubungan dengan kartun Nabi Muhammad di majalah satire Charlie Hebdo.
INTAN Puri Hapsari kembali disibukkan oleh aktivitas dua anaknya yang mulai bersekolah lagi di Kota Paris, Prancis, setelah sempat lama diliburkan akibat pandemi Covid-19. Kegiatan warga kota sudah berjalan normal setelah digegerkan oleh serangan brutal sejumlah imigran yang membawa-bawa nama Islam di Paris dan Nice pada Oktober lalu. “Keadaannya kondusif. Tidak ada yang menyebut muslim memicu masalah serangan teror. Sikap warga Prancis terhadap imigran pun biasa saja,” kata Intan, warga negara Indonesia yang sudah 12 tahun tinggal di sana, saat dihubungi Tempo pada Rabu, 4 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Samuel Paty, guru sejarah di sekolah Bois-d’Aulne di utara Paris, tewas dibunuh oleh Abdoullah Anzorov, remaja imigran asal Republik Cek, pada 16 Oktober lalu. Dua pekan kemudian, Brahim Aoussaoui menyerang dan membunuh tiga orang di sebuah gereja di Nice.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua insiden itu terjadi di tengah meningkatnya ketegangan antara Prancis dan komunitas muslim menyusul pernyataan Presiden Prancis Emannuel Macron yang dinilai menghina Islam dan mendukung Charlie Hebdo, majalah satire yang kerap menerbitkan kartun Nabi Muhammad. Federasi Komunitas Muslim dan Pengurus Masjid Prancis juga mengecam aksi terorisme dan kekerasan yang mengatasnamakan Islam.
Anzorov dan Paty sebenarnya tak saling mengenal. Anzorov tinggal di Kota Evreux, sekitar 100 kilometer dari sekolah Paty. Anzorov bahkan harus bertanya kepada sejumlah murid untuk memastikan identitas Paty sebelum menyerangnya. Setelah membunuh Paty, dia mengunggah foto-foto korban ke Twitter disertai klaim telah menghentikan penghina Nabi. Anzorov tewas ditembak polisi setelah berusaha menusuk petugas yang mengepungnya. Polisi juga menahan 11 orang, termasuk orang tua, kakek, dan adik laki-laki Anzorov.
Serangan terhadap Paty diduga berhubungan dengan materi pelajarannya di kelas. Dia menggunakan karikatur Nabi Muhammad dari Charlie Hebdo dalam pelajaran kebebasan berpendapat. Paty meminta murid-muridnya yang beragama Islam untuk keluar dari kelasnya jika berkeberatan atas materi pelajaran tersebut. Video kecaman terhadap Paty yang diunggah Brahim Chnina, yang putrinya belajar di sekolah Paty, dinilai turut memicu serangan.
Anzorov juga diduga terlibat dalam kelompok Islam garis keras. Surat kabar Le Parisien melaporkan bahwa dia sempat berkontak dengan milisi muslim Rusia di Suriah. Dalam videonya di Instagram, termasuk yang ditujukan kepada kelompok teroris Negara Islam Irak dan Syam (ISIS), Anzorov menyatakan siap mati syahid.
Polisi menemukan jejak komunikasi daring Anzorov yang mengarah hingga Idlib, markas kelompok militan ISIS di Suriah. Jean-Francois Ricard, jaksa yang menangani kasus antiterorisme, mengatakan adik tiri perempuan Anzorov sudah pergi ke Suriah untuk bergabung dengan ISIS enam tahun lalu.
Dini Kusmana Massabuau, warga Indonesia yang tinggal di Kota Montpellier, mengatakan banyak orang Prancis mengecam aksi Anzorov. Mereka tahu penyerangan itu bertentangan dengan nilai-nilai Islam. Menurut Dini, warga Prancis bisa membedakan antara Islam sebagai agama dan kelompok Islamis radikal. “Protes keras dari sejumlah tokoh politik dan publik lebih ditujukan kepada Islamis radikal,” kata Dini, yang sudah dua dekade tinggal di kota itu.
Menurut Dini, tidak ada perubahan atau tekanan terhadap warga muslim setelah terjadinya tragedi pembunuhan Paty. Beberapa kawannya yang berjilbab memang sempat cemas setelah ada serangan terhadap dua perempuan berjilbab di sekitar Menara Eiffel selepas insiden Paty.
Penyerangnya kemudian ditahan polisi. “Yang disayangkan justru di luar Prancis muncul video-video hoaks yang menggambarkan bagaimana wanita berhijab dianiaya,” kata perempuan berjilbab itu.
Elizabeth Inandiak, pengarang Prancis yang pernah menerjemahkan Serat Centhini ke bahasa Prancis, mengatakan ada persepsi keliru yang menyebut Charlie Hebdo sebagai simbol kebebasan berpendapat. Menurut dia, karikatur Charlie Hebdo terlalu kotor, konyol, dan vulgar. “Kebebasan berekspresi itu ada batasnya. Kritik terhadap teroris dan Islam radikal bukan dengan gambar seperti itu,” kata Elizabeth saat dihubungi Tempo pada Kamis, 5 November lalu.
Elizabeth mengatakan situasi di Prancis mirip dengan di Indonesia. Ada segelintir kelompok ekstremis yang menggunakan kekerasan dengan mengatasnamakan Islam. Padahal ada banyak imigran dan komunitas muslim, termasuk dari Maroko, Aljazair, Tunisia, dan Mesir, yang bekerja sama dengan komunitas lain membangun jaringan perdamaian. Elizabeth tidak menampik penilaian bahwa masih ada masalah diskriminasi terhadap kaum imigran. Polisi juga kerap menangkap imigran yang tinggal di kamp pengungsian di pinggir kota. “Tapi ada banyak jaringan masyarakat sipil yang berinisiatif membantu mereka, menampung di apartemen, atau memberi uang saku untuk kebutuhan hidupnya,” ucapnya.
GABRIEL WAHYU TITIYOGA, SHINTA MAHARANI (YOGYAKARTA)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo