Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pengacara HAM Papua Gustaf Kawer mengatakan kasus kekerasan aparat keamanan terhadap masyarakat di Papua terus berulang sejak integrasi Papua ke dalam wilayah Indonesia.
Menurut Gustaf, penembakan Pendeta Yeremia Zanambani masuk kategori kasus pelanggaran HAM.
Kekerasan aparat dan pelanggaran HAM di Papua tidak akan berhenti selama pemerintah tidak serius menghukum para pelakunya.
PENEMBAKAN Pendeta Yeremia Zanambani di Kampung Hitadipa, Kabupaten Intan Jaya, Papua, 19 September lalu, mengingatkan Gustaf Rudolf Kawer pada dua peristiwa serupa di masa silam. Semasa duduk di sekolah dasar, Gustaf mendengar berita menghebohkan tentang kematian antropolog dan seniman kondang Papua, Arnold Clemens Ap, yang ditembak anggota Komando Pasukan Sandi Yudha—kini Komando Pasukan Khusus (Kopassus)—dan mayatnya dibuang ke laut pada 1984.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tujuh belas tahun kemudian, tokoh adat Papua, Dortheys “Theys” Hiyo Eluay, juga tewas ditembak anggota Kopassus pada 10 November 2001. “Saya berpikir, ‘Oh, peristiwa-peristiwa ini rupanya tidak hilang juga’,” kata Gustaf, 44 tahun, dalam wawancara khusus dengan Tempo melalui konferensi video dari Jayapura, Rabu, 4 November lalu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengacara hak asasi manusia Papua ini mengatakan pengusutan dugaan tindak kekerasan aparat keamanan terhadap rakyat Papua sering tak tuntas meski dalam beberapa kasus ada indikasi pelanggaran HAM. Alih-alih menyeret para pelakunya ke pengadilan HAM, penyelesaian kasus-kasus tersebut sering mandek dan hanya berujung pada peradilan militer. Mengutip laporan Elsam Papua, Gustaf mengatakan jumlah pelanggaran HAM di Papua sejak wilayah ini bergabung dengan Indonesia mencapai 749 kasus. Tapi kasus yang sampai dibawa ke pengadilan HAM hanya pelanggaran HAM Abepura pada 7 Desember 2000. “Itu baru satu kasus, dan pelakunya sampai tingkat kasasi divonis bebas,” ujar Ketua Perkumpulan Pengacara HAM Papua ini.
Menurut Gustaf, ruang bagi rakyat Papua untuk mengekspresikan pendapat hanya ada di era Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Setelah itu, keadaan kembali memburuk, termasuk di era Presiden Joko Widodo. Ia menilai Presiden Jokowi tak serius menangani Papua meski tercatat sebagai presiden yang paling rajin melawat ke Bumi Cenderawasih. Ini tampak dari pengusutan kasus penembakan Pendeta Yeremia Zanambani yang diselesaikan lewat jalur politik dengan membentuk Tim Gabungan Pencari Fakta Intan Jaya.
Kepada wartawan Tempo, Sapto Yunus, Mahardika Satria Hadi, dan Abdul Manan, Gustaf menceritakan pengalamannya menangani kasus-kasus dugaan pelanggaran HAM di tanah kelahirannya. Advokat penerima penghargaan Pro Bono Champions 2019 ini mengatakan eksploitasi sumber daya alam telah membuat orang Papua tersingkir dari kampungnya dan menjadi korban kekerasan aparat. Ia menilai ketidakseriusan pemerintah memperburuk keadaan di Papua.
Mengapa Anda menilai hasil investigasi Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Intan Jaya tidak tegas dalam mengungkap penembakan Pendeta Yeremia Zanambani?
Penembakan-penembakan di Papua, termasuk terhadap Pendeta Zanambani, adalah perulangan. Hal itu sering terjadi sejak era integrasi Papua ke wilayah Indonesia. Pada 2001, kejadian yang sama menimpa Theys Eluay. Militer awalnya membantah bahwa mereka pelakunya. Tapi hasil investigasi teman-teman lembaga swadaya masyarakat mengarah pada institusi militer. Itu pun mereka (tentara) masih membantah. Kemudian hasil investigasi yang lebih detail mengarah ke Kopassus. Hasilnya dinyatakan tidak ada pelanggaran HAM, tapi lantas dibawa ke peradilan militer. Waktu itu kasusnya disidangkan di Surabaya. Sekarang cerita yang sama menimpa Pendeta Zanambani.
Apa yang belum diungkap dari investigasi TGPF Intan Jaya?
Hasil investigasi teman-teman di gereja mengatakan bahwa ini ada (peran) dari Tentara Nasional Indonesia. Kemudian hasil dari tim independen Koalisi HAM Papua juga mengarah ke TNI. Itu masih dibantah juga. Bahkan saat TGPF tidak menyatakan tegas apakah pelakunya TNI atau kelompok bersenjata, TNI tetap membantah. Terakhir dari Komisi Nasional Hak Asasi Manusia ada hasil yang mengarah ke TNI dan diduga pelakunya Wakil Komandan Rayon Militer (Danramil) Hitadipa di Intan Jaya. Saya katakan ini menyedihkan karena terus terjadi. Tidak ada penyelesaian yang komprehensif atas kasus-kasus kekerasan terhadap masyarakat di Papua.
Kekerasan terhadap masyarakat Papua terus berulang. Apa akar masalahnya?
Kalau pemerintah jujur, ada persoalan yang paling prinsipiel, yaitu sumber daya alam. Eksploitasi sumber daya alam lebih banyak dilakukan dengan pendekatan militer yang kemudian menimbulkan pelanggaran HAM. Pengulangan itu sejak integrasi 1969, terus terjadi sampai saat ini. Di Intan Jaya kita tahu ada Blok Wabu. Ada rencana eksploitasi sumber daya alam khusus emas di situ. Tapi kemudian diambil pendekatan militer. Yang terjadi adalah korbannya masyarakat sipil lagi.
(Dalam salinan surat tertanggal 24 Juli 2020 yang diterima Tempo, Gubernur Papua Lukas Enembe memberikan rekomendasi wilayah izin usaha pertambangan khusus kepada Direktur Utama Mining Industry Indonesia. Lukas mengabulkan permohonan rekomendasi wilayah izin usaha pertambangan khusus Blok Wabu, yang merupakan eks wilayah Blok B PT Freeport Indonesia di Kabupaten Intan Jaya seluas 40 ribu hektare, yang disampaikan Direktur Utama Mining Industry Indonesia pada 20 Februari 2020.)
Pendeta Zanambani termasuk aktif mengadvokasi warga tentang eksploitasi tambang emas di Intan Jaya?
Kami dengar Pendeta sering mengadvokasi masyarakat korban kekerasan oleh aparat, termasuk kasus penyiksaan terhadap masyarakat. Dia membela warga di sana. Kejadian terbaru, masyarakat disuruh berkumpul di gereja, kemudian ada ancaman di situ. Pendeta Zanambani membantu warga, tapi oleh aparat dianggap mengganggu negara.
Apakah Pendeta Zanambani sengaja dijadikan target?
Iya, dia ditargetkan aparat karena termasuk vokal berbicara tentang hak-hak masyarakat. Itu hasil investigasi teman-teman Koalisi HAM Papua. Investigasi Komnas HAM mengarah ke adanya desain dari aparat untuk menghilangkan orang yang dianggap mengganggu mereka di sana.
Sebelum dibunuh, benarkah Pendeta Zanambani pernah diteror atau diintimidasi?
Dari hasil investigasi, ada kejadian sebelumnya, yaitu perampasan senjata oleh kelompok tidak dikenal. Aparat menuduh masyarakat di sekitar situ turut terlibat. Lalu warga dikumpulkan di halaman gereja, kemudian teror itu dilakukan termasuk oleh Wakil Komandan Koramil Hitadipa. Dia mengatakan siapa saja yang mengganggu akan dihabisi, termasuk Pendeta Zanambani. Keluarga koban mengatakan mereka melihat Wakil Danramil bersama beberapa temannya menuju kandang babi tempat Pendeta Zanambani dibunuh. Mereka mengatakan Wakil Danramil Hitadipa, bernama Alpius, yang menembak pendeta.
Berapa pelaku yang teridentifikasi?
Pelaku yang namanya disebutkan dengan jelas satu orang. Tapi yang terlibat bersama-sama lebih dari satu orang. Ada sekelompok orang yang datang ke kandang babi, lalu menyiksa dan menembak Pendeta Zanambani. Ada juga luka bekas sayatan pada tubuhnya.
Bukankah TGPF Intan Jaya telah menyimpulkan ada indikasi keterlibatan oknum aparat atau pihak ketiga dalam penembakan Pendeta Zanambani?
TGPF tidak tegas menyebutkan pelakunya anggota TNI. Mereka katakan itu belum terlalu kuat karena tidak ada saksi yang melihat. Mereka juga menyebutkan mungkin pelakunya kelompok TPN-OPM (Tentara Pembebasan Nasional-Organisasi Papua Merdeka) karena mereka sering mengganggu di Intan Jaya. Bagi saya, bahasa TGPF masih mendua.
TGPF Intan Jaya sudah menyerahkan laporan hasil investigasinya kepada Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud Md. Apakah itu langkah tepat?
Dalam proses investigasi, saya pikir kalau alurnya ada kekerasan HAM, rekomendasinya tidak diserahkan kepada Menko Polhukam atau presiden, tapi kepada Komnas HAM. Jadi saya pikir alurnya politik, bukan penegakan hukum. Ini yang tidak jelas. Komnas HAM yang punya kewenangan penyelidikan, bukan presiden atau Menko Polhukam. Itu sesuai dengan Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Pengadilan HAM.
Adakah indikasi dugaan pelanggaran HAM yang belum diungkap oleh TGPF Intan Jaya?
Saya pribadi melihat, dari cara investigasinya, ini arahnya tidak akan ke pengadilan HAM. Ini akan mengarah ke perilaku oknum dan lebih pada peradilan militer. Desainnya ke sana.
Apa indikasi bahwa penembakan Pendeta Zanambani adalah kasus pelanggaran HAM?
Kalau dilihat desainnya, begini. Ada pembunuhan terhadap anggota TNI. Lalu ada perintah dari atasan untuk melakukan operasi penyisiran. Korbannya ada masyarakat sipil. Kemudian, di Intan Jaya, warga mengungsi. Artinya ada unsur sistematis, meluas, termasuk pertanggungjawaban komando di dalamnya. Itu sudah masuk pelanggaran HAM. Kalau kita mencermati pernyataan Danramil bahwa pelakunya oknum saja, itu desainnya peradilan militer. Ini juga kesalahan berulang yang dilakukan Komnas HAM dan tim-tim investigasi di Papua.
Apa yang seharusnya dilakukan Komnas HAM?
Kalau memang Komnas HAM serius, seharusnya dibentuk dulu KPP (komisi penyelidik pelanggaran) HAM. Itu alur sesuai dengan Undang-Undang Pengadilan HAM. KPP HAM terdiri atas orang-orang profesional, punya kemampuan soal HAM, dan independen. Lalu penyelidikan resmi dilakukan, hasilnya berupa rekomendasi ada pelanggaran HAM ke jaksa, bukan ke presiden lagi. Ini masuk kategori pengadilan HAM permanen, bukan ad hoc.
Berkaitan dengan tambang emas di Intan Jaya, sejak kapan penduduk setempat mulai diintimidasi dan diancam?
Setahu saya sejak setahun lalu kejadian ini sudah ada. Ada kekerasan aparat, ada pengungsian. Itu bukan hanya di Intan Jaya. Kalau kita tarik lagi, di Nduga sama modelnya. Ada penembakan terhadap warga sipil, ada pengungsian. Di Timika juga, ada ribuan penduduk turun dari Banti mengungsi ke Timika karena situasi di sana dikondisikan rawan. Modusnya sama, yaitu karena sumber daya alam.
Apa kendala yang membuat penanganan kasus pelanggaran HAM di Papua kerap mandek?
Regulasinya sebenarnya sudah ada. Setelah reformasi, ada Undang-Undang HAM dan Undang-Undang Pengadilan HAM. Di Papua ada Undang-Undang Otonomi Khusus yang mengatur soal HAM di Pasal 45 ayat 1 dan 2. Di tingkat institusi, ada Komnas HAM, pengadilan HAM, lalu di Papua ada Perwakilan Komnas HAM. Regulasi ada, institusi ada, tapi penegakan hukum tidak tersentuh karena pemerintah tidak serius. Makanya kejadian serupa terus terulang. Aparat yang melakukan kekerasan akan menganggap biasa saja karena tidak tersentuh hukum.
Mengapa Anda menganggap pemerintah tidak serius menangani pelanggaran HAM di Papua?
Pemerintah memang tidak mau menyelesaikan masalah HAM di Papua karena pelakunya adalah mereka sendiri, institusinya sendiri. Kedua, pemerintah tidak mampu. Ini kaitannya dengan regulasi tadi, misalnya Undang-Undang Pengadilan HAM. Selama ini mekanismenya masih menggunakan peradilan umum, sama dengan sidang pidana biasa. Padahal ini extraordinary crime, seharusnya mekanismenya luar biasa. Tapi dari tahun 2000 sampai sekarang tidak pernah ada perubahan. Jadi sidangnya masih di Makassar, jauh dari Papua. Hakimnya masih hakim pengadilan umum. Jaksanya juga dari Kejaksaan Agung. Bagaimana mau bicara perubahan?
Apa bukti pemerintah Jokowi tidak serius menangani masalah Papua?
Begitu terpilih, dalam acara Natal di Papua, Jokowi mengatakan akan menyelesaikan masalah Papua. Bagaimana orang Papua mengapresiasi pernyataan itu jika setelahnya tidak ada penyelesaian persoalan apa pun di Papua? Jika Jokowi mau serius, coba tuntaskan kasus Wasior, Wamena, Paniai, termasuk Abepura. Ditambah masih terjadi penembakan di mana-mana, termasuk penerjunan pasukan di Papua. Ini berarti pendekatan Jokowi bukan pendekatan yang humanis. Ini pendekatan militer seperti dulu ketika Papua masih menjadi daerah operasi militer.
Siapa presiden yang konkret menyelesaikan persoalan Papua?
Yang terlihat lebih humanis hanya Gus Dur.
Apa yang membedakan Gus Dur dengan presiden lain?
Cara pendekatannya terhadap masyarakat Papua. Yang paling kelihatan penggunaan nama Papua dan bendera Bintang Kejora bisa berkibar. Gus Dur bisa melihat simbol-simbol, pendekatan yang salah bisa menimbulkan konflik. Pendekatannya yang humanis bisa meredakan konflik, termasuk dia memperbolehkan Kongres Rakyat Papua sehingga orang bebas berbicara di dalamnya. Saat itu orang Papua mendapat ruang untuk bebas berekspresi. Tapi, setelah dia pergi, situasi represif kembali terlihat di Papua.
Gustaf Kawer saat jumpa pers berkaitan dengan pemulangan Tapol dari Balikpapan ke Jayapura, 21 Agustus 2020. Dokumentasi PAHAM Papua
Presiden Jokowi ingin menyelesaikan persoalan di Papua lewat pendekatan ekonomi. Apakah itu prioritas yang tepat?
Jokowi keliru kalau hanya pendekatan ekonomi. Harus komprehensif. Saya pikir, kalau Jokowi berpikir baik, rekomendasi yang dibuat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia bisa menjadi acuan untuk menyelesaikan persoalan di Papua. Ada pendekatan ekonominya, bagaimana orang Papua tidak didiskriminasi, tidak dimarginalisasi, pelanggaran HAM diselesaikan, pelurusan sejarah dilakukan. Tapi pemerintah terlihat takut di dua bidang ini, yaitu pelanggaran HAM dan pelurusan sejarah. Makanya ekonomi diprioritaskan. Coba kita lihat fakta terbaru, pendekatan ekonomi juga tidak menyentuh masyarakat di bawah. Yang menikmati elite juga. Dulu elite Jakarta, sekarang elite Papua.
Jika Anda diberi kesempatan bertemu dengan Presiden Jokowi, apa yang akan Anda sampaikan?
Ada dua hal yang saya akan sampaikan kepada Jokowi. Pertama, selesaikan persoalan HAM di Papua. Kedua, sumber daya alam biar dikelola sendiri oleh orang Papua. Kalau tidak mampu selesaikan soal itu, berikan ruang untuk dialog, kemudian orang Papua menentukan nasib sendiri. Itu pilihan terbaik.
Apa dampak yang mungkin terjadi jika pemerintah tak kunjung menangani kasus-kasus pelanggaran HAM di Papua?
Saya melihat tingkat kepercayaan masyarakat Papua terhadap pemerintah makin turun. Kita lihat sejak masa transisi, 1963-1969, setelah Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) hingga seusai reformasi, data Elsam Papua menunjukkan sekitar 749 kasus pelanggaran HAM terjadi di Papua. Kasus yang sampai ke pengadilan hanya kasus HAM Abepura 7 Desember 2000. Itu baru satu kasus. Pelakunya sampai tingkat kasasi divonis bebas. Lalu kasus Wasior 2001 dan Wamena 2003 sampai di jaksa saja. Berkasnya bolak-balik ke Komnas HAM dengan alasan macam-macam, dari soal teknis penyelidikan dan pembuktian disebutkan di dalamnya. Yang terbaru kasus Paniai 2014. Itu juga berkasnya sampai jaksa dan dikembalikan ke Komnas HAM.
Kalau rakyat Papua tidak puas atas lambatnya penyelesaian kasus pelanggaran HAM, apa yang terjadi?
Saya termasuk sepakat bahwa tuntutan aspirasi merdeka makin kuat. Masyarakat memilih tidak hidup bersama Indonesia karena pilihannya adalah lebih baik pisah dan hidup lebih baik dibanding hidup bersama Indonesia tapi masih terasa terjajah.
Sejauh mana Anda terlibat dalam penanganan kasus pelanggaran HAM di Papua?
Dalam kasus HAM Abepura, saya terlibat dalam advokasinya sampai pengadilan HAM di Makassar. Saya koordinator litigasinya waktu di Koalisi HAM Papua. Kami kawal korbannya dari proses advokasi awal sampai rekomendasi Komnas HAM tentang pelanggaran HAM berat. Sejak 2000, tapi baru berproses di pengadilan HAM Makassar pada 2004. Itu sidang HAM yang paling rapi karena kami punya saksi-saksi yang kuat. Tapi sampai putusan malah divonis bebas. Kasasi juga bebas.
Seperti apa tuntutannya saat itu?
Rekomendasi Komnas HAM ada 25 pelaku, tapi sampai di jaksa dipangkas menjadi dua orang. Sampai pengadilan, dua orang itu (divonis) bebas.
Anda juga membela tujuh tahanan politik Papua yang dijerat dengan pasal makar selepas gelombang demonstrasi memprotes tindakan rasisme terhadap mahasiswa Papua di Surabaya tahun lalu. Apa tantangan menangani kasus tersebut?
Cara pandang polisi terhadap semua gerakan sipil yang masih masuk kategori kebebasan bereksperesi diterjemahkan bahwa itu gerakan separatisme. Akhirnya pasal yang digunakan pasal makar. Dari proses awal sudah terlihat itu kriminalisasi. Demonstrasi itu kan menentang rasisme. Tidak ada di dalamnya deklarasi Papua merdeka atau ingin Papua merdeka, tapi aparat menerjemahkan demonstrasi itu bertujuan merdeka.
Sebagai pengacara yang vokal soal isu HAM Papua, Anda pernah diintimidasi atau diancam?
Saya sudah tiga kali dilaporkan ke polisi. Teror langsung berupa ancaman dihabisi juga pernah. Rumah saya juga pernah didatangi orang tak dikenal. Dugaan saya itu intelijen. Dalam kasus tujuh tahanan politik, sewaktu saya mendampingi mereka di Markas Komando Brigade Mobil Jayapura, pimpinan tim dari Kepolisian Daerah Papua pernah menegur saya. Dia bilang saya seharusnya berhenti berbicara soal Papua karena saya masuk target.
GUSTAF RUDOLF KAWER | Tempat dan tanggal lahir: Merauke, Papua, 21 Januari 1976 | Pendidikan: S-1 Fakultas Hukum Universitas Cenderawasih, Jayapura (2000); Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta (2007) | Karier: Aktivis Lembaga Pelayanan Mahasiswa Indonesia (2000-2002), Staf Divisi Hak Sipil dan Politik Lembaga Bantuan Hukum Papua (2002-2007), advokat (2007-sekarang), Ketua Bidang Pendidikan Khusus Profesi Advokat dan Pengangkatan Advokat Perhimpunan Advokat Indonesia (2018-2022), Ketua Perkumpulan Pengacara Hak Asasi Manusia Papua (2017-2021) | Organisasi: Koordinator Tim Litigasi Koalisi Masyarakat Sipil untuk Penegakan Hukum dan HAM di Papua (2008-2019) | Penghargaan: Lawyers for Lawyers Awards (2013), Hukum Online Pro Bono Champions (2019)
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo