Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Karena tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi, Indonesia hanya berpegang pada peraturan presiden dalam penanganan pengungsi Rohingya.
Pemerintah sulit bermanuver menyediakan lokasi penampungan yang kian padat.
UNHCR menyarankan pemerintah memasukkan pengungsi ke sistem kesehatan dan pendidikan Indonesia
PERJALANAN sulit yang berujung manis dari seorang pengungsi Rohingya tecermin pada sosok Hafsar Tameesuddin. Ia pernah merasakan pahit-getir tinggal di kamp pengungsian di dua negara. Namun wanita itu kini bisa mandiri dan mendedikasikan diri menjadi aktivis yang membantu para pengungsi serta kaum terpinggirkan lain.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Hafsar kehilangan kewarganegaraan sejak lahir karena perubahan kebijakan di Myanmar pada 1982. Pada usia 20-an tahun, sekitar 15 tahun lalu, ia berusaha mencari suaka di Thailand. Di sana, dia berjuang dua tahun tanpa hasil. Sembilan tahun berikutnya ia habiskan sebagai pengungsi di Malaysia.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Peruntungan baik menghampirinya pada 2019. Ia terpilih mengikuti program pemukiman kembali atau resettlement di Selandia Baru. Di negara barunya itu, berbagai peluang ia dapatkan, termasuk kesempatan melanjutkan studi hingga meraih gelar sarjana. Kini ia menjadi aktivis sosial dan dipercaya sebagai Ko-Sekretaris Jenderal Jaringan Hak Pengungsi Asia Pasifik (APRRN).
Hafsar menyebut hal yang dialaminya itu sebagai anugerah tak terbayangkan. "Jika Anda melihat statistik, kurang dari 1 persen pengungsi yang dimukimkan kembali," katanya pada Senin, 7 Oktober 2024.
Pemukiman kembali menjadi mimpi para pengungsi, termasuk ribuan orang Rohingya yang berada di Indonesia. Mereka umumnya menjadikan negara seperti Indonesia persinggahan sebelum mendapatkan peluang resettlement ke negara-negara yang meratifikasi Konvensi 1951 tentang pengungsi. Di negara-negara tujuan akhir itu, mereka bisa memperoleh jaminan pemenuhan hak-hak secara penuh.
Sayangnya, seperti disebutkan Hafsar, peluang resettlement sangat kecil. Ketersediaan sumber daya tak sebanding dengan jumlah pengungsi. Terbatasnya kuota itu kerap membuat banyak pengungsi kehilangan harapan karena lama terkatung-katung tanpa kejelasan di kamp pengungsian.
Bagi orang-orang Rohingya, keadaan lebih buruk karena solusi jangka panjang lain, yakni repatriasi, bahkan lebih susah diterapkan. Program pemulangan kembali ini mensyaratkan dua hal: jaminan keamanan dan kesukarelaan. Meski banyak pengungsi Rohingya berhasrat kembali ke Myanmar, syarat tentang keamanan susah dipenuhi. Negara itu tetap tak mengakui mereka sebagai warga negara, yang membuat pemulangan kembali mustahil dilakukan.
•••
KOMISIONER Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) di Indonesia mengakui solusi-solusi jangka panjang bagi para pengungsi sejauh ini belum optimal memberikan harapan. "Kami tahu pemukiman kembali saja tidak cukup, tidak akan pernah cukup. Kami juga tahu pemulangan sukarela tidak akan terjadi dengan cepat," tutur Emily Bojovic, Petugas Perlindungan Senior UNHCR Indonesia, pada Rabu, 2 Oktober 2024. Karena itu, menurut dia, diperlukan solusi-solusi alternatif.
Salah satu masalah yang mendesak diselesaikan adalah kurang layaknya penampungan. "Di Indonesia, lokasi pengungsian tidak terlalu bagus. Di Aceh, misalnya, ada yang tinggal di tenda yang tidak jauh dari pantai," kata Bojovic.
Tempat sementara seperti itu menyulitkan upaya UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Migrasi (IOM) memperbaiki layanan buat pengungsi. Tiadanya kepastian tentang berapa lama penampungan itu bisa ditinggali membuat mereka tak leluasa meningkatkan fasilitas di lokasi tersebut karena harus mempertanggungjawabkan semua penggunaan dana kepada para donor.
Tempat penampungan sementara etnis Rohingya, di Nangroe Aceh Darussalam, 3 Oktober 2024. Tempo/Dian Yuliastuti
Di Pekanbaru, Riau, kegamangan mengenai penyediaan penampungan juga terlihat. Daerah ini memiliki delapan akomodasi untuk pengungsi yang cukup memadai berupa wisma, hotel, rumah penampungan, dan tempat kos. Di sana ditampung 965 pengungsi, termasuk 296 dari komunitas Rohingya. Tapi tempat tersebut tak lagi cukup.
Pengungsi Rohingya baru terus berdatangan. Ada sekitar 470 orang yang tiba sejak pertengahan 2024. Mereka awalnya menempati trotoar, lalu pindah ke lahan kosong di dekat Rumah Detensi Imigrasi Pekanbaru. Kini pemilik lahan tersebut sudah menyampaikan keluhan sehingga harus didapatkan lokasi penampungan baru.
Brigadir Jenderal Polisi Adhi Satya Perkasa, pelaksana harian Satuan Tugas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, mengakui masih ada kendala dalam penyediaan lokasi penampungan pengungsi. Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri menetapkan bahwa penyediaan itu merupakan kewajiban pemerintah daerah.
Namun belakangan banyak kepala daerah yang berstatus pejabat sementara sehingga tak leluasa membuat keputusan-keputusan yang bersifat sensitif. "Posisi mereka kian sulit karena ada juga penolakan-penolakan dari masyarakat," ucapnya pada Rabu, 25 September 2024.
Untuk memperbaiki kondisi ini, Adhi melanjutkan, peraturan presiden tentang pengungsi perlu direvisi. Salah satu usulan perubahannya adalah lebih mengedepankan peran lembaga imigrasi dalam penanganan awal pengungsi, yakni dengan memodifikasi dan memfungsikan sebagian rumah detensi sebagai tempat penampungan. "Setiap kali ada pengungsi datang, bisa langsung dipindahkan ke sana," ujar Adhi. "Jadi ada kepastian, tidak bingung seperti sekarang."
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat asal Aceh, Nasir Djamil, sepakat Indonesia perlu mensinkronkan dan mengharmonikan peraturan tentang pengungsi. Dia menilai peraturan presiden belum bisa memberi kepastian buat pemerintah daerah. "Karena tidak ada aturan main yang jelas, orang di daerah gamang dan tidak leluasa bergerak," kata politikus Partai Keadilan Sejahtera ini pada Senin, 30 September 2024.
Perubahan lebih besar diserukan Bojovic. Sebagai negara yang tak meratifikasi Konvensi Pengungsi, Indonesia ia anggap telah mengulurkan banyak bantuan dengan menyediakan lokasi penampungan. Namun, dia melanjutkan, perlu usaha lebih banyak agar para pengungsi bisa hidup lebih manusiawi di sana. Hal ini belum terwujud. "Mereka tidak bisa mendapatkan pekerjaan, sementara anak-anak tidak mudah mendapatkan pendidikan," tuturnya.
Bojovic mengatakan Indonesia perlu lebih serius memikirkan kebijakan inklusif buat pengungsi. Idealnya, para pengungsi diintegrasikan ke sistem pendidikan, kesehatan, pencatatan sipil, sosial, dan peradilan. "Itulah tujuan kami dan rasanya dapat dilakukan Indonesia,” ujarnya.
Adhi Satya Perkasa mengatakan usul mengintegrasikan pengungsi ke sistem di Indonesia sulit terlaksana. Sebagai negara yang belum meratifikasi Konvensi Pengungsi, Indonesia tidak terikat oleh kewajiban itu. Apalagi di dalam negeri angka kemiskinan masih cukup tinggi dan lapangan kerja pun terbatas. “Memberikan kesempatan kerja kepada para pengungsi akan memicu kecemburuan sosial,” katanya.
•••
TANPA solusi yang memadai, urusan pengungsi dapat menjadi bom waktu. Laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa mengungkapkan bahwa 120 juta orang—termasuk 1,1 juta warga Rohingya—terpaksa mengungsi karena konflik dan kekerasan pada 2024. Angka ini merupakan rekor tertinggi, yang mewakili 1,5 persen populasi dunia.
Emily Bojovic yakin angka-angka itu tak akan segera berkurang. Pada tahun-tahun belakangan, misalnya, muncul perang di Ukraina dan Timur Tengah. Ketika pengungsi lama masih berkutat dengan beragam masalah, pengungsi baru bermunculan. Bila tak diberi peluang untuk mandiri, mereka akan terus bergantung pada bantuan. Menurut dia, kondisi ini merisaukan. “Kebutuhannya sangat besar dan itu tidak berkelanjutan.”
Friski Riana, Savero Aristia Wienanto, Annisa Febiola, dan Anggun R. Alifah dari Pekanbaru berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Usul Perbaikan dari Tenda Pengungsian". Artikel ini merupakan bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support.