Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TUJUH tahun lalu, roda kehidupan Abdu Rahman, pengungsi Rohingya 25 tahun, berputar ke titik terendah. Genosida di Myanmar mengubahnya menjadi yatim-piatu. Ayahnya yang bekerja sebagai guru bahasa Arab, Monir Ahmad, juga ibunya, meninggal pada 2017.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ketika itu ia masih duduk di sekolah menengah di Maungdaw. "Saya terpaksa mengungsi ke Bangladesh bersama penduduk desa," kata Abdu saat ditemui di kamp pengungsian di Gedung Mina Raya, Gampong Leun Tanjung, Pidie, Aceh, Kamis, 3 Oktober 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di kamp pengungsian Cox's Bazar, Bangladesh, kehidupannya tak menjadi lebih baik. Situasi kamp amat padat. Kriminalitas merajalela. Kekerasan terhadap para pengungsi menjadi pemandangan sehari-hari. "Masa depan benar-benar suram," ucapnya. Abdu akhirnya memutuskan kabur dari Bangladesh. Tekadnya kian bulat setelah tiga adiknya, dua perempuan dan satu laki-laki, tewas dalam kebakaran di kamp.
Ia pergi membawa adik perempuannya menggunakan jasa penyelundup menuju Aceh, awal November 2023. Mereka membayar Rp 14 juta per orang dan harus mengarungi lautan selama 17 hari. Perjalanan itu sangat mengerikan. Para penyelundup berlaku amat buruk, kerap memukuli dan tak memberi mereka makan.
Setelah seminggu di laut, bekal makanan dan air mereka habis. Mereka menunggu berhari-hari hingga hujan turun untuk mendapatkan air minum. “Ketika mencapai Laut Andaman, kami diterjang badai dan hujan lebat yang mengerikan. Kami hampir mati," tutur Abdu.
Keadaan tak kunjung membaik. Perahu mereka berhenti di tengah lautan selama berhari-hari karena kehabisan bahan bakar. Seorang perempuan dalam rombongan itu meninggal di dalam perahu karena kekurangan air.
Untungnya, perahu bisa jalan kembali karena mendapat bahan bakar. "Akhirnya kami mendarat di Aceh pada 19 November 2023," ujarnya. Di Aceh, meski tinggal di tenda pengungsian yang penuh sesak, Abdu merasa lebih aman.
Abdu berbakat menulis. Selama di Cox's Bazaar, ia menghasilkan dua buku puisi yang berisi kisahnya sebagai pengungsi. Buku pertama berjudul Rohingya Odyssey, diterbitkan oleh Amazon pada September 2023. Buku Warrior's Verse diterbitkan dua bulan kemudian.
Abdu bermimpi mendapatkan pendidikan tinggi. Ia ingin menjadi aktivis hak asasi manusia dan memperjuangkan hak-hak orang Rohingya yang terpinggirkan. Ia kini mengisi hari-hari di Aceh dengan mengajarkan bahasa Inggris kepada anak-anak pengungsi. Ia juga menerima beasiswa bidang ilmu kesehatan dari University of the People di Amerika Serikat dengan mengikuti kuliah jarak jauh.
Pengungsi Rohingya berjalan di pasar di kamp pengungsi, di Cox's Bazar, Bangladesh, 28 September 2024. REUTERS/Mohammad Ponir Hossain
Bertahun-tahun tinggal di pengungsian, Abdu masih menantikan kesempatan masuk program pemukiman kembali (resettlement) ke negara ketiga. “Saya telah melalui begitu banyak hal, yang saya inginkan hanyalah kesempatan hidup dengan damai dan aman," katanya.
Abdu Rahman adalah satu dari ribuan pengungsi Rohingya yang berada di Indonesia. Mereka kehilangan kewarganegaraan setelah pemerintah Myanmar mengeluarkan undang-undang kewarganegaraan pada 1982.
Saat ini lebih dari sejuta orang Rohingya menjadi pengungsi di seluruh dunia. Mereka tersebar di banyak negara. Dari jumlah itu, pencari suaka terbanyak berada di Bangladesh, mencapai 1 juta orang. Di Malaysia, jumlah mereka 109.700 orang, di Thailand 500, dan di India 22.500.
Komisioner Tinggi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pengungsi (UNHCR) mencatat orang-orang Rohingya datang ke Indonesia sejak 2009. Hingga Agustus 2024, jumlah mereka mencapai 2.323 orang. Jumlah itu meningkat dari 2023 (2.288) dan 2022 (574). Keberadaan mereka tersebar dari Aceh, Sumatera Utara, Riau, hingga Sulawesi Selatan.
•••
TERDAPAT dua jenis negara yang menjadi tempat pengungsian. Pertama, negara yang sudah meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951 dan Protokol 1967. Negara seperti ini menjadi tujuan akhir para pengungsi lewat program resettlement. Ketika diterima di negara tersebut, pengungsi dijamin penuh hak-haknya. Negara jenis kedua, yang tak meratifikasi Konvensi Pengungsi, biasanya menjadi persinggahan saja, seperti Indonesia.
Meski belum meratifikasi konvensi tersebut, Indonesia tak bisa menolak pengungsi karena terikat prinsip non-refoulement yang menjadi bagian dari hukum internasional. Prinsip ini melarang suatu negara menolak atau mengembalikan pengungsi secara paksa ke wilayah yang berbahaya. Namun status itu membuat Indonesia tak memiliki kewajiban memenuhi semua hak pengungsi. Hal itu juga tecermin dalam Peraturan Presiden Nomor 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri.
Ada pembagian peran dalam peraturan presiden ini. Indonesia, melalui pemerintah daerah, berkewajiban menyediakan lokasi penampungan. Sedangkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari para pengungsi ditangani lembaga Perserikatan Bangsa-Bangsa, yakni UNHCR dan Organisasi Internasional untuk Imigrasi (IOM), juga lembaga nonpemerintah.
Di tengah pembagian peran ini, pemenuhan kewajiban menyediakan penampungan layak bagi pengungsi masih menjadi pekerjaan rumah bagi Indonesia. Di Pekanbaru, Riau, kegamangan itu terlihat. Di sana ada delapan akomodasi yang cukup memadai buat pengungsi berupa wisma, hotel, dan rumah penampungan. Di lokasi-lokasi ini ditampung 965 pengungsi, termasuk 296 orang Rohingya. Tapi penampungan itu tak cukup lagi.
Sejak pertengahan 2024, sekitar 470 pengungsi Rohingya baru berdatangan. Sempat menempati trotoar, mereka akhirnya mendirikan tenda-tenda di lahan kosong dekat Rumah Detensi Imigrasi Pekanbaru. Kini pemilik lahan itu mengeluh sehingga mereka harus segera dipindahkan. “Kami sudah berkoordinasi dengan bagian aset daerah untuk memberikan gambaran aset pemerintah, baik lahan kosong maupun bangunan yang tidak terpakai, untuk bisa dipakai oleh pengungsi Rohingya,” ucap Rio Okto Edward, Kepala Seksi Bidang Kewaspadaan Nasional dan Penanganan Konflik Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Kesbangpol) Pekanbaru, Jumat, 11 Oktober 2024
Di Aceh, masalah juga bermunculan. Aksi penolakan terhadap kehadiran penampungan kerap terjadi. Pada akhir 2023, sejumlah pengungsi di Banda Aceh bahkan mengalami persekusi. Ketika itu narasi kebencian dan berita-berita bohong tentang mereka banyak beredar, diduga berkaitan dengan upaya menangguk simpati dan suara menjelang pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah.
Mahasiswa bersama polisi menaikan sejumlah imigran etnis Rohingya ke truk saat berlangsung pemindahan paksa di penampungan sementara gedung Balai Meuseuraya Aceh (BMA), Banda Aceh, Aceh, Desember 2023. Antara/Ampelsa
Persekusi seperti itu kini tak pernah muncul lagi. Namun penolakan terhadap penampungan pengungsi masih ada sehingga pemerintah daerah sulit menemukan lokasi ideal. Brigadir Jenderal Polisi Adhi Satya Perkasa, pelaksana harian Satuan Tugas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri, membenarkan informasi itu. Ia bahkan melihat sendiri adanya fasilitas yang kosong dan bagus untuk menampung pengungsi tapi tak bisa dipakai karena penolakan masyarakat.
Akibat kondisi ini, banyak penampungan pengungsi yang tak memadai. Dalam wawancara, Rabu, 25 September 2024, Adhi mengungkapkan keprihatinannya atas adanya dua lokasi penampungan di Aceh berupa perkemahan di pantai sehingga penghuninya selalu terancam gangguan angin kencang dan air pasang. Namun, berdasarkan info terbaru, pengungsi di tenda-tenda di Pantai Kuala Parek, Sungai Raya, dan Kulee, Pidie, itu sudah dipindahkan ke lokasi lain yang jauh dari pinggir laut.
Di Lhokseumawe, satuan tugas penanganan pengungsi setempat pun harus segera mencari lokasi penampungan baru. Kepala Badan Kesbangpol Lhokseumawe Zulkifli mengungkapkan, pengungsi Rohingya yang berada di eks gedung Imigrasi di Desa Ulee Blang Mane harus segera dipindahkan akhir bulan ini karena bangunan itu akan direnovasi. “Belum diketahui di mana para pengungsi Rohingya itu nanti ditempatkan,” katanya, Jumat, 4 Oktober 2024.
•••
PENGUNGSI luar negeri yang berada di penampungan menjadi tanggungan UNHCR dan IOM. Dua badan PBB ini berkewajiban membiayai, memfasilitasi, dan mencarikan solusi jangka panjang bagi para pengungsi di negara penampung sementara.
Stefano Bresaola, Koordinator Program Disaster Climate Resilience IOM Indonesia, mengatakan mereka membantu pengungsi dengan penyediaan tempat tinggal, perlindungan, layanan kesehatan, barang-barang selain makanan, dan dukungan psikososial. "Bantuan yang diberikan oleh IOM berbeda-beda, tergantung kebutuhannya," ujarnya dalam wawancara daring, Rabu, 25 September 2024.
UNHCR juga berupaya memberikan bantuan pendidikan. Sebagian anak-anak pengungsi kini sudah bisa memperoleh pendidikan di sejumlah sekolah negeri. "Saat ini lebih dari 700 anak terdaftar di sekolah nasional yang terakreditasi," tutur Emily Bojovic, Petugas Perlindungan Senior UNHCR Indonesia, Rabu, 2 Oktober 2024.
Sayangnya, banyak anak pengungsi Rohingya di Aceh yang tidak bisa bersekolah. Mereka terhambat masalah bahasa. Solusinya, mereka diberi pendidikan informal dengan diajari materi seperti bahasa Indonesia, bahasa Inggris, serta keterampilan menulis dan membaca oleh guru sukarela. Mereka diharapkan dapat memiliki bekal agar bisa masuk ke sekolah formal.
Selain diberi pendidikan, pengungsi beroleh akses pengobatan gratis di fasilitas layanan kesehatan dari pusat kesehatan masyarakat hingga rumah sakit daerah. "Jika ada pasien yang perlu dirujuk ke rumah sakit, kami akan diberi tahu dan mencari donor untuk membiayai pengobatan mereka," kata Mitra Salima Suryono, Petugas Komunikasi UNHCR Indonesia, Rabu, 2 Oktober 2024. Namun mereka tidak diizinkan bekerja.
•••
SEMUA pengungsi luar negeri di Indonesia berstatus sementara. UNHCR terus mencarikan solusi jangka panjang buat mereka berupa pemukiman kembali di negara ketiga ataupun pemulangan ke negara asal (repatriasi). Sayangnya, kedua solusi ini sama-sama tidak menjanjikan kepastian buat pengungsi Rohingya.
Kuota yang ditawarkan oleh negara-negara ketiga untuk pemukiman kembali sangat kecil, kurang dari 1 persen dibanding jumlah pengungsi di seluruh dunia. Kesempatan hanya terbuka bagi mereka yang memiliki keterampilan yang dibutuhkan oleh negara-negara tersebut.
Kecilnya peluang itu membuat para pengungsi kerap kehilangan harapan. “Bagian yang menyedihkan dari menjadi pengungsi adalah mereka tidak benar-benar tahu bagaimana memperkirakan masa depan," ucap Mitra Salima. Menurut staf UNHCR ini, waktu tunggu untuk pemukiman kembali berbeda bagi setiap orang. “Tentu saja tujuan kami adalah menemukan solusi untuk para pengungsi, tapi tak semua akan menemukan jawabannya di negara ketiga.”
Petugas melakukan pendataan terhadap imigran Rohingya yang baru terdampar di Pidie, Aceh, Desember 2023. Antara/Ampelsa
Semua alternatif untuk resettlement dijajaki UNHCR, termasuk lewat mobilisasi tenaga kerja atau pendidikan. “Anda bisa mendapatkan pekerjaan di negara lain dan bisa pergi ke sana bersama keluarga sehingga akhirnya bisa tinggal di sana. Atau juga melalui beasiswa pendidikan, hanya, jumlahnya sangat kecil," tutur Mitra.
Kementerian Luar Negeri juga berusaha membuka pintu lebih luas untuk pemukiman kembali para pengungsi. Mereka aktif melakukan diplomasi bilateral dengan negara yang meratifikasi Konvensi 1951 ataupun secara multilateral di berbagai forum. Menteri Luar Negeri Retno Marsudi juga telah bertemu beberapa kali dengan UNHCR. “Menlu mendesak negara pihak Konvensi mulai menerima resettlement sehingga beban tidak bergeser ke negara lain,” kata juru bicara Kementerian Luar Negeri, Rolliansyah Soemirat, Selasa, 8 Oktober 2024.
Sementara resettlement menyediakan ruang terbatas, peluang repatriasi malah bisa dikatakan nol. Pemulangan pengungsi Rohingya ke Myanmar saat ini tak mungkin dilakukan. Menurut Emily Bojovic, orang Rohingya terbentur hambatan karena pemerintah Myanmar tidak menganggap mereka sebagai warga negara. “Saat ini saya pikir sebagian besar tidak akan dapat kembali karena kondisinya akan membahayakan nyawa mereka," ucapnya.
Rolliansyah menjelaskan, repatriasi atau pemulangan warga Rohingya ke Myanmar akan ditentukan oleh kondisi politik di negara asal mereka itu. Demokrasi dan stabilitas di negeri itu akan menjadi kunci. "Karena itu, Indonesia secara konsisten terus mendorong penyelesaian krisis di Myanmar, khususnya melalui Five Point Consensus ASEAN," ujarnya.
Lima poin konsensus itu disepakati pada 24 April 2021 dalam pertemuan pemimpin ASEAN di Jakarta. Isinya antara lain menyerukan penghentian kekerasan di Myanmar dan mendorong dialog konstruktif untuk mencari solusi damai. Namun, tiga tahun berlalu, solusi damai itu belum juga terwujud.
•••
SELAMA belum bisa direlokasi ke negara ketiga ataupun direpatriasi, para pengungsi Rohingya akan ditampung di Indonesia. Tak ada kepastian hingga kapan. Pada saat sama, pengungsi-pengungsi baru berpotensi kembali datang membanjir akhir tahun ini, seperti pada tahun lalu.
Satuan Tugas Penanganan Pengungsi dari Luar Negeri sudah melihat potensi itu. Terjadinya eksodus baru dari Myanmar belakangan ini akan memberi andil. Faktor cuaca juga berperan. Perjalanan dari Bangladesh ke Indonesia lebih gampang pada akhir tahun. Para pengungsi biasanya akan menuju India, kemudian ke Kepulauan Andaman. “Kepulauan ini ada di utara Aceh. Setiap akhir tahun anginnya menuju Aceh. Jadi tidak perlu pakai mesin saja kapal itu pasti akan sampai di Indonesia,” kata Adhi Satya Perkasa.
Satgas sudah berkoordinasi dengan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut untuk menggiatkan patroli mencegah kedatangan pengungsi. “Kami bersiap-siap. Jangan sampai mereka nanti masuk semua ke sini,” ujarnya.
Namun pencegahan itu tak mudah. Biaya patroli sangat mahal. Mereka juga akan beradu kuat dan mesti bersabar menghadapi para penyelundup manusia yang juga terlihat selalu memiliki intelijen bagus. Terbukti, selama ini mereka selalu bisa masuk ketika kapal patroli sudah tak ada. Adhi melihat diperlukan kerja sama dan diplomasi dengan negara-negara lain, terutama Bangladesh, India, dan Malaysia. “Ini kan masalah bersama,” tuturnya.
Kementerian Luar Negeri, menurut Rolliansyah Soemirat, sudah bergerak. Kementerian terus berkoordinasi dengan UNHCR dan otoritas Bangladesh guna memperketat penjagaan agar tidak ada pengungsi yang meninggalkan selter untuk menuju negara ketiga, baik secara sendiri maupun difasilitasi sindikat tindak pidana perdagangan orang (TPPO). “Kami juga melakukan penegakan hukum terhadap sindikat TPPO yang membawa para pengungsi ini sebagai efek jera,” katanya.
Mitra Tarigan, Dian Yuliastuti, Savero Aristia Wienanto, Anggun R Alifah dari Pekanbaru, dan Putri Zuhra Furna dari Aceh berkontribusi dalam penulisan artikel ini. Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Derita Rohingya Tak Berujung". Artikel ini bagian dari jurnalisme konstruktif yang didukung International Media Support