Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Delegasi Indonesia dan dunia akan menghadiri COP Keanekaragaman Hayati di Cali, Kolombia, 21 Oktober-1 November 2024.
Ada keraguan bahwa Indonesia bisa mengikuti komitmen COP Biodiversitas untuk konservasi 30 persen daratan dan 30 persen perairan.
Pemerintah perlu meninjau ulang kebijakan pembangunan ekonomi dan regulasi yang mempercepat laju hilangnya hutan dan alih fungsi lahan.
MESKI tidak sepopuler Konferensi Perubahan Iklim, Konferensi Keanekaragaman Hayati oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki urgensi yang sama pentingnya dalam menyepakati cara-cara menjaga masa depan bumi. Dunia saat ini menghadapi tiga krisis besar: perubahan iklim, polusi, dan hilangnya keanekaragaman hayati. Ketiganya saling terkait dan memerlukan penanganan terpadu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pemerintah Indonesia saat ini masih berkutat dengan dampak krisis iklim. Itu pun banyak kebijakan pemerintah yang justru bertolak belakang dengan target-target global untuk mencegah pemanasan bumi. Perekonomian Indonesia masih sangat bergantung pada industri ekstraktif yang memicu deforestasi. Alih-alih memperbaiki kondisi di dalam negeri, Indonesia tampak lebih berfokus pada diplomasi dan usulan di forum internasional.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Delegasi Indonesia akan menghadiri Conference of the Parties to the Convention on Biological Diversity Ke-16 di Cali, Kolombia, pada 21 Oktober-1 November 2024. Namun, ketimbang hanya berkoar-koar di forum internasional, delegasi Indonesia seharusnya lebih introspektif terhadap pelaksanaan kesepakatan konferensi yang sama dua tahun lalu di Kunming-Montreal, yang bertujuan melindungi 30 persen ekosistem daratan dan 30 persen ekosistem perairan.
Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia 2025-2045, yang dibawa oleh delegasi Indonesia, mengungkap bahwa baru 26,7 persen wilayah daratan dan 8,9 persen lautan yang masuk kawasan dilindungi. Angka ini masih jauh dari komitmen yang telah disepakati secara global.
Krisis biodiversitas diperburuk oleh aktivitas manusia. Deforestasi dan polusi mempercepat kepunahan massal spesies di seluruh dunia. Sekitar 1 juta spesies telah punah dan 25 persen flora serta fauna terancam menghilang akibat meningkatnya polusi dan pemanasan global. Saat ini 15.336 tumbuhan, satwa, dan fungi di Indonesia juga masuk daftar spesies terancam menurut Uni Internasional untuk Konservasi Alam (IUCN).
Masalahnya, selama 10 tahun pemerintahan Joko Widodo, kebijakan yang memprioritaskan industri ekstraktif mempercepat laju deforestasi. Hal ini tidak hanya berkontribusi pada emisi gas rumah kaca, tapi juga merusak ekosistem vital yang seharusnya dilindungi. Data Forest Watch Indonesia menunjukkan luas deforestasi sebenarnya bisa mencapai lebih dari 1 juta hektare per tahun—angka yang jauh lebih besar dibanding laporan pemerintah yang hanya mengakui sekitar 300 ribu hektare per tahun.
Di forum konferensi biodiversitas, Indonesia tentu dapat mengangkat isu penting terkait dengan dukungan dana internasional untuk pemeliharaan biodiversitas, yang diperkirakan mencapai setidaknya US$ 200 miliar per tahun. Namun hal yang lebih penting adalah langkah nyata di dalam negeri. Tanpa peninjauan ulang kebijakan pembangunan ekonomi yang merusak lingkungan, segala upaya di tingkat internasional akan sia-sia.
Harapan untuk perubahan kebijakan tampaknya masih jauh dari kenyataan. Prabowo Subianto, yang dilantik sebagai presiden pada 20 Oktober 2024, sudah menegaskan bahwa ia tidak akan mundur dari tiga hal: makan bergizi gratis, penghiliran tambang dan mineral, serta swasembada pangan. Salah satu manifestasinya adalah pembukaan hutan Papua buat proyek food estate yang justru menjauhkan Indonesia dari komitmen global untuk melindungi keanekaragaman hayati dan melawan perubahan iklim.