Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
MATA Marjuni Haba nanar memandang sehamparan lahan di depannya yang baru digaru alat berat. Tak lama lagi di lahan itu akan ditanami tebu seperti lahan sekelilingnya di Desa Tanabite, Kecamatan Lantari Jaya, Bombana. “Ini tanah saya, sumber hidup saya,” kata laki-laki 57 tahun itu.
Tebu itu bukan milik Marjuni, melainkan ditanam oleh PT Jhonlin Batu Mandiri, yang datang ke desa di Sulawesi Tenggara tersebut pada Oktober 2017. Marjuni mengaku punya 328 hektare lahan yang ia jadikan peternakan dan ladang penggembalaan 68 sapi. Ia membeli lahan seluas itu dari kerabatnya pada 2012.
Menurut Marjuni, penduduk membeli lahan-lahan di Tanabite dengan diketahui pamong desa untuk digarap menjadi sawah, kebun, atau peternakan. Ia menunjukkan dokumen jual-beli tanahnya lengkap dengan cap dan tanda tangan kepala desa. Di Tanabite, penguasaan 328 hektare lahan oleh Marjuni itu tak terlalu besar jika dibandingkan dengan tanah penduduk lain, yang antara lain mengklaim punya hingga 1.000 hektare lahan.
Dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Bombana 2013-2030, lahan di Tanabite dan desa-desa sekitarnya memang diperuntukkan bagi ladang penggembalaan dan persawahan. Dalam Peraturan Daerah Nomor 20 Tahun 2013 yang memuat ketentuan tata ruang itu, nama ladang penggembalaan tersebut adalah Balanteo dengan luas 11 ribu hektare.
Area tersebut masuk wilayah hutan produksi yang dikelola Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi (KPHP) Tina Orima. Total luasnya 150 ribu hektare. Luas kebun tebu PT Jhonlin menurut izin 20 ribu hektare. Lahan yang tak digarap peternak dan gembala berupa alang-alang, yang kini sudah ditanami tebu. PT Jhonlin sudah membeli konsesi perusahaan tambang emas di sekitarnya untuk lokasi pabrik gula.
PT Jhonlin mengklaim masuk wilayah itu karena sudah menjalin kerja sama dengan KPHP Tina Orima. Dalam perjanjian, lahan-lahan di Tanabite, termasuk yang diklaim Marjuni, berstatus hutan produksi. “Sesuai dengan izin, kami akan menjadikannya ladang tebu,” kata Direktur PT Jhonlin Batu Mandiri Mochamad Arif Efendi.
Di ladang Balanteo, ada 19 kelompok peternak Sumber Utama yang memiliki 3.454 sapi. Keberadaan mereka disahkan pada 2012 lewat keputusan Bupati Bombana Tafdil nomor 392 tentang penetapan kawasan penggembalaan ternak. “Saya memang keluarkan surat keputusan itu,” ucap Tafdil. “Tapi bukan izin.”
Menurut Tafdil, status lahan seluas 20 ribu hektare itu adalah hutan produksi. Karena itu, kendati mengesahkan ladang penggembalaan, ia juga mengizinkan PT Jhonlin masuk ke sana ketika perusahaan tersebut hendak membuka kebun tebu. Tafdil merasa pemberian izin kepada PT Jhonlin tak menyalahi tata ruang wilayah Bombana.
Dengan izin Bupati Tafdil itu, PT Jhonlin meminta penduduk dan peternak meninggalkan area tersebut. Marjuni Haba dan Bahari, petani lain, diminta memindahkan rumah panggung dan kandang sapinya ke desa lain dalam lima hari. Dibantu para tetangga, Bahari menggotong rumah kayunya sejauh 3 kilometer ke Desa Watu-Watu. “Jhonlin berjanji memberikan ganti rugi, tapi belum cair sampai sekarang,” ujar Bahari, 59 tahun, akhir Agustus lalu.
Nasib Bahari lebih mujur ketimbang Ady Tandjeng. Laki-laki 35 tahun yang baru pindah dari Bone, Sulawesi Selatan, ke Tanabite setahun lalu itu harus memboyong istri dan dua anaknya ke Watu-Watu karena rumah dan sawahnya masuk wilayah konsesi PT Jhonlin. Ia punya sawah 16 hektare yang dibeli Rp 560 juta dari beberapa orang, termasuk mertuanya.
Dari akta jual-beli tanah yang diperlihatkan kepada Tempo, transaksi itu disahkan Kepala Desa Musakkir. Begitu PT Jhonlin masuk ke Tanabite, Musakkir membuat surat edaran yang menyebutkan transaksi jual-beli tanah penduduk dibatalkan. Alasannya, status lahan tersebut hutan produksi terbatas milik negara. “Jika tahu status tanah itu, saya tak akan membelinya,” tutur Ady.
Musakkir tak menyangkal kabar bahwa ia telah mengeluarkan surat pembatalan jual-beli lahan penduduk. Namun ia membantah jika pembatalan itu dikatakan bertujuan memuluskan penguasaan lahan oleh PT Jhonlin. “Saya tidak mendapat apa-apa dari Jhonlin,” katanya. “Saya cuma mendapat debu.”
Setelah pembatalan transaksi itu, Ady mengungkapkan, pejabat KPHP Tina Orima datang membujuk dia agar mau menyingkir dengan ganti rugi Rp 10 juta. Ady bertahan. Tapi pertahanannya hanya kuat setahun. Ia menyerah setelah Kepala Urusan Pembinaan Operasional Intelijen dan Keamanan Kepolisian Resor Bombana, Inspektur Dua Suis Mail, datang mengusirnya.
Suis Mail, menurut Ady, mengamuk di depan rumahnya. Ia tak melawan karena Suis membawa serta puluhan polisi. Ia pasrah ketika alat berat PT Jhonlin menggusur halaman rumah dan sawahnya. Dari percakapan yang direkam Ady, para polisi itu mengaku disuruh PT Jhonlin mengusir Ady. Suis menyangkal informasi bahwa ia mengintimidasi penduduk agar pindah. “Saya tidak pernah melakukannya,” ujarnya melalui pesan WhatsApp. Adapun Mochamad Arif hanya menjawab bahwa urusan pemindahan masyarakat adalah “wewenang KPHP”.
Marjuni Haba dan Bahari, petani lain, diminta memindahkan rumah panggung dan kandang sapinya ke desa lain dalam lima hari. “Jhonlin berjanji memberikan ganti rugi, tapi belum cair sampai sekarang,” ujar Bahari, 59 tahun, akhir Agustus lalu.
Kepala Kepolisian Resor Bombana Andi Adnan Syafruddin mengatakan sampai saat ini tidak ada penduduk yang melapor bahwa ada polisi yang mengintimidasi warga agar pindah rumah. “Berarti tidak ada yang menekan penduduk,” ucapnya.
Syafruddin tak tahu bahwa laporan itu sudah dibuat warga. Setidaknya Inspektorat Pengawasan Umum Kepolisian RI telah memeriksa Rustam, Kepala KPHP Tina Orima, untuk mengkonfirmasi intimidasi polisi terhadap penduduk di wilayah konsesi PT Jhonlin. “Saya bilang ke polisi, seharusnya masyarakat ditangkap karena masuk ke kawasan hutan tanpa izin,” katanya.
Selain diperiksa Inspektorat Pengawasan Umum Polri, Rustam dipanggil Ombuds-man, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, bahkan Komisi Pemberantasan Korupsi. Beberapa penduduk Watu-Watu dan desa-desa lain memang melaporkan intimidasi dan pemaksaan tersebut ke tiga lembaga itu. “Kami masih mendalaminya,” tutur Alamsyah Saragih, komisioner Ombudsman.
Pemilik PT Jhonlin Batu Mandiri, Andi Syamsuddin Arsyad, yang populer sebagai Haji Isam, mengaku tak ambil pusing dengan protes masyarakat. Seperti Rustam, Isam mengatakan penduduk di desa-desa di sekitar area konsesi perusahaannya tak punya izin masuk ke kawasan hutan produksi Tina Orima. “Cek legalitas mereka,” katanya. “Soal intimidasi, laporkan saja ke Divisi Profesi dan Pengamanan.”
Sebetulnya bukan hanya masyarakat yang terusir dari desa mereka. Sejumlah pejabat di kantor Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara setidaknya juga menyebut Bosowa Corporation, yang lebih dulu mengajukan permohonan izin menggarap ladang penggembalaan dan peternakan. “Tapi sudah diambil orang, Bro,” ucap Salman Dianda Anwar, penanggung jawab proyek Bosowa, perusahaan keluarga Wakil Presiden Jusuf Kalla.
Pejabat Dinas Kehutanan Sulawesi Tenggara menambahkan satu perusahaan lain, PT Wahana Unggul Energi, yang memohon izin membangun kebun singkong untuk bioetanol. Pemilik PT Wahana membenarkan informasi itu. Panjang-lebar ia menceritakan persaingannya dengan PT Jhonlin untuk mendapatkan izin menggarap lahan hingga akhirnya tersisih. Namun ia menolak nama dan ceritanya dituliskan.
Rustam menyanggah kabar bahwa ada perusahaan lain yang mengincar ladang penggembalaan itu. Menurut dia, hanya PT Jhonlin perusahaan yang meminta izin memanfaatkan hutan produksi terbatas di wilayahnya. “Perusahaan lain saya tak tahu,” katanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Terusir dari Ladang Penggembalaan"