Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
NAMANYA lumayan mentereng: jeda kemanusiaan Papua. Apakah kesepakatan terbaru di Jenewa, Swiss, itu bisa mengakhiri konflik Papua yang telah berlangsung lebih dari setengah abad? Tunggu dulu.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Maklumat yang ditandatangani di Jenewa pada 11 November 2022 itu berisi tiga poin: bantuan kemanusiaan kepada penduduk sipil dan pengungsi di wilayah konflik, pemenuhan hak dasar tahanan dan narapidana, serta penghentian segala bentuk kekerasan. Poin-poin kesepakatan tersebut semuanya penting.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masalahnya, kesepakatan itu hanya ditandatangani perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), United Liberation Movement for West Papua, Majelis Rakyat Papua, dan Wali Gereja Papua. Lalu di mana Tentara Nasional Indonesia/Kepolisian RI yang selalu berada di pusaran konflik Papua? Tak ada. Bahkan pemerintah Indonesia maju-mundur menerima isi maklumat itu.
Penyelesaian konflik di Papua mesti mempertemukan semua pihak yang kerap bertikai. Tanpa pertemuan para aktor kunci yang terlibat konflik, niat baik jeda kemanusiaan Papua bisa berakhir seperti Perjanjian New York 15 Agustus 1962. Perundingan pemerintah Indonesia dan Belanda yang ditengahi Amerika Serikat itu tak menampung suara-suara orang Papua tentang nasib dan masa depan mereka setelah Belanda angkat kaki.
Selama 61 tahun, sejak Belanda menyerahkan Irian Barat melalui perundingan berbelit, masyarakat Papua terus menuntut keadilan. Problem kedaulatan yang tak selesai di meja perundingan kemudian diperuncing oleh eksploitasi sumber daya alam Papua yang berkepanjangan. Sementara eksploitasi alam Papua untuk kepentingan Jakarta terus berjalan, kekerasan dan pelanggaran HAM terus berulang.
Spiral kekerasan dan pelanggaran HAM tersebut pada gilirannya memperkuat tuntutan kemerdekaan dari sebagian orang Papua. Celakanya, alih-alih mengatasi akar masalah—dengan mengadili pelanggar hukum dan HAM—Jakarta selalu memadamkan tuntutan kemerdekaan dengan pendekatan keamanan.
Dalam perundingan terakhir di Jenewa, posisi pemerintah Indonesia seolah-olah hanya menerima laporan. Tak ada wakil tentara, polisi, dan organ-organ negara yang berhadapan secara langsung dengan orang Papua. Siapa yang menjadi otoritas untuk menegakkan jeda kemanusiaan saja tak jelas.
Ketidakjelasan ini bisa mendorong para aktor melempar tanggung jawab menjalankan kesepakatan. Karena itu, Presiden Joko Widodo mesti menunjuk otoritas yang menangani jeda kemanusiaan serta memastikan aparat keamanan mematuhi kesepakatan tersebut. Mumpung ada momentum, Jakarta seharusnya membuka lagi jalan dialog untuk mengakhiri konflik Papua.
Sudah saatnya pemerintah merespons konflik Papua dengan cara-cara yang lebih inklusif. Libatkan semua elemen masyarakat Papua untuk mencari solusi bersama. Untuk itu, Jakarta harus mengubah cara pandang terhadap konflik Papua. Stop pelabelan kelompok separatis apalagi teroris. Hentikan penggunaan senjata untuk membungkam kebebasan berpendapat orang Papua.
Tanpa merevisi cara pandang terhadap konflik Papua, pemerintah Indonesia selamanya akan keliru menyodorkan solusi. Kesepakatan jeda kemanusiaan Papua yang dihasilkan di Jenewa pun bisa-bisa hanya memberi harapan palsu.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo