Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KASUS gagal ginjal akut pada anak yang diduga disebabkan oleh obat sirop yang tercemar etilena glikol dan dietilena glikol pada September lalu mendorong Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) membentuk tim pencari fakta (TPF). Tim yang dibentuk pada Jumat, 9 November lalu, itu bertugas mengusut dugaan keracunan obat yang menewaskan setidaknya 202 orang tersebut.
Kepala BPKN Rizal E. Halim mengatakan kasus ini menunjukkan sistem pelindungan bagi konsumen yang lemah. Kepada wartawan Tempo, Hussein Abri Yusuf Muda dan Egi Adyatama, Rizal mengatakan harus ada perubahan besar dalam regulasi pelindungan konsumen. Berikut ini wawancara via sambungan telepon pada Jumat, 16 Desember lalu.
Apa yang dilakukan TPF?
Kami mengumpulkan data korban secara mandiri. Syukur kami bisa mengumpulkan data pasien. Kami mendapat sekitar 60 korban, tapi yang lengkap datanya hanya 22. Ternyata mudah karena korban dalam situasi psikologis yang kurang kondusif, tertekan. Bukan hanya TPF yang menghubungi mereka. Ada pula kelompok advokat yang menghubungi mereka, menawarkan berbagai hal, juga lembaga swadaya masyarakat.
Menghambat kerja TPF?
Pertama karena kami tak bisa mengakses sama sekali data korban. Berdasarkan hukum dan regulasi, data-data pasien sifatnya tertutup. Kami sudah minta ke Kementerian Kesehatan, jawabannya hanya kepolisian yang bisa mendapat data korban.
Apa rekomendasi TPF agar kasus seperti ini tak terulang?
Pertama, perlu ada ruang yang lebih baik bagi lembaga pelindungan konsumen yang dibentuk oleh negara agar lebih mandiri dan kokoh. Kedua, kita perlu perbaikan sistem layanan kesehatan dan kefarmasian. Dua sektor ini vital menyangkut kesehatan, keamanan, nyawa masyarakat.
Dua hal itu masih buruk?
Pada kondisi genting harus ada leading sector. Belajar dari kasus ini, ada tumpang-tindih kewenangan sehingga harus ada otoritas di atasnya yang mengambil alih saat terjadi krisis. Maka kita sampaikan harus ada protokol krisis di sektor kesehatan. Kita punya pengalaman yang cukup baik buat kita belajar. Menangani Covid-19 kita masih gamang. Itu contoh yang baik untuk jadi pelajaran. Dua kasus ini sudah cukup bagi kita belajar dan seharusnya kejadian-kejadian seperti ini tidak terulang.
Artinya pelindungan konsumen kita masih lemah?
Sangat lemah. Kasus ini bentuk potret lemahnya sistem pelindungan konsumen nasional. Kerap menelan korban cukup banyak. Ini bukan pertama kali terjadi. Kasus yang masih panas industri keuangan sampai sekarang tak ada pemulihan. Kasus Buvanest Spinal yang tertukar dengan obat asam traneksamat. Ada juga kasus bayi Deborah yang meninggal pada 2019. Memang akhirnya ada yang kena pidana, tapi itu jadi potret buruk pelindungan konsumen kita. Yang dirugikan tetap masyarakat.
Kenapa lemah?
Pertama, regulasinya tumpang-tindih. Kita punya regulasi pelindungan konsumen secara general Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tapi undang-undang itu relatif “banci”. Di situ ada pelindungan konsumen tapi tak ada hak eksekutorial, tak ada sanksi yang tegas. Kedua, di sektor juga ada regulasi yang mengatur pelindungan konsumen. Sektor perhubungan, sektor keuangan, sektor transportasi. Mereka jalan sendiri-sendiri. Seharusnya antarsektor bisa terkoordinasi dengan baik melalui Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 itu. Sekarang masing-masing menjaga sektornya. Itu masalah.
Artinya harus ada revisi regulasi?
Kami berharap ada revisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen yang sekarang sudah masuk Program Legislasi Nasional 2023. Revisi membuat regulasi menjadi lebih komprehensif. Kedua undang-undang itu harus mempertegas hak konsumen masyarakat. Konsumen ini lebih dari jumlah populasi kita yang mencapai sekitar 270 juta jiwa. Sebab, janin-janin yang ada dalam kandungan dihitung sebagai konsumen. Jadi jumlah populasi plus tingkat kelahiran. Karena melindungi lebih dari jumlah populasi, harus ada pelindungan yang maksimal dari negara. Dan itu harus tertuang dalam revisi regulasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo