Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Krisis ekonomi akibat Covid-19 memukul dunia usaha.
Pemerintah akan menerbitkan perpu moratorium kepailitan.
Aturan yang bisa disalahgunakan.
PEMERINTAH harus berhati-hati menerbitkan aturan penghentian sementara (moratorium) gugatan kepailitan dan penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Jika memakai jurus pukul rata, kebijakan tersebut berdampak sangat serius dan berpotensi menimbulkan krisis di masa mendatang. Insentif ini rawan dimanfaatkan oleh debitor nakal yang menggunakan alasan krisis untuk mengemplang utang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di tengah guncangan ekonomi akibat pandemi Covid-19, pemerintah akan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perpu) untuk menggantikan Undang-Undang Kepailitan. Dalam perpu ini akan diatur penghentian gugatan kepailitan dan PKPU selama tiga tahun. Pemerintah memilih perpu dengan alasan ada kondisi darurat yang mengharuskan adanya perubahan regulasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Moratorium kepailitan dan PKPU sebenarnya bisa menjadi solusi untuk mencegah kebangkrutan massal di masa krisis ini. Lantaran arus kas seret, kemampuan perusahaan untuk membayar utang sudah pasti berkurang sehingga posisinya rawan digugat kreditor ke pengadilan. Dengan moratorium ini, pengusaha tak khawatir akan diseret ke pengadilan oleh kreditornya meski tak mampu membayar utang.
Dunia usaha memang memerlukan insentif untuk tetap beroperasi. Moratorium gugatan kepailitan menjadi penting karena Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mengatur syarat yang relatif mudah bagi kreditor untuk membangkrutkan debitornya.
Rentannya persoalan ini tergambar dari data gugatan pailit dan PKPU yang menumpuk di pengadilan niaga. Di awal masa pagebluk tahun lalu, jumlah perkara ini mencapai 1.253 kasus atau dua kali lipat dari 2019 sebanyak 554 gugatan. Hingga Agustus lalu, jumlah gugatan PKPU dan kepailitan mencapai 546 berkas, melampaui total gugatan yang terjadi pada 2019.
Gugatan menimpa perusahaan besar yang menjadi emiten Bursa Efek Indonesia, seperti PT Pan Brothers Tbk, PT Sri Rejeki Isman Tbk, dan PT Ace Hardware Indonesia Tbk. Termasuk juga badan usaha milik negara seperti PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Banyaknya perusahaan besar yang berpotensi dipailitkan bakal berdampak buruk pada perekonomian, mengingat mereka memiliki posisi penting dalam rantai industri, termasuk dalam penyediaan lapangan kerja.
Persoalannya, moratorium kepailitan dan PKPU memiliki risiko besar, terutama jika pemerintah menerapkannya secara seluruh atau tanpa syarat-syarat tertentu. Tak adanya kejelasan penyelesaian utang bakal membuka terjadinya moral hazard yang merugikan kreditor, termasuk perbankan yang mengelola dana masyarakat. Selain itu, tidak ada jaminan jika setelah moratorium selesai iklim usaha akan membaik dan debitor bisa kembali membayar utang. Di titik ini malah akan timbul ledakan gelombang pemailitan.
Sebagai jalan tengah, pemerintah bisa merilis regulasi yang membatasi prosedur gugatan kepailitan dan PKPU yang selama ini cenderung mudah. Regulasi tersebut harus merinci batas-batas utang yang bisa dijadikan dasar pemailitan, termasuk ada upaya verifikasi pada penggugat dan kondisi keuangan perusahaan. Pemailitan BUMN dan anak-anak usahanya pun seharusnya hanya dilakukan oleh pemerintah agar tak ada celah bagi kreditor, pengacara, dan kurator jahat untuk menjadikan aset negara sebagai bancakan.
Di satu sisi, kondisi ini menjadi momentum bagi pemerintah untuk memperbaiki regulasi kepailitan. Salah satunya mewajibkan adanya penghitungan (insolvency test) dan verifikasi atas kondisi keuangan perusahaan untuk menjadi dasar bagi hakim pengadilan niaga dalam memutus kepailitan atau PKPU. Yang terpenting, jangan ada lagi ruang bagi semua pihak untuk bermain curang di tengah kesulitan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo