Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
GERAK cepat pemerintah menangani musibah jatuhnya pesawat AirAsia rute Surabaya-Singapura layak dipuji. Semua elemen bahu-membahu dalam kerja yang rapi dan transparan.
Lima belas menit setelah mendapat kabar pesawat dengan nomor penerbangan QZ8501 hilang kontak, Tim SAR Kepulauan Riau langsung mencari. Pada hari pertama itu pula TNI Angkatan Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian dikerahkan.
Crisis center dibentuk di Bandar Udara Juanda, Sidoarjo, Jawa Timur. Indonesia Mission Control Center di Kantor Pusat Badan SAR Nasional Jakarta aktif 24 jam. Kepala Basarnas Bambang Soelistyo menginap berhari-hari di kantornya. Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini selalu ada bersama keluarga korban di Bandara Juanda. Koordinasi yang rapi juga terlihat ketika datang bantuan dari sejumlah negara, seperti Malaysia, Singapura, Jepang, Australia, dan Amerika Serikat.
Tim tak mengabaikan transparansi. Dalam sehari, Badan SAR tiga kali menggelar konferensi pers mengabarkan detail perkembangan. Alih-alih hanya memonitor dari layar televisi, Presiden Joko Widodo terbang langsung ke lokasi untuk memastikan proses pencarian berjalan baik.
Sejumlah media asing memuji keseriusan pemerintah mengatasi bencana ini. Mereka umumnya membandingkan Indonesia dengan Malaysia, ketika pada Maret tahun lalu menangani hilangnya pesawat Malaysia Airlines MH370 rute Kuala Lumpur-Beijing. Pemerintah Malaysia sempat menyanggah pesawat itu jatuh, sehingga pencarian tidak dapat dilakukan dengan maksimal pada hari-hari pertama. Mereka juga tidak transparan, yang membuat keluarga korban—terutama warga Cina—marah besar. Baik pemerintah Malaysia maupun maskapai Malaysia Airlines, menurut New York Times, memberikan informasi sepotong-sepotong, tak mendetail, bahkan tidak akurat.
Betapapun suksesnya, pencarian korban AirAsia adalah kerja di hilir, ibarat pemadam kebakaran yang beraksi setelah api menyala. Jauh lebih penting dari itu adalah pencegahan: bagaimana memastikan tragedi sejenis tidak terulang.
Satu yang terpenting adalah memastikan penyebab jatuhnya pesawat. Kuat diduga, AirAsia yang membawa 162 penumpang dan kru itu diempaskan cuaca buruk. Secarik surat yang dikirim Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) kepada Menteri Perhubungan memberi indikasi lain: pelanggaran prosedur oleh AirAsia. Dalam surat itu, BMKG menyebutkan AirAsia baru mengambil informasi cuaca pada pukul 07.00 WIB, saat pesawat sudah kehilangan kontak dengan menara pengawas.
Dokumen perkiraan cuaca mutlak dimiliki pilot dalam setiap penerbangan. Dengan informasi itu, pilot dapat memperkirakan keadaan cuaca yang akan dihadapinya ketika terbang. Radar di kokpit pesawat memang bisa memberi informasi serupa. Tapi informasi dari ruang kemudi hanya memberi kabar setelah pesawat lepas landas.
Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya informasi cuaca dari menara pengawas. Tak seperti menara di banyak bandar udara negeri tetangga, bandara Indonesia tak memiliki radar cuaca. Itulah sebabnya air traffic control (ATC) di Bandara Soekarno-Hatta tidak memberitahukan cuaca buruk di atas Selat Karimata—lokasi kecelakaan. Padahal sebelumnya BMKG telah mengetahui keberadaan awan kumulonimbus yang menjulang hingga ketinggian 40 ribu kaki.
Indikasi kelalaian ini harus diinvestigasi oleh Komite Nasional Keselamatan Transportasi, lembaga yang diberi wewenang menginvestigasi kecelakaan transportasi, termasuk insiden AirAsia. Kementerian Perhubungan harus mengambil tindakan tegas jika maskapai Malaysia itu terbukti lalai.
Keamanan transportasi udara Indonesia harus diperbaiki. Saat ini rasio kecelakaan udara negeri kita termasuk yang tertinggi di dunia. Dari satu juta penumpang yang terbang, satu di antaranya tewas karena kecelakaan pesawat. Di Amerika, rasio itu 1 : 25 juta.
Nyawa penumpang tak boleh diabaikan. Aspek pelayanan penumpang boleh saja dikurangi—misalnya pada maskapai berbiaya rendah—tapi keselamatan harus diutamakan. Standar keselamatan harus berlaku umum, baik bagi maskapai low budget maupun yang berbiaya normal.
Pemerintah harus memastikan menara pengawas cakap bekerja. Selama ini telah sering kita dengar ATC kita kekurangan tenaga. Akibatnya, seorang petugas harus memandu puluhan pesawat pada waktu yang bersamaan. Silap mata karena kelelahan petugas, misalnya, bisa fatal akibatnya. Radar cuaca mutlak dimiliki menara pengawas. Tragedi AirAsia tak boleh terulang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo