Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PROGRAM populis punya dampak elektoral bagi kemenangan Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka dalam pemilihan presiden 2024. Namun, seiring dengan kemenangan tersebut, risiko mengintai dari besarnya sumber daya yang dibutuhkan untuk melaksanakan program yang dijanjikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Janji Prabowo-Gibran yang paling populer dalam perhelatan pemilihan presiden 2024 adalah Indonesia bebas dari stunting melalui pemberian makan siang dan susu gratis di sekolah dan pesantren serta bantuan gizi untuk anak balita dan ibu hamil. Kini program yang menargetkan 80 juta penerima manfaat—dari siswa pra-sekolah dasar, sekolah dasar, sekolah menengah pertama, hingga sekolah menengah atas, juga pesantren—ini direncanakan langsung diadopsi pada tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kebutuhan anggaran program makan siang dan minum susu gratis sangat masif, mencapai Rp 400 triliun, ketika dilaksanakan secara penuh. Angka ini jauh lebih besar dari anggaran ketahanan pangan dan kesehatan yang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2024 hanya Rp 114,3 triliun dan Rp 187,5 triliun. Kebutuhan anggaran makan siang dan susu gratis nyaris setara dengan anggaran infrastruktur dan perlindungan sosial yang mencapai Rp 423,4 triliun dan Rp 496,8 triliun.
Meski direncanakan “hanya” membutuhkan Rp 50-72 triliun pada tahun pertama, program makan siang dan susu gratis ini tetap akan memberi tekanan signifikan. Sebab, APBN 2025 masih menanggung beban warisan proyek Presiden Joko Widodo, seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) dan proyek strategis nasional yang belum selesai. Anggaran tahun pertama program makan siang dan susu gratis senilai Rp 72 triliun juga setara dengan anggaran pembangunan IKN sepanjang 2022-2024. Anggaran tahun pertama program ini diperkirakan setara dengan 2-3 persen belanja pemerintah pusat dalam APBN 2025.
Tanpa tambahan ruang fiskal baru melalui kenaikan rasio pajak yang signifikan, pelaksanaan program makan siang dan susu gratis akan berdampak dua hal: kenaikan utang pemerintah dan defisit anggaran atau pemotongan anggaran belanja tidak terikat (discretionary spending) seperti belanja infrastruktur, subsidi energi, serta belanja bantuan sosial.
Dengan rasio pajak yang rendah dan stagnan dalam 10 tahun terakhir, kita tidak memiliki kemewahan ruang gerak fiskal untuk mengakomodasi program populis secara berlebihan. Menambah ruang fiskal dari kenaikan rasio pajak dalam jangka pendek tidak mudah. Apalagi rasio pajak kita pada 2022 mencapai 10,39 persen dari produk domestik bruto (PDB). Pada 2023, angka itu justru turun menjadi 10,21 persen dari PDB. Tahun ini, tax ratio ditargetkan hanya mencapai sekitar 10,20 persen dari PDB. Proyeksi rasio pajak pada tahun depan tidak lebih dari sekitar 10,50 persen dari PDB.
Di sisi lain, pemerintah selama ini tidak pernah mampu menurunkan beban belanja “terikat” (non-discretionary spending). Belanja pemerintah pusat yang terbesar adalah belanja pegawai, sekitar 21,3 persen dari total belanja pemerintah pusat dalam 10 tahun terakhir. Angka itu diikuti belanja barang dan pembayaran bunga utang, masing-masing 21,1 persen dan 17,7 persen dari total belanja pemerintah pusat.
Secara keseluruhan, rerata belanja terikat di era Presiden Jokowi sepanjang 2015-2024 mencapai sekitar 60 persen dari total belanja pemerintah pusat. Hanya tersisa ruang fiskal sekitar 40 persen untuk belanja tidak terikat yang selama ini dialokasikan untuk pembangunan infrastruktur, subsidi energi, dan kompensasi energi serta bantuan sosial.
Di era Presiden Jokowi, alokasi untuk subsidi energi dan kompensasi energi diperkirakan sekitar 16 persen dari total belanja pemerintah pusat. Adapun belanja untuk pembangunan infrastruktur, yaitu belanja modal, sebesar 12,3 persen. Rerata alokasi belanja untuk rakyat miskin, yakni belanja sosial, mencapai 7,1 persen. Sedangkan rata-rata subsidi nonenergi sebesar 4,5 persen dari total belanja pemerintah pusat.
Dalam skenario business as usual, ketika kenaikan rasio pajak terbatas dan beban belanja terikat tidak bisa ditekan, masuknya program mercusuar seperti IKN dan program populis seperti makan siang-minum susu gratis akan menekan atau memotong anggaran belanja tidak terikat seperti belanja infrastruktur, subsidi energi, dan belanja sosial.
Jika tidak, APBN akan menghadapi skenario lain yang tidak kalah pelik: melebarnya defisit anggaran hingga mendekati batas atas 3,0 persen dari PDB. Masuknya program makan siang gratis ke APBN 2025 dengan anggaran hingga Rp 72 triliun berpotensi meningkatkan defisit anggaran sampai 2,80 persen dari PDB. Ini adalah kemunduran besar dari defisit anggaran 2023 yang hanya 1,65 persen dari PDB.
Melebarnya defisit anggaran mendekati 3 persen dari PDB akan menurunkan kredibilitas fiskal serta meningkatkan biaya utang di masa depan. Pelebaran defisit anggaran juga akan menyulitkan upaya menurunkan stok utang pemerintah menuju batas yang lebih aman sekaligus membalikkan arah konsolidasi fiskal yang telah susah payah dirintis seusai masa pandemi. Rasio utang pemerintah hingga akhir 2023 mencapai 38,59 persen dari PDB, sedikit menurun dibanding rasio pada akhir 2022 yang sebesar 39,70 persen dari PDB.
Langkah meningkatkan utang pemerintah juga berisiko tinggi karena beban utang pada keuangan negara telah berada di tingkat yang sangat memberatkan. Pada 2005-2014, di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, beban bunga utang dan cicilan pokok yang jatuh tempo rata-rata mencapai 32,9 persen dari penerimaan perpajakan setiap tahun. Pada 2015-2022, di era Presiden Jokowi, angka ini melonjak menjadi 47,4 persen.
Dalam situasi rasio pajak yang sulit meningkat serta rendahnya kemauan politik untuk menekan belanja terikat, memotong anggaran tidak terikat untuk mengakomodasi program makan siang gratis dipandang lebih tidak berisiko dibanding memperlebar defisit fiskal.
Tidak mengherankan bila kemudian muncul begitu banyak rencana realokasi anggaran belanja tidak terikat, dari memotong subsidi energi hingga mengalihkan dana bantuan operasional sekolah (BOS) demi mengakomodasi program makan siang gratis.
Upaya menghindari risiko fiskal dari pelebaran defisit anggaran dengan cara memotong belanja tidak terikat berpotensi menaikkan risiko sosial. Realokasi dana BOS, misalnya, yang anggarannya sekitar Rp 60 triliun, berpotensi merusak program wajib belajar 12 tahun. BOS selama ini berperan penting menjamin terselenggaranya program wajib belajar minimal 12 tahun tanpa pungutan biaya bagi peserta didik. Mengalihkan anggaran BOS untuk program makan siang gratis dapat menurunkan angka partisipasi sekolah terutama dari kelompok miskin sehingga akan memperburuk kualitas sumber daya manusia di masa depan.
Untuk memenuhi amanat wajib belajar minimal 12 tahun, pemerintah seharusnya menambah anggaran dana BOS agar tidak hanya mencakup sekolah negeri, tapi juga sekolah swasta. Lebih jauh, dana BOS merupakan bagian tak terpisahkan dari anggaran pendidikan.
Selama ini anggaran BOS menyumbang sekitar 10 persen dari total anggaran pendidikan. Mengalihkan dana BOS untuk program makan siang gratis akan membuat pemerintah melanggar konstitusi, yaitu Pasal 31 ayat 4 Undang-Undang Dasar 1945 yang menyebutkan anggaran pendidikan minimal 20 persen dari APBN. Rencana realokasi dana BOS juga mencederai amanat Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang wajib belajar gratis 12 tahun. Anggaran publik yang terbatas seharusnya diprioritaskan untuk pengeluaran yang memberi dampak paling luas dan berkelanjutan.
Akar masalah stunting adalah kemiskinan dan lonjakan harga pangan yang berdampak ketidakmampuan individu memenuhi kebutuhan kalori, gizi, dan nutrisi. Masalah stunting diperparah perilaku konsumsi pangan yang tidak sehat, termasuk gaya hidup yang salah.
Alih-alih memaksakan diri menjalankan program makan siang gratis dengan anggaran yang sangat masif, pemerintah lebih baik berfokus menurunkan prevalensi stunting melalui penguatan kebijakan pangan murah, terutama pangan tinggi protein berbasis sumber daya lokal; penguatan kapasitas pusat kesehatan masyarakat; serta pengubahan perilaku dan gaya hidup keluarga penyintas stunting, seperti menurunkan tingkat konsumsi rokok, khususnya oleh masyarakat miskin.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Risiko Fiskal Makan Siang Gratis"