Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Angst

Angst, bagi para pemikir eksistensialis, adalah anak kandung absurditas hidup. Bagaimana memaknainya?

12 Maret 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
material-symbols:fullscreenPerbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Para filsuf menyebut kecemasan sebagai risiko karsa bebas manusia.

  • Angst terjadi saat semua relasi kita dengan dunia terputus.

  • Mereka yang belajar cemas dengan benar akan mencapai kebenaran-kebenaran puncak.

SEBUAH teater kecil dan sederhana di Bloomington, Indiana, tahun 2000. Saya bersama adik menonton sandiwara "No Exit" (Hoise Clos) karya filsuf Prancis terkemuka, Jean-Paul Sartre. Panggungnya kecil, set dengan ruang nyaris kosong, agak gelap sepanjang pementasan: hampir-hampir merepresentasikan, setidaknya secara psikologis, situasi neraka yang hendak digambarkannya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di dalamnya empat karakter, yang memang sudah divonis masuk neraka, terus mempertengkarkan keruwetan jaringan vested interest yang saling silang di antara mereka. Situasi makin lama makin kacau, mereka praktis saling bunuh. Mereka ingin keluar tapi tak ada jalan. Penonton boleh menyimpulkan ruang murung itu bukanlah sekadar ruang singgah sebelum mereka digiring ke neraka yang sesungguhnya. Tapi, bersama sejumlah orang dalam suatu ruang, dengan segala keruwetan yang mereka alami, adalah neraka itu sendiri. Dari cerita inilah orang akrab dengan gerutu Sartre, sang penulis: L'enfer, c'est les autres, neraka adalah orang-orang lain.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kemudian ada angst—penderitaan yang membuat penderitanya tak jarang bunuh diri. Gagasan yang sering diterjemahkan sebagai kecemasan (anxiety) ini, bagi para pemikir eksistensialis, adalah anak kandung absurditas hidup. Kadang ia dirujuk sebagai kebosanan, perasaan hidup hampa makna, atau bahkan depresi. Camus, Sartre, dan Kierkegaard menyebutnya sebagai risiko alami yang timbul akibat karsa bebas atau free will

Kata Sartre, manusia adalah makhluk yang berada untuk dirinya (being in itself, pour soi) dengan memiliki karsa bebas—bukan benda mati yang berada dalam dirinya belaka (being in itself, en soi). Karenanya, Kierkegaard menyebut angst sebagai dizziness of freedom—kepuyengan (akibat) kebebasan. 

Angst terjadi saat semua relasi kita dengan dunia terputus, kata Heidegger. Meski demikian, ada sisi lain dari angst: justru saat mengalaminya kita eksis secara autentik. Bukan, sebaliknya, terperangkap dalam kebisingan hidup berkubang orang-orang lain. Dilihat dari sisi ini, artinya kita hidup sebagai manusia dengan kesadaran penuh, kesadaran (akan) diri sejati—sebutlah kesadaran spiritual.

Kesadaran ini tak mesti ada kaitannya dengan agama, atau melibatkan gagasan tentang Tuhan. Seperti sabda profetik yang banyak digemakan kaum mistikus: "Siapa yang mengenali dirinya akan mengenali Tuhannya”. Ini merupakan upaya memahami agama dan Tuhan secara tidak konvensional: agama yang dilihat sebagai urusan privat memburu pertemuan dengan Sang Transenden yang bersifat lebih impersonal. Dia sebagai berkah Kasih, Kedamaian, dan Keindahan, yang menyelimuti alam semesta. Atau, seperti kata Rudolf Otto, Tuhan sebagai misteri penuh keindahan dan keagungan, mysterium tremendum et fascinans.

Dalam bingkai ini, angst bisa menjadi jalan bagi pencapaian suatu pencerahan yang bermakna. Hidup yang, kata Camus, absurd dan tak layak dijalani, “Hingga kita memahami ketakbermaknaannya.” Hidup yang mendorong kita melakukan soul searching dalam kesendirian dan kesepian. Pencarian dalam suatu situasi yang bebas dari kebisingan hidup secara banal, dalam keberadaan autentik kita. Meski itu berarti kita harus melalui segala kepuyengan eksistensial. 

Ibn 'Arabi, seorang arif dari Murcia pada abad ke-12, pernah berkata: justru melalui situasi hayrah atawa kebingungan eksistensial itu kita terdorong melakukan pencarian jiwa. Di dalamnya kita merogoh dalam-dalam ruang hening batin kita untuk mendapati hikmah berupa kesadaran penuh akan makna kehidupan. Inilah kiranya maksud Kierkegaard: "Siapa saja yang belajar cemas dengan cara yang benar, dia telah mencapai (kebenaran-kebenaran) yang puncak."

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus