Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SELALU ada yang menggembirakan dalam pesta, tapi selalu ada yang mencemaskan. Juga dalam perayaan kelahiran.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Seorang teman saya yang sering disebut “fundamentalis” yang rajin ke gereja menyatakan, ia dan kaumnya menolak merayakan hari lahir Kristus dengan kemeriahan. Ia menolak Natal.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dulu, katanya, para Nasrani awal tak merayakan hari itu (lagi pula, mereka mempertanyakan, benarkah Yesus lahir di tanggal 25 Desember?).
Adalah orang kafir, kaum pagan, katanya, yang membuat ritual ketika kelahiran datang, karena bayi dianggap rentan terhadap jin dan setan.
Waktu itu takhayul berkecamuk. Dan umat sering kurang waspada.
Ia bercerita tentang Ayub, orang dari Tanah Us, warga “terkaya dari semua orang di sebelah timur”. Tujuh anak lelaki juragan ini biasa mengadakan pesta di rumah mereka masing-masing. Ketiga saudara perempuan mereka diundang untuk makan dan minum bersama-sama. Ayub, sang ayah, tak melarang—tapi ia cemas.
Dalam Alkitab dikisahkan, tiap kali, bila hari-hari pesta telah berlalu, Ayub senantiasa memanggil mereka dan “menguduskan mereka”. Pagi-pagi, keesokan harinya, Ayub bangun dan mempersembahkan korban bakaran sebanyak jumlah anak-anak itu. Ia berpikir, “Mungkin anak-anakku sudah berbuat dosa dan telah mengutuki Allah di dalam hati.”
Ayub digambarkan sebagai seorang mukmin yang sangat alim: yakin dan setia kepada Allah bahkan ketika ia dibiarkan Tuhan jatuh melarat dan sengsara. Ia mengagumkan.
Tapi—yang tak dilihat teman saya yang Fundamentalis itu—agaknya ada yang berlebihan ketika tiap kali ia waswas kalau-kalau anak-anaknya “sudah berbuat dosa” dan “mengutuki Allah di dalam hati”.
Dalam hal ini Ayub satu contoh bagaimana ajaran agama menambatkan manusia kepada yang Ilahi tapi sekaligus menumbuhkan rasa cemas. Ada kekhawatiran yang laten kepada ketidakmurnian manusia, terutama di wilayah yang tak tampak: dunia batin. Iman pun berkembang jadi hasrat mengusut—bahkan paranoia—mengenai apa yang hidup “di dalam hati” sendiri dan orang lain.
Dalam proses itu, agama jadi tanggul atau benteng. Ia berubah jadi sebuah kekuatan legalistis—dan “hukum”, bukan dorongan rohani, yang memandu perilaku. Di tiap perkara umat merasa perlu bertanya “apa hukumnya dalam ajaran”. Puritanisme, yang ingin serba murni, yang menghasratkan hidup 100% “pure” sesuai dengan hukum, membawakan tendensi itu.
Pada 1647, di Inggris, ketika pendukung Puritanisme menguasai Parlemen, perayaan Natal diharamkan. Sebagai gantinya umat Kristen diwajibkan berpuasa. Bagi kepercayaan yang anti-Gereja Katholik ini, Natal adalah “festival Paus”, popish festival, yang tak punya dasar hukum dalam Alkitab, cuma acara yang “boros dan tak berakhlak”.
Kembalilah kepada Alkitab, mereka berseru—kembalilah kepada teks itu. Kembalilah kepada situasi ketika teks belum bergelimang tangan dan tafsir manusia yang berubah-ubah.
Agaknya sebuah paradoks bahwa pandangan ini tak memuliakan Natal.
Kelahiran, “natal”, adalah awal yang belum tersentuh sejarah. Jika ia melambangkan datangnya sebuah ajaran, maka ajaran itu bisa diasumsikan masih “polos”—belum diuji interpretasi, konflik, pengingkaran, dan kekerasan. Pendek kata: belum bergulat dengan apa yang lain, yang bukan-dirinya, di dunia.
Kelahiran juga bisa dikaitkan dengan asal, dan asal diasosiasikan dengan “yang sejati”, yang “benar”, yang belum ”cemar”—seakan-akan “asal” tidak terjadi di dunia yang punya bermacam-ragam asal. Iman yang waswas tak mengakui bahwa tak ada sabda suci yang tak menempuh deru dan debu, tak menginjak najis dan mengenal rumitnya dosa.
Semakin ajaran berbenturan dengan deru, debu, dosa—dan tak kunjung bisa membuat bumi jadi suci—semakin keras gemertak amarah para penjaga iman. Perang Agama meremukredamkan Eropa selama abad ke-16, ke-17, dan awal abad ke-18.
Saya teringat satu sajak Sitor Situmorang, “Kristus di Medan Perang”:
Ia menyeret diri dalam lumpur
mengutuk dan melihat langit gugur
Jenderal pemberontak segala zaman,
Kuasa mutlak terbayang di angan!
Tapi langit ditinggalkan merah,
pedang patah di sisi berdarah,
Tapi mimpi selalu menghadang,
Akan sampai di ujung: Menang!
Sekeliling hanya reruntuhan.
Jauh manusia serta ratapan,
Dan di hati tersimpan dalam:
Sekali 'kan dapat balas dendam!
Saat bumi olehnya diadili,
dirombak dan dihanguskan,
Seperti Cartago, habis dihancurkan,
dibajak lalu tandus digarami.
Tumpasnya hukum lama,
Menjelmanya hukum Baru,
Ia, yang takkan kenal ampun,
Penegak Kuasa seribu tahun!
Tapi tak pernah ada Kuasa Mutlak seribu tahun.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo