Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
PADA 1980-an, kita dapat menjumpai pemandangan begini: barisan orang yang menunggu giliran di depan gardu telepon umum memanjang di trotoar sebuah jalan. Berkali-kali orang di barisan terdepan mengetuk pintu kaca, mengingatkan, tapi pengguna di dalam gardu sama sekali tidak mengindahkan. Padahal entah sudah berapa keping koin tiap sebentar ia masukkan ke boks telepon.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di saat begitu, kita seperti diingatkan lagi bahwa di situ telepon milik publik telah digunakan secara salah. Seharusnya yang dibicarakan lewat telepon, apalagi telepon milik umum, adalah hal-hal pokok dan penting saja. Disampaikan pendek-pendek, cepat, tapi tetap jelas. Dan bicara langsung ke inti, tak perlu berbasa-basi. Begitulah kira-kira pikiran si penunggu yang masygul.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tapi yang kita lihat tak lama berselang, ketika si orang jengkel ini mendapatkan gilirannya, ia mengulangi persis kelakuan orang sebelum dia. Sebagian dari kita barangkali akan berkata, telepon, salah satu benda yang lahir pada fajar zaman baru menjelang abad ke-20, telah dimanfaatkan oleh penduduk negara berkembang untuk melanggengkan kebiasaan lama mereka turun-temurun. Perangkat modern itu malah mereka pakai mengobrol ngalor-ngidul, bergunjing, bukannya demi efisiensi, yaitu memendekkan jarak dan waktu.
Di saat seperti itu pula kita seperti disadarkan betapa bahasa lisan sebenarnya cukup mengusik perhatian, antara lain karena ragam ini menunjukkan semacam kontradiksi di dalam dirinya. Maka fenomena itu patut kita periksa dan catat, sekalipun hanya sekilas dan ala kadarnya, di sini.
Bahasa lisan, seperti dalam percakapan lewat telepon tadi, punya kecenderungan berpanjang-panjang. Tapi segera juga kita dapati, “panjang” itu tidak serta-merta berhubungan langsung dengan bahasa. Malah kita menjumpai banyak bentuk kata, terutama verba, yang ringkas, lebih pendek dari ragam tulis. Dapat kita menduga, bentuk verba seperti itu adalah pengaruh dialek Melayu-Betawi.
Umumnya verba menjadi sedikit lebih pendek dari ragam bahasa Indonesia formal dalam bentuk tulis, karena awalan menghilang sementara bentuk nasal tetap menempel di awal kata dasar. Misalnya “menyikat”, “menyenggol”, “menyusul” memendek jadi “nyikat”, “nyenggol”, “nyusul”. Boleh kita tambahkan (perhatikan beberapa pasang bentuk berikut): “mencomot-nyomot”, “menciprat-nyiprat”, “mengomel-ngomel”, “mengopi-ngopi”, “menguping-nguping”, atau “menghadang-ngadang”. Ada juga transformasi yang bercabang dua. Misalnya “menggarong” menjadi “ngegarong” atau “nggarong”. Contoh lain, “menggali” dapat menjadi “ngegali” atau cukup “nggali”.
Penyebab bahasa lisan cenderung berpanjang-panjang bukanlah terutama faktor bentuk bahasa, melainkan bentuk pertuturan. Di dalam suatu tindak tutur (speech act), sering sekali pengujar mengulang—biasanya disusul dengan parafrasa atau uraian sedikit lebih panjang-lebar—demi memperjelas sesuatu yang baru saja ia ujarkan. Itu adalah respons atas pertanyaan lawan bicaranya nun di seberang sana. Yang sebenarnya memerlukan durasi lebih lama adalah pengulangan pesan, termasuk ujaran yang bertele-tele alias melantur.
Ada pandangan bahwa ragam lisan, sebagai medium komunikasi, punya lebih banyak kelemahan dibandingkan dengan bahasa tulis. Lihat, misalnya, uraian A. Teeuw dalam Sastra dan Ilmu Sastra, Pengantar Teori Sastra (1984, halaman 26-30) tentang tujuh ciri bahasa tulis.
Teeuw menyinggung juga unsur suprasegmental dalam ragam lisan (intonasi, nada, irama) serta mimik dan gestur yang dapat lebih memuluskan penyampaian informasi dari pengujar ke pendengarnya. Saya ingin menambahkan, dalam tindak tutur melalui telepon, malah kita temukan satu lagi aspek yang unik dan unsur ini tidak ada dalam bahasa tulis.
Lewat gerak-gerik penelepon di balik kaca dinding gardu telepon umum, kita bisa menduga dengan siapa dia berbicara. Sosok lawan bicaranya mungkin sekali berderajat lebih tinggi atau ia hormati menilik sikap tubuh si penelepon yang sangat santun. Ia tampak berkali-kali menganggukkan kepala sambil matanya melihat ke bawah. Padahal jelas lawan bicaranya tidak sedang berada di situ. Semua perilaku ganjilnya itu spontan belaka. Tidak ia sadari bahwa ada banyak orang di luar memperhatikannya sejak tadi. Pemandangan absurd itu tak pelak menjadi penawar rasa jengkel para penonton yang lama menunggu giliran bicara.
Dalam Islam ada ajaran “Jagalah lisanmu”. Dari arah berbeda, peradaban tua Cina konon mengenal ungkapan “Mulutmu harimaumu”. Tapi keduanya tentu saja bukan lisan biasa, sebab beroperasi di tataran lebih tinggi: budi pekerti.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo