Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Mudik, Nostalgia, dan Bias Kota

Mudik mengaktualkan nilai dan moral sosial kelas bawah sekaligus menegaskan hubungan kota-desa yang timpang dan penuh bias.

23 April 2023 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pemerintah memperkirakan jumlah pemudik Lebaran 2023 mencapai 123,8 juta orang.

  • Sementara populasi terus membesar di perkotaan, kemiskinan bertahan di perdesaan.

  • Mudik mempertebal nostalgia yang dikonstruksi secara sosial oleh ideologi dalam bias kota.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MIGRASI manusia sedang berlangsung di Indonesia secara kolosal hari-hari ini. Survei Kementerian Perhubungan memperkirakan 123,8 juta orang Indonesia mudik pada Lebaran tahun ini. Angka ini meningkat 44 persen dibanding pada tahun lalu. Maka, selama satu-dua pekan di sekitar Lebaran, jalan-jalan yang menghubungkan megapolitan Jakarta dengan desa-desa di Jawa dan Sumatera akan terasa lebih panjang, lebih sempit, dan lebih berbahaya dari biasanya.  

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Limpahan manusia yang gigih berjibaku mencari arah pulang. Tapi mudik bukan sekadar pulang. Akar dari mudik adalah ekonomi politik, yang di Indonesia dimulai pada 1970-an sebagai hasil pengintegrasian desa dan kota di bawah kapitalisme. Integrasi semacam itu diwarnai ketimpangan dan bias perkotaan.

Saya mewawancarai Yuli, gadis 19 tahun asal Lampung Tengah. Dalam kerja sehari-hari, ia memakai hijab. Tapi sore itu rambutnya terurai. Ia baru pulang dari salon, mengecat rambutnya menjadi pirang kecokelatan. Dua hari menjelang mudik, memirangkan rambut adalah agenda tersembunyi yang begitu krusial bagi seorang perempuan bernama Yuli.

Dari Yuli saya tahu bahwa menata diri untuk mudik acap jauh lebih kompleks ketimbang saat pergi dari rumah. Ketika dulu berangkat untuk merantau ke Jakarta, ia hanya mempersiapkan diri seadanya. Sekarang, meski baru tiga bulan merantau, ia mesti mempersiapkan diri dengan lebih sibuk. Kepulangannya akan melambangkan kesetiaan memenuhi ekspektasi keluarga, saudara, dan kampungnya. Rambut pirangnya menandakan keinginannya dipandang sebagai orang yang baru. Dari segi ini, mudik menjadi arena pelumeran nilai dan gaya metropolis dengan tradisi di desa-desa. Mudik menjadi pengalaman dengan hierarki lebih tinggi yang mentransformasikan pribadi seseorang. Bagi Yuli, mudik pertamanya ini begitu menggetarkan.

Setiap mudik adalah peristiwa moral. Saya bertanya kepada Yuli, mengapa kamu pulang? Mau istirahat di rumah, katanya. 

“Kalau dibayar dua atau tiga kali lipat gajimu, asalkan kamu enggak mudik, apa kamu bersedia?” 

“Enggak mau!”

Mudik adalah peristiwa moral, bukan pertama-tama karena ia dilakukan untuk merayakan hari raya (Idul Fitri di Indonesia, Imlek di Cina, dan Chuseok di Korea Selatan), juga bukan lantaran orang mencari dan mengukuhkan nilai-nilai keluarga, melainkan di dalam kesesakan mudik, kaum miskin justru memberikan contoh mementingkan nilai kebersamaan di atas uang. Mudik juga menyiratkan keinginan menunda keterasingan. 

Sesungguhnya kerja adalah kutukan, tapi manusia harus melakukannya untuk hidup. Untuk Yuli yang bekerja sebagai asisten rumah tangga, bekerja dalam sebuah keluarga yang bukan keluarga sendiri adalah seberat-beratnya pekerjaan. Katakanlah majikannya seorang yang terdidik dan baik hati, tetap saja relasi kerja itu memangkas kebebasannya. Bila ada waktu untuk jeda, dia lebih suka pulang dan hidup bersama keluarganya sendiri. Yang barangkali tidak bisa dijawab Yuli adalah pertanyaan mengapa agar bisa punya uang untuk mewarnai rambutnya sendiri ia mesti bekerja jauh terpisah dari keluarga dan desanya? 

Di sini mudik adalah paradoks. Ia mengaktualkan nilai-nilai dan moral sosial kelas bawah yang berani, bekerja keras, dan patut diteladani, tapi sekaligus menegaskan hubungan kota-desa yang makin timpang dan penuh bias. Mudik menandaskan struktur ketergantungan bahwa desa selamanya menjadi pusat kemiskinan dan kota selamanya pusat kemakmuran dan kemajuan.

Mudik mempertebal semacam nostalgia yang dikonstruksikan secara sosial oleh ideologi dalam bias kota. Ia menghasilkan penghayatan akan ruang yang unik: pertama, desa terus-menerus dinobatkan sebagai space of live yang secara dominan dimaknai sebagai ruang produksi. 

Sementara itu, kota dianggap sebagai space of consumption. Desa dipandang sebagai ruang yang diisi dengan produksi tenaga manusia, sementara kota didefinisikan sebagai produksi kreatif dan inovasi. Kota dipandang sebagai ruang yang didikte oleh rezim waktu yang linier-progresif, sementara desa dipandang hidup dalam logika waktu yang sirkuler. Maka, dengan itu, kota menjadi wujud potensialitas kemajuan, sementara desa hanya ruang di mana yang tradisional dan masa lalu berhenti dan berputar mengulang dirinya. 

Desa didefinisikan sebagai ruang yang terikat dan bergantung pada alam, sehingga dengan itu kelestarian alam menentukan kelestarian desa. Dengan akibat: kondisi-kondisi sosial dan kehidupan material desa dipersepsikan selalu dalam keadaan konstan dan stabil. Sementara itu, kota dianggap melampaui ikatan-ikatan alam. Di kota, alam direkayasa untuk memenuhi logika konsumsinya. Kota dipandang tidak memiliki ketergantungan yang mutlak pada alam. Kekayaan, infrastruktur, dan teknologi memungkinkan kota melampaui hambatan-hambatan alami.

Kedua, terlepas dari romantisasi desa, bias kota menghasilkan ketidakadilan spasial di mana desa menjadi ruang kehidupan yang secara konstan tertinggal di belakang dan selamanya inferior terhadap kota. Kota menjadi cita-cita dan tujuan, sementara desa menjadi masa lalu dan ruang yang takdirnya memang untuk ditinggalkan. Desa menjadi ruang untuk generasi tua atau mereka yang ketinggalan dan gagal mencapai prestasi serta kemajuan mengambil tempat, sementara kota adalah bagi mereka yang terbaik di desa dan berhasil ke luar. Kota juga dipandang sebagai wilayah antah-berantah tapi maju dan memikat, yang menjadi arena spekulatif dari mereka yang tercerabut tapi bisa kembali sewaktu-waktu ke desa.

Seiring dengan laju urbanisasi yang tak tertahankan, banyak ahli beranggapan, dengan menyelesaikan masalah kemiskinan di perkotaan, secara tidak langsung hal itu berkontribusi pada pengentasan masyarakat miskin secara keseluruhan. Pandangan ini tidak sepenuhnya benar. Data memperlihatkan, sementara populasi terus membesar di perkotaan, kemiskinan bertahan di perdesaan. Kota memang memiliki “slum-slum” tempat penduduk miskin berjuang bertahan hidup, tapi orang miskin terbanyak selalu ada di perdesaan.

Dominasi penduduk perkotaan terhadap jumlah penduduk di Indonesia meningkat setiap tahun. Worldometers mencatat, pada 2019, jumlah penduduk perkotaan di Indonesia sebanyak 150,9 juta jiwa atau 55,8 persen dari total penduduk Indonesia. Dominasi tersebut meningkat 0,7 persen dari tahun sebelumnya yang sebesar 147,6 juta jiwa atau 55,1 persen dari total penduduk Indonesia.

Tingkat kemiskinan perdesaan selalu lebih tinggi dibanding perkotaan sejak 1993. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, proporsi kemiskinan perdesaan saat itu mencapai 13,8 persen dari populasi, sementara perkotaan hanya 13,4 persen. Meningkatnya industrialisasi yang menciptakan banyak lapangan kerja di kota-kota besar membuat angka kemiskinan perkotaan lebih rendah dari perdesaan. Persentase penduduk miskin perkotaan pada Maret 2022 sebesar 7,50 persen dan naik menjadi 7,53 persen pada September 2022. Sedangkan persentase penduduk miskin perdesaan pada Maret 2022 sebesar 12,29 persen dan naik menjadi 12,36 persen pada September 2022.

Dengan kata lain, Yuli beserta semua kelas pekerja migran yang hari-hari ini berjuang di jalan-jalan dalam mudik dan nostalgia adalah akibat tak langsung dari kesalahan kebijakan yang diskriminatif. Para pengambil keputusan cenderung mengalokasikan dan menjustifikasi disposisi yang memberikan porsi pembangunan serta penciptaan kesejahteraan yang lebih besar untuk daerah perkotaan. 

Saya tak bisa menyalahkan Yuli apabila ritual kolosal yang membawa dirinya pulang ke desa ia hayati semata-mata sebagai penegasan moral pribadi ketimbang sebuah konstruksi ekonomi-politik ketimpangan. Lebaran atau bukan Lebaran, dengan atau tanpa rambut pirangnya, ia sudah memaafkan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus