Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEINGINAN Presiden Joko Widodo mendatangkan investasi asing senilai Rp 3.500 triliun dalam lima tahun pemerintahannya boleh jadi cuma harapan hampa. Target besar itu mustahil terpenuhi jika ribuan peraturan daerah bermasalah tidak segera dihapus. Sudah terbukti, aturan buatan "raja-raja kecil" daerah berupa beragam pungutan dan prosedur perizinan berbelit menjadi penyakit kronis bagi ekonomi Indonesia.
Pada tahun kedua pemerintahannya, Jokowi meminta pembatalan 3.143 perda bermasalah. Upaya ini penting agar daya saing Indonesia lebih kompetitif. Para investor asing mesti diperlakukan seperti raja, di tengah banyak pilihan investasi di negara-negara lain. Menurut data Bank Dunia pada Juni 2015, Indonesia berada di papan bawah, peringkat 109 dari 189 negara, dalam kemudahan membuka usaha. Tidak ada pilihan bagi pemerintah selain terus-menerus membenahi dampak buruk kewenangan berlebih para kepala daerah.
Kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional menyebutkan di Indonesia saat ini terdapat sekitar 42 ribu regulasi. Dari jumlah itu, ada 3.000-an perda bermasalah. Tak hanya memangkas daya saing, triliunan rupiah anggaran pun terbuang percuma dalam penyusunannya. Sepanjang 2001-2010, misalnya, anggaran untuk menyusun pelbagai perda itu mencapai Rp 14 triliun.
Regulasi daerah bermasalah itu muncul karena proses pembuatannya serampangan dan oleh kepala daerah hanya dijadikan sebagai upaya menaikkan pendapatan asli daerah (PAD) secara drastis dalam jangka pendek. Tujuan lebih besar dalam jangka panjang, yaitu memacu kegiatan ekonomi dan pertumbuhan, terabaikan.
Akumulasi persoalan itulah yang dipangkas pemerintah dengan terbitnya instruksi Menteri Dalam Negeri. Isinya meminta kepala daerah mengusulkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah agar membatalkan ribuan perda bermasalah itu. Namun kerumitan tidak akan selesai begitu saja. Upaya tersebut bisa percuma jika ternyata kepala daerah menolak usul pembatalan.
Pemerintah pusat tidak memiliki kewenangan membatalkan sepihak perda bermasalah. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah menyebutkan pembatalan perda bisa dilakukan pemerintah pusat dalam waktu 60 hari setelah penetapannya. Persoalannya, mayoritas perda bermasalah itu berumur lebih dari setahun.
Jalan lain adalah mengajukan permohonan uji materi ke Mahkamah Agung. Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 24-a menyebutkan Mahkamah Agung berwenang menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Meski demikian, upaya ini belum tentu mulus, mengingat tidak semua perda bermasalah bertentangan dengan undang-undang. Belum lagi, ada peluang bagi kepala daerah untuk menggugat pembatalan itu lewat pengadilan tata usaha negara.
Walhasil, dengan sedikitnya opsi yang ada, pemerintah pusat mesti menempuh upaya persuasif ke kepala daerah. Para gubernur, bupati, dan wali kota mesti diyakinkan bahwa pembatalan aturan bermasalah bisa memberi manfaat yang lebih besar bagi daerah. Karena menyangkut pendapatan daerah, perlu ada penyempurnaan sistem perpajakan yang mampu memberikan tambahan PAD, tanpa harus mendistorsi kegiatan ekonomi.
Di luar langkah pembatalan itu, Kementerian Dalam Negeri harus belajar dari kelalaian pemerintah mengontrol penerbitan perda. Semestinya kewenangan membatalkan digunakan sejak awal, ketimbang lintang-pukang di belakang hari.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo