Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BRITAIN’S Got Talent 2023 memberi kejutan ketika badut Viggo Venn yang berambut jabrik dan berpenampilan nyentrik merebut hadiah pertama sebesar £ 250 ribu. Ejekan dan kecaman di media sosial ia jawab dengan, “Itu lucu. Saya bukan orang Inggris, saya tidak punya bakat, dan saya memenangi Britain’s Got Talent.”
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu Venn hanya bersikap sopan. Dia punya bakat berlimpah, meski bakatnya “bermain-main”. Dan ia bukan amatir. Ia lulusan sekolah badut elite Ecole Philippe Gaulier. Ia telah menjadi bagian dari sirkuit festival komunitas badut Inggris yang berkembang pesat selama hampir satu dekade dan manggung setiap hari selama sembilan bulan setelah Covid-19 berakhir.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dari pub ke pub, dia menyempurnakan pertunjukan striptease rompi hi-vis (high visibility) yang fenomenal itu. Karena rompi itu ia bisa tampil percaya diri di Britain’s Got Talent. Awalnya Venn cuma berharap klip jika ia tersingkir dari acara pencarian bakat itu bisa mendongkrak kariernya sebagai badut. Tapi kemudian dia melihat di TikTok dan Instagram orang-orang menari memakai rompi hi-vis yang ia pakai. Venn jadi fenomena.
Kemunculan Venn mungkin satu bukti sekali-sekali hidup kita memerlukan badut. Marcelo Beré, doktor teater dengan spesialisasi badut dari Royal Central School of Speech and Drama, University of London, punya teori tentang misfitness—ketidaksesuaian.
Manusia, kata Beré, dilahirkan tanpa kesempatan memilih tempat lahir, waktu, atau keluarga. Dalam kalimat Heidegger, kita “terlempar” ke dalam dunia. Jika keterlemparan (Geworfenheit) kita pakai sebagai titik awal untuk memahami konsep ketidaksesuaian, kita bisa mengatakan setiap manusia dilemparkan ke dalam keberadaan dan situasi eksistensial tertentu.
Kondisi ketidaksesuaian manusia itu bukan hanya kondisi antropologis dan sosiologis, tapi juga kondisi ontologis primordial manusia. Menegaskan hal itu, Alva Nöe, profesor filsafat University of California, Berkeley, Amerika Serikat, menyatakan, “Anda tidak memilih dilahirkan sebagai manusia. Anda tidak memilih dilahirkan di sini atau di sana, sekarang atau nanti.... Suatu hari Anda ada di sini, seperti Gregor Samsa dalam cerita Kafka.”
Namun, begitu kita berada di sini dan saat ini, kita segera sadar perlu menyesuaikan diri; dengan keluarga, sekolah, masyarakat. Risiko jika kita tidak bisa menyesuaikan diri adalah dianggap seorang orang luar, terasing, liyan, atau gila. Di sini kita memerlukan badut. Badut mewakili karakter yang menerima kondisinya sebagai ketidaksesuaian dan memanfaatkannya sebaik mungkin. Badut dianggap liyan, atau gila, karena mereka gagal beradaptasi (bahkan ketika mereka mencoba) terhadap cara-cara yang biasa dan sudah jadi umum.
Karena itu, badut lebih berkarakter komik daripada tragik. Mereka jarang dikalahkan oleh situasi problematis, alih-alih menyajikan solusi terhadap masalah yang ada—bahkan jika solusi tersebut tidak sesuai dengan apa yang diharapkan penonton. Apa pun yang dilakukan badut saat tampil, tujuan tindakannya, dan cara dia melakukannya, diatur oleh logika ketidaksesuaian—sebuah logika yang bertujuan mengungkap norma sehari-hari dengan menunjukkan keganjilannya.
Dengan logika ketidaksesuaian itu, tugas badut—di atas panggung atau di film—adalah mengungkapkan dan menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru untuk memahami dan memecahkan masalah kita sehari-hari.
Dalam ceramah di TEDx, Holly Stoppit menceritakan suka dan duka menjadi badut dan bagaimana ia menemukan menjadi badut bisa membawanya ke hubungan yang lebih dalam dengan dirinya sendiri. Untuk penelitian masternya, Stoppit mengeksplorasi potensi manfaat terapeutik dari pelatihan keterampilan badut bagi orang dewasa untuk mengatasi kesehatan mental. Dari situ lahir “Clown-o-therapy”: sistem terapi kelompok yang memadukan keterampilan badut, kesadaran, dan refleksi pribadi. Terapi badut ia gunakan untuk membantu orang-orang menjalin hubungan yang retak dengan anak-anak, orang tua, teman, kolega, klien, pelanggan, bahkan konstituen dan jemaat.
Sebab, menjadi badut berarti membuka diri terhadap risiko yang paling kita takuti: menjadi rentan. Butuh keberanian besar untuk menunjukkan kerentanan dengan membiarkan diri sendiri terlihat dengan segala keanehan dan keliarannya. Dari situ kita membuka peluang terbangunnya komunikasi yang jujur: melalui tawa dan empati.
Barangkali memang semua orang memiliki badut dalam diri mereka; makhluk yang tak henti-henti melonjak, suka bermain, dan tak bisa diam itu selalu gelisah sejak pertama kali kita dituntut tumbuh dewasa. Meski demikian, jarang kita meluangkan waktu mendengarkan dorongan hati yang lucu itu. Hanya sesekali, jika kita merasa cukup berani mengambil risiko, kita membuat muka lucu terhadap anak-anak di bus, berjoget kecil mengikuti suara musik di mal, atau mengeluarkan bunyi-bunyian aneh ketika pertengkaran rumah tangga memanas.
Apa risiko terburuk dari tingkah konyol itu? Jika akibatnya tak sesuai dengan harapan, toh kita selalu bisa berhenti, menarik napas dalam-dalam, dan memulai lagi.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Badut"