Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEBAGAI alat pertahanan negara, Tentara Nasional Indonesia harus setia kepada konstitusi. Maka sudah sepantasnya calon Panglima TNI adalah sosok yang mampu menjaga konstitusi. Kesetiaan Panglima TNI adalah kepada negara, bukan pemerintah apalagi partai politik.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kepada Dewan Perwakilan Rakyat, Presiden Joko Widodo akan mengusulkan Kepala Staf Angkatan Laut Laksamana Yudo Margono sebagai calon Panglima TNI. Yudo akan menggantikan Jenderal Andika Perkasa yang segera memasuki masa pensiun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penunjukan Yudo bukan tanpa argumen. Sudah menjadi kelaziman Panglima TNI dijabat bergantian di antara tiga kepala staf mewakili tiga matra: darat, laut, dan udara. Andika adalah jenderal Angkatan Darat. Sebelumnya Panglima TNI dijabat wakil dari Angkatan Udara.
Tak dapat ditolak, ada pula preferensi berdasarkan kedekatan calon dengan Presiden dan DPR. Yudo ditengarai dekat dengan Istana. Ia juga pernah menemui Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan Megawati Soekarnoputri—langkah yang bisa dibaca sebagai permintaan dukungan.
Yudo bukan tanpa pesaing. Sebelumnya, Kepala Staf Angkatan Darat Jenderal Dudung Abdurachman, beserta pendukungnya, berusaha “merapat” ke sejumlah pemimpin partai. Tapi pintu Dudung tertutup karena ia pernah mengerahkan pasukan untuk memprotes anggota Komisi I DPR, Effendi Simbolon, yang mengungkap hubungan jelek Andika dan Dudung dalam rapat dengar pendapat DPR.
Lepas dari soal rotasi antar-angkatan, Yudo dan Dudung boleh-boleh saja bermanuver untuk merengkuh tongkat tertinggi TNI. Namun hendaknya yang mereka ajukan adalah gagasan untuk memperbaiki institusi, bukan beradu kesempatan untuk menyenang-nyenangkan pemerintah dan DPR lewat langkah politik jangka pendek.
Sebagai Panglima Tertinggi TNI dan Kepolisian RI, Jokowi berwenang penuh menentukan pilihan. Tapi wewenang itu hendaknya dipakai bukan untuk menjaga posisi politik Presiden, melainkan untuk memastikan TNI berada pada rel yang benar. Ia harus meyakini kandidat Panglima TNI kompeten dan berintegritas serta tidak membiarkan TNI terseret ke ranah politik yang bisa merusak demokrasi.
Kesalahan penunjukan Gatot Nurmantyo sebagai panglima mesti jadi pelajaran. Diangkat menggantikan Jenderal Moeldoko, Gatot menunjukkan sikap tidak netral dalam Pemilihan Umum 2019. Saat itu ia mendekati kelompok Islam politik yang tengah “membara” tersebab ketegangan mereka dengan Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama. Pengganti Gatot, Marsekal Hadi Tjahjanto, ditengarai membiarkan TNI mendukung calon tertentu dalam pemilu dan sejumlah pemilihan daerah. Sebelum menjadi Panglima TNI, Hadi adalah sekretaris militer Presiden Jokowi.
Sama seperti Hadi, Jenderal Andika Perkasa terpilih karena posisi politiknya. Ia dipromosikan mertuanya, Abdullah Mahmud Hendropriyono, mantan Kepala Badan Intelijen Negara. Selain dekat dengan Megawati, Hendro pendukung Jokowi dalam pemilihan presiden lalu. Andika diangkat 13 bulan sebelum pensiun.
Yudo hanya akan bertugas hingga November 2023. Dengan masa dinas singkat, sulit membayangkan ia bisa menuntaskan pekerjaan rumah TNI, dari memperbaiki kesejahteraan prajurit hingga meningkatkan kualitas tentara. Ada pula soal hak asasi manusia dan operasi keamanan di Papua. Tanpa sikap yang jelas dari pemerintah pusat, sulit menduga ia bisa mengonkretkan perdamaian di Papua dengan mengedepankan komunikasi sosial ketimbang operasi keamanan.
Sistem rotasi sebenarnya punya tujuan mulia. Sesuai dengan Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004, dengan dipimpin secara bergiliran, TNI tidak didominasi oleh satu matra seperti halnya terjadi di era Orde Baru. Dengan begitu, profesionalisme dan imparsialitas TNI bisa dijaga.
Masalahnya, pilihan presiden sangat terbatas. Kerumitan ini muncul karena jenjang karier berdasarkan sistem merit tidak menjadi acuan. Kepentingan politik dan preferensi pada perwira tertentu sering kali menyingkirkan sistem merit di dalam TNI.
Akibatnya terjadi penumpukan perwira di level menengah hingga jenderal bintang satu. Sebagai jalan keluar, pemerintah memberikan pekerjaan dan posisi yang semestinya diampu personel sipil kepada mereka. Langkah ini diyakini dapat pelan-pelan menarik kembali TNI ke ranah sipil.
Dalam tradisi militer yang profesional di era demokrasi, pemilihan Panglima TNI hendaknya bukan merupakan bagian dari negosiasi elite politik. Loyalitas Panglima TNI kepada individu atau partai politik hanya akan menjadikan TNI sebagai pesuruh yang terombang-ambing kepentingan politik jangka pendek.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo