Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BAGI para politikus, pejabat publik, dan lembaga negara di republik ini, bencana alam tak melulu menyangkut tragedi. Mendapat sorotan luas dari khalayak, musibah justru menjadi ajang aji mumpung bagi mereka untuk memoles citra.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gelagat itu tampak setelah gempa bumi bermagnitudo 5,6 meluluhlantakkan Cianjur, Jawa Barat, pada 21 November lalu. Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan menteri berbondong-bondong melawat ke lokasi bencana gempa Cianjur. Sebagian dari mereka datang menyerahkan logistik, membuat konten di kamp pengungsi, kemudian mengunggahnya di media sosial.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ada juga pejabat yang terkesan menyepelekan bencana. Hal itu misalnya dipertontonkan Wakil Ketua Komisi Infrastruktur DPR Roberth Rouw. Politikus Partai NasDem itu justru tertawa ketika pejabat Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika bersembunyi di kolong meja saat lindu yang berpusat di arah barat daya Kota Cianjur tersebut menggoyang Jakarta.
Sikap narsistik dalam merespons bencana tak cuma menjangkiti pejabat dan politikus. Penyakit tersebut bahkan telah merasuki partai politik dan lembaga negara seperti Kepolisian Republik Indonesia dan Badan Intelijen Negara. Agar terlihat responsif dan solider terhadap korban lindu, institusi tersebut memasang spanduk-spanduk raksasa di lokasi musibah. Mereka juga sangat masif memproduksi dan menyebarkan konten tentang penanganan korban di media sosial.
Penanganan bencana memang sudah selayaknya melibatkan berbagai pihak. Namun para politikus, pejabat, dan aparat seharusnya bergerak atas nama kemanusiaan. Sungguh memalukan—sekaligus menyedihkan—bila ada politikus atau pejabat yang menjadikan musibah sebagai kesempatan memoles dan mematut diri di hadapan rakyat.
Dalam situasi bencana, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) serta badan penanggulangan bencana daerah (BPBD) merupakan pihak yang berwenang dan paling kompeten mengurusi masalah di lapangan. Jika lembaga lain akhirnya dilibatkan, mereka harus di bawah koordinasi BNPB dan BPBD.
Yang kini terjadi di Cianjur, aksi tanggap darurat masih sporadis dan kurang terkoordinasi. Banyak pihak—baik perorangan, komunitas, partai politik, pejabat, maupun institusi negara—menyalurkan bantuan tanpa perencanaan dan koordinasi yang jelas. Akibatnya bantuan menumpuk di kantor-kantor pemerintah dan belum terdistribusikan secara merata.
Kegagapan para pejabat—juga sebagian besar dari kita—dalam menghadapi bencana alam tak terlepas dari minimnya pengetahuan dan keterampilan mengenai mitigasi bencana. Hidup di tengah Cincin Api Pasifik yang rawan diguncang lindu, kita umumnya tak pernah berlatih protokol pelindungan diri, apalagi membantu orang lain yang menjadi korban bencana.
Menyalurkan logistik ke daerah yang terkena dampak gempa Cianjur bukan persoalan gampang. Petugas BNPB harus menghadapi jalan yang terputus akibat lindu dan tanah longsor. Mereka juga berkejaran dengan waktu untuk mengevakuasi korban yang masih tertimbun puing-puing bangunan. Karena itu, komunikasi dan koordinasi yang baik di lapangan menjadi keniscayaan.
Politikus, pejabat, dan partai politik bagus saja bila ikut membantu meringankan beban korban bencana alam. Namun mereka harus menghentikan eksploitasi penderitaan korban demi mendongkrak citra.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo