Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Pada masa kolonial, bahasa yang digunakan dalam peraturan adalah bahasa daerah.
Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar aturan atau anjuran juga dilakukan pada masa pandemi Covid-19.
Jiwa bahasa ibu di Indonesia adalah bahasa daerah yang menghubungkan warga dengan daerahnya.
SAAT mencari peraturan tentang perburuan di Jawa Barat, manajemen Taman Buru Masigit Kareumbi (TBMK) menemukan peraturan perburuan pada masa kolonial. Uniknya, bahasa yang digunakan dalam peraturan itu bukan bahasa Belanda atau bahasa Melayu, melainkan bahasa Sunda. “Penggunaan bahasa Sunda ini menunjukkan bahwa aturan ini untuk pribumi, yang memang sudah punya tradisi berburu sejak dulu,” tutur Kang Echo, anggota Wanadri yang menjabat Manajer TBMK.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Saya pun terkesima melihat deret aturan perburuan berbahasa Sunda itu. Betapa pemerintah kolonial memperhatikan fungsi bahasa sebagai alat komunikasi. Mereka paham bahwa penggunaan bahasa yang tepat bisa menyampaikan pesan secara efektif. Saat itu bahasa daerah menjadi lingua franca (bahasa pengantar, bahasa pergaulan) sehingga mereka memilih bahasa daerah untuk menyampaikan pesan, termasuk peraturan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Penggunaan bahasa daerah sebagai bahasa pengantar aturan atau anjuran juga dilakukan dua-tiga tahun lalu. Pada awal masa pandemi Covid-19, pemerintah Indonesia melakukan hal yang sama. Pemerintah melakukan sosialisasi (cara) penanggulangan pandemi melalui berbagai bahasa daerah. Berbagai lembaga—formal dan nonformal—pun dilibatkan dalam penerjemahan pedoman berbahasa Indonesia ke bahasa daerah.
Saya yakin biaya yang digelontorkan untuk sosialisasi ini cukup besar karena dibuat dalam berbagai bahasa daerah dan disebarkan di seluruh wilayah Indonesia. Masalahnya, apakah penggunaan bahasa daerah pada berbagai alat peraga sosialisasi itu efektif? Entahlah! Saya tidak punya data tentang keefektifan sosialisasi penanggulangan pandemi Covid-19 dengan bahasa daerah. Mengukur sendiri? Banyak variabel yang harus diperhitungkan untuk mengukur keefektifan itu. Bakal banyak juga biaya yang harus dikeluarkan.
Kita berandai-andai saja. Andaikan saya menjadi perencana sosialisasi itu, saya akan mempertimbangkan keberadaan bahasa daerah, apakah masih menjadi lingua franca di wilayah sasaran atau tidak.
Satu variabel itu saja bisa beranak-pinak ke banyak variabel lain. Misalnya berapa banyak bahasa daerah yang digunakan sebagai bahasa pengantar di suatu daerah. Di Jawa Barat, setidaknya terdapat tiga bahasa daerah pituin (asli) yang digunakan masyarakat sehari-hari, yaitu bahasa Sunda, bahasa Jawa, dan bahasa Betawi. Selain itu, terdapat dialek Cerbonan dan Dermayon di bagian timur serta dialek Betawi Pinggiran di barat, yang dianggap oleh penuturnya sebagai bahasa daerah mereka. Kemudian, di mana sajakah warga menjadikan bahasa daerah sebagai lingua franca? Di sekolah, di kantor, di pasar, atau di perumahan? Kalaupun ya, jenis bahasa daerah apa yang mereka pergunakan? Pada bahasa Sunda, misalnya, apakah bahasa halus (lemes), sedang (loma), atau kasar? Dan seterusnya….
Itu baru satu provinsi. Sekarang bayangkan apabila panduan penanggulangan pandemi Covid-19 itu diterjemahkan ke 700-an bahasa daerah di Indonesia. Berat! Biayanya pun akan sangat mahal. Rasanya akan lebih mudah bila bahasa Indonesia saja yang digunakan pada panduan tersebut. Duit untuk sosialisasi berbahasa daerah itu lebih baik digunakan untuk program revitalisasi bahasa daerah. Menjadikan (lagi) bahasa daerah sebagai bahasa ibu, misalnya.
Di wilayah perkotaan dengan karakter masyarakat yang heterogen, tentu saja, penggunaan bahasa menjadi sangat kompleks. Campur kode dan alih kode adalah fenomena bahasa yang terjadi sehari-hari. Bahkan bahasa ibu pun sudah tak jelas lagi. Seorang anak yang baru belajar bicara sudah diajari tiga bahasa (yang bukan bahasa daerah). Jadilah bahasa ibu anak tersebut berupa bahasa gado-gado, misalnya bahasa Indonesia, bahasa Inggris, dan bahasa Arab.
Salah? Ah tidak juga! Tuntutan zaman sudah seperti itu dan bahasa mengikuti perkembangan zaman. Anak-anak dituntut bisa menggunakan bahasa Indonesia karena bahasa pengantar di sekolah dan pergaulan nanti adalah bahasa Indonesia. Anak-anak juga dituntut untuk bisa “bahasa bisnis” seperti bahasa Inggris, bahasa Mandarin, dan bahasa Korea untuk bekal usaha mereka. Anak-anak juga perlu diajari “bahasa agama” seperti bahasa Arab, bahasa Sanskerta, dan bahasa Ibrani untuk kepentingan pemahaman terhadap agama.
Lalu apa masalahnya sehingga harus ada revitalisasi bahasa daerah dan menjadikannya lagi sebagai bahasa ibu? Bahasa ibu ibarat Vitraya Ramunong (Pohon Jiwa) dalam film Avatar. Vitraya Ramunong adalah pohon suci suku Na’vi yang dapat menghubungkan jiwa warga Na’vi dengan Eywa (Great Mother), satu-satunya dewa Na’vi. Ah, kita sebut saja Eywa adalah Ibu Pertiwi (Tanah Air) yang menjadi jiwa Na’vi. Karena itu, suku Na’vi sangat ketat menjaga Vitraya Ramunong. Andaikan “Pohon Jiwa” itu tercerabut, putuslah hubungan dengan Eywa dan tidak akan ada lagi Na’vi.
Seperti Vitraya Ramunong, bahasa ibu dapat menghubungkan masyarakat dengan Ibu Pertiwi serta budayanya. Selama ini, jiwa bahasa ibu di Indonesia adalah bahasa daerah yang menghubungkan warga dengan daerahnya. Andaikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu tercerabut dan digantikan dengan bahasa lain, tentu hubungan dengan budaya leluhur pun terputus dan berganti dengan budaya baru. Ketika budaya telah berganti, tak ada lagi ciri bangsa. Leungit basana ilang bangsana (Hilang bahasanya, punahlah bangsanya). Karena itu, bila masih ingin Sunda, Jawa, Batak, Ambon, dan suku-suku lain tetap eksis, jadikanlah lagi bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Selamat memperingati Hari Bahasa Ibu!
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo