Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Target pemerintah untuk swasembada gula tak tercapai.
Perusahaan negara sektor gula sulit bersaing dengan perusahaan swasta.
Pemerintah memberikan hak monopoli kepada perusahaan negara perkebunan untuk impor gula.
RENCANA pemerintah mengejar swasembada gula bagai memutar lagu lama yang tak pernah ada habisnya. Setiap kali pemerintah Joko Widodo gagal mewujudkan ambisi tersebut, para menteri di kabinet mematok target baru untuk mencapai swasembada di tahun yang berbeda. Target yang bolak-balik berubah itu menunjukkan tak mangkusnya berbagai strategi pemerintah mengurus komoditas gula.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ambisi mengejar kemandirian pasokan bahan pangan strategis tersebut kini bergulir lewat rancangan peraturan presiden tentang percepatan swasembada gula. Melalui ketentuan ini, pemerintah mematok target swasembada gula konsumsi pada 2025 dan gula rafinasi pada 2030. Sepintas tak ada yang keliru dengan tujuan mulia ini. Namun salah satu pasal dalam rancangan peraturan tersebut justru memberikan kuota impor kepada PT Perkebunan Nusantara (PTPN) III.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Alih-alih memberantas mafia gula dan melindungi petani, pemberian monopoli impor ini membuka peluang bagi segelintir orang mengeruk keuntungan. Pembatasan impor melalui sistem kuota akan makin menyuburkan praktik oligopoli dan menjadi ladang korupsi. Skema ini jelas makin menjauhkan cita-cita kita memperbaiki tata niaga gula.
Wajar bila muncul syak wasangka: fasilitas ini diberikan kepada PTPN III karena perusahaan negara sulit bersaing dengan perusahaan swasta. Terbatasnya pasokan bahan baku dari perkebunan tebu membuat pabrik-pabrik gula badan usaha milik negara tidak bisa beroperasi optimal. Pemberian kuota impor gula kristal putih dan gula kristal mentah ditengarai sebagai jalan agar pabrik gula di bawah PTPN bisa beroperasi sesuai dengan kapasitas terpasang.
Apalagi Kementerian BUMN baru saja membentuk Sugar Co, holding pabrik gula perusahaan negara. Setelah konsolidasi selesai, Sugar Co akan melepas 35 pabrik kepada investor. Perbaikan kinerja menjadi syarat agar pabrik-pabrik pelat merah ini dilirik pemodal asing ataupun lokal.
Pembentukan holding BUMN gula ini sebenarnya pertanda bahwa pemerintah kehabisan cara untuk mewujudkan ambisi swasembada. Revitalisasi mesin dan pabrik gula selalu menemui jalan buntu. Padahal revitalisasi menjadi dalih pemerintah untuk mengucurkan penyertaan modal negara.
Program revitalisasi ini sudah menghabiskan triliunan rupiah sejak pemerintahan Jokowi periode pertama. Hasilnya, pabrik gula milik negara tak kunjung sehat dan gagal menjalankan misi pemerintah mencapai swasembada gula. Bukan hanya mesin pabrik yang uzur, model bisnis yang tidak transparan dan cenderung melayani kroni membuat kinerja pabrik gula milik negara jalan di tempat.
Persoalan di hulu tak kalah ruwet. Produktivitas lahan tebu rakyat ataupun PTPN kian merosot. Seretnya pasokan tebu membuat produksi dalam negeri tak pernah mampu memenuhi kebutuhan gula nasional, baik untuk konsumsi maupun industri, yang tahun ini diperkirakan mencapai 6,48 juta ton.
Dengan kondisi ini, Indonesia tidak mungkin menghindar dari impor gula. Tapi keran impor mesti dibuka seluas-luasnya bagi semua pelaku usaha melalui mekanisme pasar. Hanya dengan kompetisi terbuka kita bisa menciptakan swasembada gula yang efisien dan berkelanjutan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo