Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Kabinet Para Juragan Partai

Jika motif perombakan kabinet adalah pemberian konsesi politik, apakah kita masih bisa berharap persoalan publik dapat diselesaikan lewat penggantian menteri?

18 Juni 2022 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Pertimbangan reshuffle masih sarat kepentingan politik akomodasi dan kompromi.

  • Reshuffle kabinet tidak berbasis evaluasi kinerja.

  • Reshuffle kabinet kental dengan bagi-bagi kue kekuasaan.

SUDAHLAH. Mari akui saja bahwa reshuffle atau perombakan kabinet Presiden Joko Widodo baru-baru ini semata-mata untuk mengakomodasi politik akomodasi. Tak perlu bersilat lidah penggantian ini untuk memperbaiki kinerja pemerintah. Tak perlu juga capek-capek mencocok-cocokkan latar belakang menteri pengganti dengan pos yang diisinya. Perombakan kabinet merupakan hak prerogatif presiden—konsekuensi logis dari sistem presidensial yang kita anut. Jadi tak perlu nyinyir mempersoalkan apakah menteri yang baru bisa memperbaiki kinerja pejabat sebelumnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Reshuffle kali ini menyasar dua pos. Menteri Perdagangan, yang sebelumnya diisi pengusaha Muhammad Lutfi, diganti oleh Ketua Umum Partai Amanat Nasional Zulkifli Hasan. Belum genap setahun bergabung dengan koalisi pemerintah, PAN berada di barisan partai koalisi dalam mengegolkan sejumlah rancangan undang-undang, seperti omnibus law Undang-Undang Cipta Kerja dan Undang-Undang Ibu Kota Negara. Zulkifli pernah menjadi Menteri Kehutanan pada era Susilo Bambang Yudhoyono. Saat itu ia dikritik karena banyak memberikan konsesi pengelolaan hutan, perkebunan, dan pertambangan. Namanya juga pernah terseret kasus alih fungsi hutan di Riau pada 2014 yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yang lainnya adalah bekas Panglima Tentara Nasional Indonesia, Hadi Tjahjanto, yang menggantikan Sofyan Djalil sebagai Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional. Hadi dikenal dekat dengan Presiden sejak Jokowi menjabat Wali Kota Solo. Baik Lutfi maupun Sofyan adalah menteri nonpartai.

Ada pula tiga wakil menteri baru. Dua nama adalah pemimpin partai koalisi nonparlemen: Sekretaris Jenderal Partai Solidaritas Indonesia Raja Juli Antoni menjadi Wakil Menteri Agraria dan Sekretaris Jenderal Partai Bulan Bintang Afriansyah Noor sebagai Wakil Menteri Ketenagakerjaan. Satu lagi adalah John Wempi Wetipo, politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan asal Papua yang bergeser posisi dari Wakil Menteri Pekerjaan Umum menjadi Wakil Menteri Dalam Negeri.

Masuknya Zulkifli Hasan dapat memperkuat koalisi pemerintah di Dewan Perwakilan Rakyat. Bergabungnya PAN membuat koalisi partai politik menguasai 81,9 persen kursi. Di kabinet, menteri asal partai menjadi 18 dari 34 orang atau 53 persen. Empat menteri bahkan merupakan ketua umum partai.

Perekrutan Hadi Tjahjanto kuat diduga dilakukan untuk mengimbangi kekuatan politik militer menjelang 2024, selain mengakomodasi Hadi sebagai karib lama Jokowi. Dapat dipastikan masuknya politikus PSI, PBB, dan PDIP di pos wakil menteri juga karena alasan keseimbangan politik.

Dengan kata lain, jangan berharap urusan orang banyak akan beres lewat perombakan kabinet ini. Jangan berpikir harga minyak goreng akan kembali normal setelah Menteri Perdagangan diganti. Jangan pula menyangka urusan agraria dan sertifikasi lahan akan lancar setelah kementerian dipimpin seorang bekas petinggi militer. Jangan pula mempersoalkan kompetensi: Raja Juli mengaku bahwa agraria bukan bidang yang dikuasainya—karena itu ia minta dibimbing.

Walhasil, dalam perombakan ini publik cuma jadi penonton. Mereka tak tahu alasan di belakang pergantian menteri—boro-boro ikut sumbang saran. Dalam politik yang dikuasai oligarki dan juragan partai, publik adalah obyek yang dipaksa pasif.

Jokowi menjadi konduktor juragan-juragan itu. Tak datang dari partai politik, ia menghimpun kekuatan para oligark. Ia memberikan konsesi kepada partai—termasuk membiarkan jabatan menteri dipakai sebagai alat untuk mendulang suara dalam pemilihan umum—agar tujuan politiknya tercapai. Alih-alih menyampaikan rapor para menteri kepada masyarakat sebelum merombak kabinet, ia unjuk kekuatan dengan cara yang tak subtil: berjalan bersama ketua partai sesaat sebelum pelantikan menteri baru—simbol kekompakan dan pengendalian kekuasaan.

Kekuasaan itulah tampaknya yang akan terus dijaga hingga 2024 dan setelahnya. Secara formal kekuasaan Jokowi memang akan berakhir dua tahun lagi. Tapi tak ada yang bisa memastikan “ide gila” penundaan pemilu atau presiden tiga periode tidak terus diupayakan. Jikapun rencana itu gagal, Jokowi membutuhkan partai politik untuk pelbagai kepentingan politik jangka pendek: dari transisi kekuasaan hingga perlindungan hukum dan politik setelah ia berkuasa.

Dengan kenyataan itu, mengharapkan reshuffle menghasilkan kabinet zaken yang cakap, profesional, dan mengabdi pada kepentingan publik di akhir kekuasaan Jokowi adalah mimpi di siang bolong.

Artikel:

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus