Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dan jadilah aku Maut, pemusnah dunia.
— Oppenheimer, setelah menyaksikan dahsyatnya ledakan bom atom yang ia siapkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIGA bulan setelah bom atom diuji coba di padang pasir terpencil Jornada del Muerto, Hiroshima luluh lantak. Kemudian Nagasaki. Bom itu dijatuhkan di kedua kota Jepang itu, 6 Agustus 1945. Diperkirakan lebih dari 200 ribu manusia tewas, termasuk korban efek radiasi dan api yang menyembur bagaikan badai. Hampir semua bangunan di radius satu mil dari pusat ledakan roboh. Perumahan penduduk musnah.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Rusia, di Uni Soviet, peristiwa ngeri yang mengubah sejarah dan corak peperangan itu nyaris tak jadi berita. Koran resmi Partai Komunis, Pravda, memuat hanya selintas, dan itu sehari kemudian. Tidak ada komunike dari Kremlin.
Tapi setidaknya ada dua orang yang terperanjat—dua orang yang membuat sejarah.
Yang pertama Stalin, pemimpin tertinggi Uni Soviet. Menurut cerita seorang yang menyaksikan, Stalin murka. Ia menghantam meja dan menggedrukkan kakinya, kesal karena tim ilmuwan yang diberi tugas menyiapkan bom atom lambat bekerja.
Yang kedua seorang fisikawan muda berumur 24, Andrei Sakharov. Hari itu ia sedang ke toko roti ketika ia baca berita Hiroshima. Sejarawan Richard Rhodes, dalam Dark Sun: The Making of the Hydrogen Bomb, bercerita bagaimana Sakharov—orang yang kelak dijuluki “Bapak Bom Hidrogen” Soviet—begitu terkejut hingga “kedua kakinya mendadak lemah”.
Sakharov tahu apa yang terjadi. Ia bukan awam. Di tahun 1945 itu ia mempersiapkan pendidikan doktoralnya di Institut Lebedev di departemen fisika Akademi Sains Uni Soviet. Gurunya Igor Evgenyevich Tamm, fisikawan yang kemudian, di tahun 1958, menerima Hadiah Nobel.
Juni 1948, Tamm merekrut Sakharov yang cemerlang itu untuk bergabung dalam grup ilmuwan yang ditugasi Stalin mengembangkan senjata nuklir. Pandangan Kremlin berubah. Sementara sampai 1945 proyek nuklir Soviet hanya dikerjakan beberapa peneliti yang tak diberi dana cukup, setelah bom di Hiroshima, pembangunan besar-besaran dimulai.
Sejak itu, apa yang dicemaskan Oppenheimer—yang dengan jeri menyaksikan efek ledakan bom atom—terbukti: perlombaan persenjataan nuklir antara Amerika Serikat dan Uni Soviet berjangkit.
Stalin bertekad habis-habisan. Meskipun dari reruntukan Perang Dunia II, ia hanya bisa berangkat nyaris dari nol.
Di tahun 1942 Igor Kurchatov ditunjuk memimpin program nuklir, meskipun orang Rusia lulusan Institut Politeknik Leningrad ini berijazah arsitek angkatan laut, dan praktis hanya belajar sendiri ilmu nuklir.
Tapi, dalam usia 39, Kurchatov membuktikan diri pakar dan pekerja yang ulung. Dengan tubuh tinggi dan jenggot lebat, ia seorang pemimpin tim yang karismatik. Dengan sikap hangat yang bersungguh-sungguh, ia bisa meyakinkan bahkan seorang Stalin. Ketika Stalin menegurnya karena tim persenjataan nuklir tak segera menghasilkan apa yang dipesan, Kurchatov menjawab dengan melukiskan kondisi sosial-ekonomi masa itu: “Begitu banyak yang hancur, begitu banyak orang mati. Orang kelaparan dan makanan dijatah. Di mana-mana kekurangan.”
Stalin menjawab: “Jika bayinya tak menangis, ibunya tak akan tahu yang dibutuhkannya. Kamu minta saja apa yang kamu perlu. Tak akan ada yang ditolak.”
Kurchatov dan timnya pun mendapat kemudahan apa saja—juga perumahan pribadi yang mentereng, satu hal yang langka di Uni Soviet sehabis perang. Tapi lebih dari itu, sejak musim semi 1943, Kurchatov beroleh akses untuk membaca dan mengevaluasi perkembangan persenjataan nuklir AS, dari kerja spionase Soviet.
Sukses spionase itu terutama ditunjukkan Klaus Fuchs. Orang Jerman ini bukan mata-mata biasa: ia dikenal sebagai ahli fisika theori, yang bebas masuk ke dalam “Proyek Manhattan”—proyek AS menyiapkan produksi bom atom. Fuchs bahkan ikut dalam uji coba di Jornada del Muerto. Dari sana ia membuat laporan ke dinas intelijen Soviet.
Akhirnya, Uni Soviet bisa lebih cepat memproduksi bom ketimbang yang semula diharapkan. Dan bukan hanya itu. Sakharov mampu mendesain senjata pemusnah massal—bom hidrogen—yang jika diledakkan akan menghasilkan karbon radioaktif yang efek globalnya mencabut nyawa manusia selama 8.000 tahun mendatang.
Sehabis uji coba bom H yang dijuluki “Bom Tsar” November 1955, Kurchatov menyaksikan dari dekat wilayah ledakan. Rasa ngeri terbit di hatinya melihat muka bumi jadi kawah-kawah besar, meskipun bom yang dijatuhkan dari pesawat TU-26 itu meledak di ketinggian 10 ribu kaki lebih. Ia kembali ke Moskow. “Senjata ini harus tak pernah boleh dipergunakan…,” itu kesimpulannya.
Ia sering disejajarkan dengan Oppenheimer dari kubu musuh: orang yang di baris depan memproduksi senjata pemusnah massal, tapi juga orang yang di garis depan memperingatkan horor kematian di balik itu.
Ia sendiri jadi contoh.
Januari 1949, malapetaka terjadi di Chelyabinsk-40, dengan korban yang mungkin lebih banyak ketimbang bencana di Chernobyl di tahun 1986. Kurchatov datang untuk memeriksa. Tanpa mengenakan masker pengaman, ia masuk ke ruangan sentral yang penuh gas radioaktif. Sejak itu kesehatannya merosot. Ia meninggal di Moskow dalam umur yang relatif muda, 57.
Mungkin film Oppenheimer perlu disusul film baru tentang ilmuwan Soviet ini—dan persoalan ethis dihidupkan kembali: sejauh mana nilai-nilai bisa diabaikan di tengah berkibarnya hasrat kekuasaan.
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo