Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Cangkemisme, Èsèk-èsèkisme...

Kasijanto Sastrodinomo*

8 Februari 2019 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Yapi Tambayong, atau lebih bekèn sebagai Remy Sylado, tanpa banyak publikasi, menerbitkan Kamus Isme-isme (Nuansa Cendekia, 2015). Di dalamnya terhimpun 958 lema yang semuanya berakhiran -isme dalam filsafat, teologi, seni/budaya, sosial, politik, hukum, psikologi, biologi, dan medis. Agak berbeda dengan literatur tentang isme yang biasanya terpaku hanya pada paham-paham besar universal—misalnya imperialisme, Marxisme, kapitalisme, dan sosialisme—kamus ini unik karena juga, untuk pertama kalinya, mencatat “isme-isme kecil” yang khas Indonesia dan terkesan sepele.

Kata Jawa cangkem, misalnya, dalam kamus ini dientri menjadi cangkemisme, yang pada intinya menunjuk pada berbagai hal yang bersifat nirtulis. Bahwa cangkem alias mulut merupakan satu-satunya alat utama manusia untuk memproduksi kelisanan tentulah tak perlu dijelaskan lagi. Namun, dalam kamus ini, Remy menguak lebih mendalam bahwa cangkemisme sejatinya menyiratkan “ketakberdayaan kultural atas tradisi tulis”. Itu menjadi semacam catatan kritis bahwa secara umum masyarakat negeri ini lemah dalam budaya tulis. Tapi, seperti disebut Jan Vansina (dalam Oral Tradition as History, 1985), kenyataan itu tak perlu menafikan kelisanan sebagai sebuah peradaban yang sejajar dengan peradaban tertulis.

Yang mungkin mengagetkan pada kamus ini ialah kata informal sehari-hari bisa ditabalkan menjadi isme. Lema èsèk-èsèkisme, sebagai contoh lain, diangkat dari ragam cakapan kasar èsèk-èsèk, yang selama ini dipakai untuk mengolok-olok perilaku atau tindakan asusila. Tapi penyusun kamus ini mempercanggih pemahaman kata itu sebagai “haluan” baru pers Indonesia pasca-Orde Baru. Argumennya, pers Indonesia pada era reformasi itu lebih terbuka dan lebih berani, termasuk tak gentar memuat foto atawa gambar “seronok”. Jadi, èsèk-èsèkisme, dalam hal ini, menyiratkan makna demokratis dan semacamnya.

Kriteria pemilihan kata/istilah yang dientri dalam kamus ini jadi terasa longgar. Sebagian besar lema memang menjelaskan bermacam isme yang telah menjadi pandangan hidup manusia, bahkan “that shape the fate of the world” (mengutip William Ebenstein dalam Today’s Isms, 1965), seperti isme-isme besar itu. Namun sebagian lema yang lain rasanya masih perlu ditelisik keismeannya: adakah telah menjadi semacam paham, apalagi aliran, atau sekadar ujaran iseng sehari-hari pada waktu tertentu, tapi kemudian raib bersama sang waktu. Lema bondonisme, glamgoliisme, gongliisme, dan gronisme bisa jadi hanyalah kenangan masa muda penyusun kamus ini saat tinggal di Bandung sekian tahun lalu.

Rekaman kenangan itu makin terlihat pada lema Bandungsentrisme dan mbelingisme, yang menempatkan Remy Sylado sebagai tokoh sentralnya. Kedua “isme” itu menggambarkan gerakan kreatif-dekonstruktif anak muda Kota Kembang pada 1970-an dalam estetika kesenian. Flashgordonisme pun tampaknya merupakan ingatan Remy pada film Flash Gordon yang pernah diputar di Manado—kampung halamannya—sekian puluh tahun silam. Film cerita tentang manusia yang bisa melejit ke ruang angkasa dengan cara menunggang roket itu dianggap bualan besar. Flashgordonisme jadinya si-nonim hoaks alias omong kosong. Kata baflas atau berflas (-gordon) di negeri Kawanua sana ber-arti bicara besar tapi bohong belaka.

Lema kolonialisme tentu relevan dengan sejarah Indonesia, yang pernah mengalami masa penjajahan. Intinya, kata itu berarti politik penjajahan orang Eropa terhadap negeri seberang lautan dengan motif ekonomi. Sebagai sintesis, Indonesiasentrisme kiranya layak ditimbang masuk kamus serupa ini. Itulah gerakan kaum cendekia Indonesia, antara lain Soedjatmoko dan Sartono Kartodirdjo, menjelang akhir 1950-an, yang menggagas urgensi menulis sejarah Indonesia pascakolonial dengan menempatkan aktor negeri sendiri di atas pentas historisnya. Indonesiasentrisme lalu berkembang sebagai wawasan atau perspektif nasionalitas.

Akan halnya bapakisme tambah lengkap bila didampingi ibuisme yang pernah dikaji Madelon Djajadiningrat-Nieuwenhuis dari Negeri Belanda dalam Ibuism and Priyayization (1987) dan Julia Suryakusuma dalam State Ibuism (1991). Kedua feminis itu sama-sama berbicara tentang pertalian keperempuanan dan politik Orde Baru di Indonesia.

Terasa renyah dikunyah kamus ini, seperti biasanya tulisan “Sang Pembeling” (atau mbelinger). Demi kecermatan, ejaan nama Yapi pada kulit luar kamus dan Yapy yang tertulis empat kali pada kolofon dan Katalog Data Terbitan perlu diselaraskan. Apakah widya patologi yang disebut di beberapa bagian lema tidak lewah? Karena widya adalah pengganti -logi (ilmu pengetahuan). Bahasawan Ayatrohaédi pernah menawarkan widyapurba sebagai alternatif arkeologi, misalnya.

*) Pengajar Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus