Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Boneka itu berwajah Mahatma Gandhi.
Dengan upacara itu, ia merayakan hari terbunuhnya “Bapu”, sang Bapak India.
30 Januari 1948: negeri 330 juta manusia itu belum lagi satu tahun umurnya sebagai republik. Para pendirinya sedang hendak mengukuhkan tanah air baru yang diisi puluhan jenis agama itu jadi sebuah negara yang tak memihak kepada umat mana pun—tak juga kepada mayoritas. Mereka ingin membangun perdamaian sosial dengan keadilan.
Tapi konflik antar-agama tak teredam. Kekerasan menggebrak di mana-mana, bahkan sampai hari ini. Api terus menyala dalam sekam, dan di antara baranya, Mahasabha—organisasi orang yang menghendaki umat Hindu diutamakan— menatap dengan getir India yang “sekuler”.
Dan marah kepada Gandhi.
Orang ini punya sikap religius yang berbeda: ia menyebut diri Hindu, tapi di ashram-nya doa yang dibaca tak hanya diambil dari Bhagawat Gita; juga Injil dan Quran.
“Aku percaya kepada Kebenaran fundamental semua agama besar di dunia,” kata Gandhi. “Dan aku percaya, kalau saja kita dapat membaca kitab suci kepercayaan yang berbeda-beda dari sudut pandang para pengikut agama itu, kita akan dapat menemukan di dasar itu mereka semua satu dan saling membantu.”
Agama, bagi Gandhi, bukanlah “sektarianisme”.
Dengan keyakinan seperti itu, dengan mengenakan kain yang dicawatkan di antara paha dan sehelai selimut di tubuhnya yang ringkih, Gandhi mencoba mengubah India. Keyakinan nasionalismenya begitu rupa, hingga—mengutip Salman Rushdie dalam Midnight’s Children—India jadi “mithos baru—sebuah fiksi bersama di mana apa saja tak mustahil”.
Tapi Gandhi gagal. Dengan masygul ia menyaksikan yang tak bisa ia cegah. Tepat di hari kemerdekaannya, 14 Agustus 1947, tanah airnya terbelah jadi dua republik, India dan Pakistan. Meskipun di meja perundingan Partition itu berlangsung dengan tata krama, di wilayah yang terbelah jadi dua rakyat menanggungkan sejarah yang traumatis. Ratusan ribu mati, bunuh-membunuh, diperkosa, dipaksa pindah, dimelaratkan.
Sebagai pemimpin gerakan kemerdekaan India, Gandhi disalahkan karena mengantarkan kemerdekaan yang tragis. Kalangan muslim menganggapnya berpihak ke kaum Hindu, sebaliknya kalangan Hindu menuduhnya terlalu memberi peluang kepada minoritas Islam.
Pada 30 Januari 1948, Nathuram Vinayak Godse, seorang “hinduis” yang ekstrem, anggota gerakan Mahasabha, menyiapkan pistol. Ia menghadang Gandhi yang sedang mendaki empat tangga kecil untuk pertemuan doa di Birla House. Godse menembak. Di sore yang sejuk itu, sang Mahatma wafat seketika dengan tiga lubang di bawah lehernya.
30 Januari 1948, 30 Januari 2019. Godse ditangkap dan dihukum mati. Tapi kebenciannya hendak dikekalkan—dan agama membantu racun itu merayap. Pembunuhan Gandhi dirayakan, dikenang dengan gembira dan geram. Demikianlah Pooja Pandey, perempuan pemimpin Mahasabha, menembak boneka berwajah Gandhi dengan pistol angin, setelah mengalungi patung Godse, sang pembunuh, dengan karangan bunga.
Agaknya inilah zaman yang membingungkan: orang yang menyambut apa yang universal dalam kehidupan, dihancurkan. Kekuatan yang anti-universal berkibar; kebencian jadi “normal” dan terhormat. Agama sebagai rahmatul alamin berubah jadi pemecah belah.
6 Desember 1992, Masjid Babri, yang berdiri sejak abad ke-16 di Kota Ayodhya, dibakar kaum fundamentalis Hindu. Kerusuhan pun meledak selama beberapa bulan; 2.000 orang tewas. Di tahun 2019, seorang muslim digantung ramai-ramai karena disebut telah menyembelih sapi, hewan suci orang Hindu.
Ada apa dengan Hinduisme? Ada apa dengan Hinduisme di India? Ada apa dengan Islam? Ada apa dengan Islam di Pakistan, di Indonesia? Dan Budhisme di Myanmar?
Tampaknya yang universal sedang dikutuk dan agama berubah jadi perisai dan parang dalam perang, yakni perang memperebutkan posisi pengendali kehidupan. Pada saat yang sama, persaingan diam-diam terjadi dengan ilmu-ilmu dalam menjelaskan dan mengubah dunia. Di sini, ternyata agama cepat kehilangan napas. Ia tak melahirkan yang baru yang menakjubkan: penemuan DNA, terungkapnya bulan, dibangunnya AI. Agama tak bisa lagi mendatangkan malaikat dan mukjizat yang menggugah imajinasi dan takwa; justru ilmu, teknologi, dan uang yang memproduksi Superman dan Wonder Woman—fantasi baru yang disambut meriah.
Agama mencoba merebut hegemoninya dengan kekuasaan politik, tapi kekuasaan politik adalah proses yang terjadi di dunia yang berdosa. Kalaupun agama menang, atau merasa menang, ia tak akan bisa membuat hidup jadi 100% suci.
Dalam frustrasi yang panjang, agama pun jadi agresif, dan ribuan Godse membunuh ribuan Gandhi, dan Tuhan entah mereka apakan.
Goenawan Mohamad
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo