Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

kolom

Gelar

Gelar, yang dianggap simbol pengakuan, sebenarnya tak sepenuhnya bersifat dialogis. Gelar ditentukan setelah ada otoritas untuk menilai prestasi seseorang. Perlu ada hakim yang sabdanya tak untuk diragukan: universitas, istana, atau ketua adat.

12 Juni 2021 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

BEBERAPA puluh tahun yang lalu, di sebuah rumah indekosan yang penuh di Semarang, ada dialog begini:

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

T: “Dik, siapa yang di kamar mandi, ya? Kok, lama.”

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

J: “Doktorandus, Mas....”

Nama tampaknya bisa diabaikan, tapi gelar tidak. Tentu saja waktu itu gelar “doktorandus” atau “doktoranda” masih punya nilai, baik untuk cari kerja maupun cari jodoh, dan sebab itu dipasang di mana-mana. Inflasi itu pelan-pelan memerosotkannya, dan bersamaan dengan itu peraturan resmi mengubahnya. Sekarang gelar lain berderet-deret di pasar; sudah inflasi juga, tapi belum secara umum disadari.

Orang Indonesia, kata seorang kenalan yang pernah tinggal di beberapa negara di Afrika, mirip orang Nigeria: gila gelar.

Pejabat, politikus, bahkan pegawai tingkat bawah berharap dipanggil “Oga”. Jika kita datang ke kantor pemerintah atau swasta, anggota staf tingkat rendah sekalipun akan tak bersikap ramah bila kita tak memanggilnya “Oga”.

Kata ini berarti “boss”. Karena di atas boss ada boss lain—dan itulah birokrasi—maka yang paling puncak disebut “Oga at the Top”.

Di eselon yang lebih tinggi, tempelan pada nama Nigeria—kita lihat di meja kerja atau di kartu nama—bisa CEO, GMD, MD, GM, PS, ED, HOD, VC, PA, SA. Kadang-kadang satu, tak jarang berjejer.

Ada gelar yang didapat karena prestasi yang sah di perguruan tinggi, ada yang didapat karena beli, ada karena transaksi politik.

Seperti di Indonesia, jual-beli gelar berlangsung secara diam-diam. Bukan hanya di dunia akademik, juga di dalam hierarki tradisional. Yang agaknya istimewa di Nigeria, gelar biasa ditulis di pelat nomor mobil. Mobil, simbol harta dan kuasa, ditambahi simbol martabat lain, yang membuat si pengendara boleh melanggar aturan di mana perlu. Polisi gentar. Beda antara “gelar” dan “gertak” sangat tipis.

Tak mengherankan jika gelar bukan hanya jadi komoditas, tapi juga obyek persaingan. Orang tak cukup hanya mencantumkan tanda keunggulan kelasnya. Mereka juga menambahkan nomor: “Ogbuokuku 1”, “Ogbuewu 1”, atau “Ogbuefi 1”. Tak ada yang nomor dua dan tiga, tentu saja.

Seperti di Indonesia, orang di Nigeria ingin dapat pengakuan di masyarakat. Hasrat yang lumrah, tapi kadang-kadang membuat orang seperti sinting, ketika pengakuan diperjuangkan dengan usaha habis-habisan. Bahkan rasa malu dikorbankan. Untuk diakui sebagai “pemberani”, misalnya, seseorang lari telanjang bulat menyeberangi lapangan bola sewaktu sebuah pertandingan final. Untuk diakui sebagai “ilmuwan yang pintar”, orang berpidato satu jam mengutip Derrida, Foucault, Habermas (yang tak dipahaminya) di tiap alinea.

Kata “pengakuan” dalam bahasa Inggris disebut “recognition”.

Dalam kata recognition terkandung akar kata cognosere, “mengetahui”. Yang sering dilupakan, sejauh mana orang bisa mengetahui orang lain hingga bisa mengambil kesimpulan tentang dia dan menilai prestasinya? Tidakkah dengan klaim “mengetahui” orang lain kita sering meringkus orang lain itu ke dalam perspektif kita?

Berbeda dengan recognition, kata “pengakuan”—terhadap orang lain—lebih kaya kandungannya. Dalam “peng-aku-an” ada aku, subyek, yang memperlakukan seorang lain juga sebagai aku, subyek. Posisi aku sebagai subyek itu penting. Jika “pengakuan” itu dipaksa, dan hasilnya adalah sederet tepuk tangan pura-pura, yang memberi aplaus bukan subyek, melainkan obyek. Juga yang diberi aplaus palsu itu: ia diperlakukan sebagai obyek—yakni obyek penipuan.

Dengan kata lain, dalam pengakuan yang tak palsu, yang berlangsung adalah interaksi antara “aku X” dan “aku Z”. Keduanya sama-sama dihargai harkatnya. Hubungan mereka bukan hubungan antara bos dan anak buahnya.

Pengakuan orang lain yang merdeka berpikir dan berpendapat dan jujur itulah yang membangun kesadaran diriku sebagai “subyek”. Pengakuan adalah proses intersubyektif. Ketika Hegel memperkenalkan kata “perjuangan untuk pengakuan”, Kampf um Anerkennung, orang dapat kesan ia anggap pengakuan berlangsung dengan konflik. Tapi saya kira ia tak menanggalkan sifat dialogis dalam Anerkennung.

Gelar, yang dianggap simbol pengakuan, sebenarnya tak sepenuhnya bersifat dialogis. Gelar ditentukan setelah ada otoritas untuk menilai prestasi seseorang. Perlu ada hakim yang sabdanya tak untuk diragukan: universitas, istana, atau ketua adat.

Tapi otoritas itu membuat gelar jadi seperti ijazah yang dipigura. Wibawanya justru dalam arti yang stabil tapi mandek. Seperti tampak dalam gelar raja-raja Jawa: Paku Alam, Paku Buwono, Amangkurat, Hamengku Buwono. Semua menggarisbawahi kecenderungan yang tegar dan yang statis.

Gelar akademis tak mirip gertak yang intimidatif seperti itu. Jika kita setuju ilmu pengetahuan adalah sesuatu yang dicari sampai ke liang lahad, gelar hanyalah ibarat halte dalam perjalanan. Bukan akhir, bukan puncak. Maka di perguruan tinggi yang mengutamakan keilmuan, para ilmuwan hanya menggunakannya sesekali. Dan jika itu bukan menandai prestasi akademis—seperti gelar doctor honoris causa—penerimaan yang paling pas adalah dengan gaya Bob Dylan.

Di tahun 1970, Universitas Princeton memberinya gelar doktor kehormatan di bidang musik. Ia menerimanya dengan bingung. Selama upacara tak ada pidato. Bob Dylan diam. Selesai upacara ia langsung naik mobilnya, pergi. “All I can be is me–whoever that is.”

GOENAWAN MOHAMAD
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus