Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Perdebatan buku biografi Nabi Muhammad oleh Maxime Rodinson.
Penulis lain mencoba mendudukkan perkaranya.
SEORANG Yahudi di abad ke-20, yang juga seorang Marxis yang tangguh, menulis biografi seorang nabi dari dunia Arab yang hidup di abad ke-6—nabi yang lazimnya diperlakukan sebagai tokoh di atas sejarah: Maxime Rodinson menulis riwayat hidup Muhammad s.a.w. dalam sebuah buku yang disambut kalangan luas, suka atau benci.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Bisa dikatakan ia menempuh jalan sempit dengan risiko berlapis-lapis. Bisa dikatakan juga karyanya menjadi buku yang langka dan cemerlang. Muhammad, yang terbit di tahun 1961 (versi Inggrisnya, Mohammed, tahun 1971), dinilai oleh penulis Tariq Ali dalam The London Review of Books, 17 Juni 2021 yang lalu sebagai “the most stimulating, balanced and sympathetic secular biography”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tentu saja Tariq Ali berangkat dari pandangan yang berbeda dari orang-orang yang marah di Kairo. Di tahun 1999, buku itu ditarik dari kurikulum The American University di ibu kota Mesir itu karena dianggap “menghina Islam”.
Rodinson sendiri memperingatkan: “Saya tak ingin memperdaya siapa pun.... Saya tak percaya Quran itu kitab Allah. Seandainya saya percaya, saya semestinya muslim. Tapi Quran ada, dan karena saya, sebagaimana banyak orang nonmuslim lain, tertarik menelaahnya, wajar jika saya terdorong untuk menyatakan pendapat saya.”
Menyatakan pendapat tentang seorang yang demikian dipuja dan dihormati, tapi pada saat yang sama juga sebuah sosok sejarah yang kontroversial, sama saja dengan mengundang polemik.
Di satu pihak, di kalangan muslim, ada kecenderungan menjelaskan semua fenomena empiris dengan pedoman agama—Rodinson menyebutnya “theologisentris”. Apalagi tentang Nabi. Di lain pihak, seperti yang sering dikemukakan “kaum rasionalis Kristen”, Muhammad dianggap pemalsu, yang menyatakan bahwa apa yang diutarakannya sabda Tuhan, padahal hasil pikirannya sendiri.
Rodinson seorang atheis. Tapi ia bukan seorang yang menutup diri dengan angkuh seperti para “atheis baru”. Baginya, “Muhammad benar-benar mengalami fenomena indrawi, sensory experience, yang diterjemahkan ke dalam kata dan kalimat dan ia tafsirkan sebagai pesan dari Wujud Yang Maha Tinggi.... Ketulusan hatinya tak bisa diragukan, terutama di Mekkah ketika… Allah didesak-desak dipinggirkan, dikecam, yang membuat Muhammad mengambil langkah yang ia sebenarnya sangat tak ingin lakukan.”
Tentu saja Rodinson memperkenalkan Muhammad sebagai manusia biasa—satu hal yang wajar, karena tokoh ini tak pernah mengklaim lebih. Rodinson mencoba memahami “bagaimana sifat pribadi Muhammad, yang tumbuh dari struktur kejiwaan dan sejarah pribadinya, menyiapkan dirinya untuk menerima Pesan spesial yang ia yakini datang dari Tuhan”.
Sebagai Marxis, Rodinson juga mencoba memahami mengapa Wahyu itu cocok dengan kebutuhan lingkungannya hingga diterima dengan bersemangat oleh seluruh dunia Arab dan di luarnya.
Dalam bukunya memang tampak Rodinson—tanpa menyembunyikan kelemahan Muhammad sebagai manusia—terkesima kepada “mistikus yang kesengsem Tuhan” ini. Bahwa Tariq Ali kembali membicarakan karya ini sekarang agaknya tak bisa dilepaskan dari niatnya menangkal kecenderungan simplistis dan antagonistis di Eropa dalam memandang Islam dan nabinya.
Menurut Tariq Ali, Rodinson percaya sikap bermusuhan itu “hasil instrumentalisasi tujuan Kristen dan imperialis sejak abad ke-18”. Disebutnya telaah Sir William Muir, The Life of Muhammad from Original Sources, yang pertama kali terbit di tahun 1861. Muir menulis, “Pedang Muhammad dan Quran adalah musuh paling degil bagi Peradaban, Kemerdekaan, dan Kebenaran....”
Kata-kata itu bagi Rodinson bukan saja salah, tapi juga berbau imperialisme.
Rodinson lahir di Marseille, Prancis, di tahun 1915. Orang tuanya Yahudi Rusia, salah satu dari ribuan yang diusir kekuasaan Tsar—pembersihan etnis yang bukan sekali itu terjadi di Eropa. Ayahnya cari nafkah dengan berjualan kain, dan ia sendiri di umur 12 meninggalkan sekolah untuk bekerja sebagai pesuruh. Orang tuanya mendukung Revolusi Rusia dan bergabung dengan Partai Komunis. Ia mengikuti jejak itu.
Kemudian Hitler menerkam Prancis. Ibu-bapak Rodinson termasuk ribuan orang Yahudi yang oleh pemerintah Prancis yang pro-Nazi digiring ke kamp pembantaian di Auschwitz.
Maxime mujur. Di masa perang, ia jadi penerjemah untuk tentara sekutu. Bakat dan kecerdasannya membuatnya bisa masuk ke Sekolah Tinggi Bahasa-bahasa Timur di Paris sejak 1932, meskipun tanpa didahului pendidikan formal. Ia mengkhususkan diri dalam bahasa Arab, Turki, dan Amharik. Kemampuan itu menyelamatkan nyawanya. Ia berada di Damaskus, bekerja pada Institut Français, ketika Jerman menduduki Prancis, dan baru kembali di tahun 1942 setelah Prancis merdeka.
Agaknya pengalaman itu juga yang menyelamatkannya dari ciutnya pandangan tentang dunia yang bukan-Eropa. Ia senang Israel bisa berdiri untuk menampung bangsa Yahudi yang selalu jadi bangsa usiran, tapi Rodinson bukan Zionis. Ia bahkan mengecam persekutuan Inggris-Prancis-Israel ketika menyerang Terusan Suez untuk menjatuhkan Nasser dan mengembalikan terusan itu ke dalam kekuasaan Inggris. Sikapnya makin keras kepada Israel setelah negeri ini mengambil alih wilayah Arab ketika menang dalam Perang Enam Hari di tahun 1967.
Tampak Rodinson hidup dengan meniti buih ke keadilan. Itu juga yang membuatnya menulis Muhammad. Dan kita tahu, di jalan yang genting itu, ia mudah dicurigai dua pihak yang bermusuhan—meskipun ia selamat dan meninggal tenang di tahun 2004 bukan oleh ledakan bom dari mana pun.
GOENAWAN MOHAMAD
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo