Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Rahmat Petuguran*
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KABAR duka datang lebih sering belakangan ini. Kadang ia tersiar lewat kerasnya pelantang suara di masjid dan musala. Kadang ia mengendap sunyi melalui celah kecil pesan pribadi. Karena begitu banyaknya, sepanjang Juni dan awal Juli tahun ini, kabar duka bahkan memuramkan media sosial yang biasanya semarak oleh kabar ceria para penggunanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Masyarakat Indonesia menyampaikan kabar duka dengan aneka cara. Sebagian orang mengumumkannya secara lugas, misalnya menyebut kematian dengan kata “mati” atau “meninggal dunia”. Tapi umumnya, karena pertimbangan rasa dan kesantunan, orang Indonesia memilih memakai metafora.
Rasa adalah faktor penting yang mendorong penggunaan metafora. Saat digunakan untuk menyampaikan kabar duka, metafora digunakan buat dua tujuan utama. Pertama, untuk mengekspresikan simpati kepada keluarga duka. Kedua, untuk mengungkapkan rasa hormat kepada orang yang meninggal.
Penelitian saya tahun lalu menunjukkan ada empat metafora yang paling lazim digunakan dalam kabar duka di Indonesia, yaitu pulang atau berpulang, kembali, dipanggil, dan menghadap. Selain menggambarkan intensitas perasaan, jenis dan penggunaan metafora ditentukan oleh latar belakang budaya penggunanya.
Sebagai contoh, metafora “pulang” atau “berpulang” cenderung digunakan oleh umat kristiani berlatar belakang etnis Tionghoa. Begitu juga metafora “kembali”. Gejala itu dapat diamati dalam pengumuman dukacita yang terpublikasi di media cetak. Adapun metafora “dipanggil” dan “menghadap” cenderung digunakan oleh komunitas muslim.
Pengaruh keyakinan dan etnis menunjukkan metafora tidak hanya punya fungsi komunikatif. Metafora juga punya fungsi ideologis dan kultural karena menggambarkan keyakinan kolektif dan identitas pihak-pihak yang menggunakannya. Bukan sekadar “menggambarkan” keyakinan dan identitas, metafora bahkan bisa membentuk keduanya.
Metafora “berpulang” dan “kembali” mengimplikasikan anggapan bahwa orang meninggal sedang menuju suatu tempat bernama “rumah”. Adapun yang dimaksud rumah, tampaknya, adalah rumah Allah di surga. “Rumah” itu telah disiapkan untuk orang-orang yang beriman. Keyakinan itu selaras dengan sejumlah ayat dalam Alkitab yang menyatakan bahwa Bapa telah menyediakan rumah bagi umatnya (yang taat).
Metafora “dipanggil” atau “menghadap” mengimplikasikan keyakinan yang berbeda. Sementara “berpulang” lebih menekankan keberadaan “tempat”, dua metafora ini lebih menekankan keberadaan dan kehendak “subyek” superior, yaitu Tuhan. Dua metafora ini menunjukkan adanya perjumpaan dalam peristiwa kematian, yaitu perjumpaan makhluk dengan Penciptanya.
Dalam perspektif Al-Quran, menurut Setiadi (2017), kematian dipahami sebagai putusnya keterikatan roh dengan badan, disertai pergantian keadaan, serta perpindahan dari satu alam ke alam yang lain. Perpindahan ke alam lain ini dilakukan agar manusia bertemu dengan subyek adikodrati untuk mempertanggungjawabkan perbuatannya.
Meski agama dan etnis punya pengaruh terhadap pilihan metafora, kecenderungan memetaforakan kabar duka menggambarkan sikap yang universal manusia dalam memandang kematian. Linguis University of Huddersfield, Inggris, Elizabeth Holt (1993), menyebutkan bahwa orang cenderung menghaluskan kabar duka agar intensitas kesedihan yang menyertainya berkurang. Salah satu pola umum yang dipakai adalah menambahkan pengharapan baik di ujung. Pemberi kabar berusaha menonjolkan sisi cerah kematian agar kabar itu tidak terdengar terlalu muram.
Penggunaan metafora membantu pengirim kabar duka mencapai tujuan tersebut. Kematian dilukiskan secara kreatif agar sisi baiknya terlihat lebih menonjol daripada sisi buruknya.
Lebih jauh, pilihan metafora bisa digunakan untuk mengetahui pengetahuan dominan apa yang mempengaruhi persepsi masyarakat tentang kematian. Contoh-contoh tersebut menunjukkan dominannya wacana keagamaan. Kalau kematian dipahami dengan pengetahuan sekuler, seperti ilmu medis, ekologi, dan sains, tentu metafora yang dipakai akan berbeda. Bahkan, kalau kematian dipahami semata-mata sebagai gejala biologis, metafora mungkin tak lagi diperlukan.
*) DOSEN SOSIOLINGUISTIK UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo